JEMAAH umrah di Mekah tampak menyemut. Ada sabda Rasulullah yang menyamakan nilai umrah di bulan Ramadan dengan beribadah haji bersamanya. Tapi, pekan lalu, tiga adegan bising lagi berdarah mengusik ritual istimewa itu.
Di Distrik Al-Syari'ah, Mekah, tentara Saudi menghadapi perlawanan bersenjata. Kamis pekan silam, dua orang yang terkepung mengambil tindakan pintas: meledakkan diri berkeping-keping. Malam itu, tentara bergerak cepat, dari rumah ke rumah, dengan lampu sorot dan helikopter yang melayang rendah. Ya, mereka telah belajar dari pertempuran sebelumnya.
Sejak Rabu malam, Distrik Al-Syari'ah menjadi sasaran pengepungan. Waktu itu, kontak senjata yang ramai terjadi. Senin sebelumnya, dua tewas dalam satu bentrokan seru. Pihak keamanan menyebut keduanya anggota kelompok Al-Qaidah.
Ada dua gedung yang sebelumnya dihuni kelompok oposisi yang menghendaki reformasi dalam pemerintahan Kerajaan Arab Saudi. Ini tentu tantangan serius bagi kaum royalis. Selain mendapatkan roket bergranat, senjata otomatis, dan bahan peledak di dalam mobil, polisi menemukan beberapa paspor, kartu identitas, dan setumpuk selebaran bergambar Usamah bin Ladin, orang nomor satu Tanzim Al-Qaidah, warga negara Arab Saudi.
"Mereka ingin membuat seluruh kawasan negeri ini jadi ajang teror. Bahkan juga termasuk Mekah, kota paling suci di bumi," ujar Pangeran Nayef, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, bersungut-sungut. Sinyalemen sang Pangeran benar terjadi. Kamis pekan lalu, dua orang anggota kelompok militan meledakkan diri di Al-Syari'ah ketika polisi menggerebek dan mencoba menangkap mereka hidup-hidup.
Belakangan ini Arab Saudi agaknya mulai peduli terhadap kritik dan tekanan Barat, terutama Amerika Serikat, yang menuduh pemerintah tak becus menangani aksi teror sel-sel Al-Qaidah. Apalagi 10 dari 15 pembajak pesawat yang meruntuhkan gedung World Trade Center, 11 September 2001, adalah warga negara Arab Saudi. Bukan hanya itu, AS juga menuding beberapa pengusaha Arab Saudi, termasuk keluarga kerajaan, mendanai kelompok-kelompok ekstrem di luar negeri, terutama Tanzim Al-Qaidah.
Padahal, sebagai sekutu setia AS di Timur Tengah, Arab Saudi tidak berpangku tangan. Penggerebekan di Al-Syari'ah Senin pekan lalu itu bukanlah yang pertama dan terakhir. Kamis pekan lalu pun terjadi baku tembak di Riyadh, ibu kota kerajaan yang kaya minyak itu. Seorang anggota kelompok militan tewas, sementara delapan anggota pasukan keamanan cedera.
Sejak pengeboman di kawasan permukiman orang asing di Riyadh, 12 Mei lalu, Arab Saudi telah menahan sekitar 600 anggota kelompok militan. Dalam penggerebekan itu, 35 orang sipil tewas—sembilan di antaranya warga AS. Penggerebekan lainnya terus dilancarkan di berbagai kota: Mekah, Riyadh, dan Jeddah.
Dalam upaya pembersihan itu, Arab Saudi menerima informasi dari petugas intelijen atau langsung dari pemerintah AS dan Inggris. Penggerebekan di Al-Syari'ah Senin pekan lalu, misalnya, dilancarkan hanya selang beberapa hari setelah AS dan Inggris memperingatkan bakal terjadi serangan terhadap target-target Barat di Arab Saudi selama Ramadan. Warga AS dan Inggris juga telah diperingatkan agar tidak berkunjung ke Arab Saudi selama bulan suci itu.
Upaya Arab Saudi menyapu unsur-unsur militan rupanya tak berhenti di situ. Syekh Ali bin Abdul Aziz al-Syekh, Menteri Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad, bahkan merasa perlu melakukan indoktrinasi terhadap 3.500 imam masjid di seluruh negeri. Imam yang tidak lulus tes dilarang berkhotbah. Bukan hanya itu, pemerintah juga mewajibkan orang-orang yang selama ini biasa mengumpulkan sedekah di luar masjid memiliki lisensi dan melaporkan perolehan sedekahnya. Rupanya ada semacam kekhawatiran dana tersebut disalurkan ke kelompok-kelompok militan—meskipun jumlahnya tak seberapa.
Namun pemerintah Arab Saudi agaknya masih harus bekerja keras. Sejauh ini, upaya menyisir kelompok militan agaknya belum begitu berhasil. Lihat saja, kelompok yang dituding sebagai "teroris" bahkan berani mengguncang suasana ibadah di bulan Ramadan yang khusyuk di kawasan Mekah yang suci itu.
Purwani Diyah Prabandari (BBC, The Guardian, The Jordan Times, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini