Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional
Amerika Serikat

Berita Tempo Plus

Sinterklas Super dari Washington

Senat Amerika Serikat meloloskan bantuan paling besar—dalam sejarah AS—untuk Irak dan Afganistan. Tapi bagian terbesar dari dana ini justru mengalir ke pundi-pundi Pentagon.

16 November 2003 | 00.00 WIB

Sinterklas Super dari Washington
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Pernahkah Anda melamunkan uang sebesar US$ 87,5 miliar? Jumlah ini kurang-lebih senilai Rp 744 triliun atau kira-kira setara dengan dua kali APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) Indonesia. Lalu, bayangkan ini: saat rakyat Amerika Serikat mulai pusing kepala mempertanyakan manfaat pemerintah dan tentara mereka bertahan di Irak, Senat AS meloloskan proposal Presiden George Walker Bush untuk menggunakan bagian terbesar dari uang tersebut guna membiayai operasi militer AS di Irak dan Afganistan pascaperang. Luar biasa! Inilah pengeluaran militer dan bantuan asing terbesar dalam sejarah AS. "Memang ini tugas berat, tapi penting sekali untuk keamanan AS dan perdamaian dunia," ujar Presiden Bush. Perdamaian? Coba kita lihat sebentar beberapa data berikut ini. Dua negara—Afganistan dan Irak—telah hancur-lebur dalam tiga tahun terakhir (2001-2003) setelah menghadang misi perang Amerika. Miliaran dolar telah dihamburkan untuk ongkos kedua perang ini. Kini, pembayar pajak AS lagi-lagi mesti menumpahkan Rp 744 triliun untuk ongkos "reparasi perang", sembari nyawa serdadu Amerika terus berguguran (lihat, Musuh Siluman Memetik Nyawa). Sebagian besar dari dana di atas digunakan untuk membiayai operasi militer di Irak dan Afganistan pascaperang. Dan hanya US$ 18,6 miliar yang dipakai membangun kembali Irak. Harus diakui kemahiran Presiden Bush meyakinkan para senator: proposal dengan jumlah uang fantastis itu akhirnya gol setelah perdebatan sengit selama dua bulan. Sejumlah senator dari Partai Demokrat, bahkan Partai Republik, memang sempat menolak keras penggunaan pajak rakyat AS untuk membiayai perang yang kian tak jelas arahnya. Jajak pendapat bulan lalu menunjukkan 59 persen rakyat AS menentang penggunaan US$ 87 miliar untuk Irak dan Afganistan. "Jika ada uang untuk Irak, kenapa tak ada uang untuk Amerika?" ujar narasi dalam tayangan video yang diputar lewat situs pendukung Partai Demokrat. Menurut situs tersebut, uang US$ 87 miliar itu bisa digunakan membangun 10 ribu sekolah baru dan membayar 2 juta guru di AS. Seorang senator Partai Demokrat, Robert C. Byrd, dengan sengit menentang keputusan tersebut. Menurut Byrd, keputusan Senat meloloskan Undang-Undang Anggaran untuk Irak lebih merupakan keharusan politik ketimbang kebijakan yang dilandasi alasan rasional. Tapi, memang tak banyak pilihan bagi politikus AS dalam menghadapi masalah Irak. Situasi keamanan yang makin buruk membikin para sekutu AS waswas. Alih-alih mengirim tenaga tambahan, mereka justru mulai pikir-pikir untuk menarik pasukannya dari sana. Dukungan dana dari dunia internasional hingga saat ini tak jelas juntrungannya. Jadi, mau tak mau Amerika mesti memanggul beban sendiri dalam menangani Irak pascaperang. Inggris, sekutu kental AS, hanya bisa sedikit meringankan beban. Agaknya kondisi ini yang membuat Senat meloloskan dana raksasa tersebut. "Anggaran ini akan memenuhi tanggung jawab kita kepada warga kita yang berseragam (militer—Red.) serta rakyat Irak dan Afganistan," ujar Ketua Komite Senat, Ted Steven, dengan gagah. Maka, suara penolakan Senator Robert C. Byrd pun tenggelam dalam "kor setuju". Bahkan, Senator Ernest Holling dari kubu Demokrat membandingkan situasi di Irak dengan Perang Vietnam, yang menghadapkan AS pada dua pilihan: mengirim lebih banyak lagi pasukan ke Irak, atau menarik semua pasukan dari Irak. "Jika kita tidak mengirim 100 ribu hingga 150 ribu pasukan lagi, operasi 'penggilingan daging' kita akan terus berlangsung," ujarnya. Seorang lain dari Partai Demokrat, Richard J. Durbin, berkeberatan dana rekonstruksi Irak berbentuk bantuan. Alasan Durbin, AS sendiri sedang mengalami defisit anggaran. Tapi Bush bergeming bahwa dana rekonstruksi Irak haruslah berupa bantuan. Jika berbentuk pinjaman, akan amat membebani Irak yang masih harus menanggung utang dari rezim Saddam Hussein sebesar US$ 200 miliar. Apalagi, Bush menambahkan, jika dana itu berupa pinjaman, kesannya Amerika menyerbu Irak hanya untuk menguasai minyak. Bantuan ini memang membikin AS lebih mirip "sinterklas super" ketimbang pasukan pendudukan. Tapi, tunggu dulu! Bukankah US$ 61 miliar dari dana itu digunakan untuk ongkos pendudukan militer AS di Irak dan Afganistan pascaperang? Alhasil, bagian terbesar uang itu justru mengalir ke pundi-pundi Pentagon yang mulai kempis karena perang. Raihul Fadjri (The Guardian, San Francisco Chronicle, WPost)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum