Mantan Perdana Menteri Israel Shimon Peres melangkah ke depan. Di belakang kaca antipeluru, dia berhenti, lalu berpidato. Sementara itu, di hadapannya, ratusan ribu orang yang memenuhi Lapangan Rabin di Tel Aviv menyambutnya dengan tepukan tangan. Spanduk bertebaran di antara mereka dengan berbagai seruan: "Tinggalkan wilayah pendudukan—selamatkan negara" atau "Prakarsa Jenewa—Harapan Baru."
Rakyat pencinta perdamaian ini memperingati delapan tahun kematian Perdana Menteri Yitzhak Rabin, otak perjanjian damai Oslo yang juga penerima penghargaan Nobel Perdamaian. "Yitzhak benar. Dan jalan yang ditempuhnya juga benar," ujar Peres dalam pidatonya mengenang Rabin pada Sabtu malam dua pekan lalu. Upacara ini menjadi katarsis rindunya akan perdamaian. Dia cita-cita perdamaian yang kini kandas. Bahkan negerinya justru dianggap sebagai musuh perdamaian nomor satu. Sebanyak 59 persen responden di Uni Eropa mendudukkan Israel di posisi teratas negara pengancam perdamaian dunia. Ini berarti di atas bahayanya mereka yang oleh Washington dikategorikan poros setan, Iran dan Korea Utara.
Menariknya, bukan hanya masyarakat Uni Eropa yang melihatnya demikian. Ratusan ribu orang di Lapangan Rabin mendukung hasil jajak pendapat itu. Bahkan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Letjen Moshe Yaalon, juga lantang memperingatkan bahwa kebijakan garis keras Ariel Sharon terhadap orang Palestina hanya akan merugikan kepentingan Israel sendiri. "Itu hanya akan meningkatkan kebencian terhadap Israel dan memperkuat organisasi teror," ujar Yaalon.
Kekhawatiran yang masuk akal. Semakin keras Israel bertindak, semakin kuat perlawanan kelompok garis keras, bahkan kian mengundang teror di seluruh penjuru bumi. Kelompok Islam militan selalu menyebut musuh bagi Israel dan Amerika dalam setiap aksinya, termasuk seruan jihad dari para pemimpin Al-Qaidah.
Kebijakan Israel memang kian kejam. Mereka menerapkan larangan keluar rumah, penutupan kota, serta larangan perjalanan terhadap warga Palestina tanpa pandang bulu. Ini menyebabkan kehancuran ekonomi Palestina, menaikkan tingkat pengangguran, dan membuat anak-anak tak bisa sekolah. Ini menempatkan rakyat Palestina di puncak frustrasi.
Pasukan Israel juga membangun pagar apartheid yang menjadikan tanah Palestina sebagai penjara bagi rakyatnya. Sekitar 102 ribu penduduk di 42 desa akan terjebak di tengah pagar dan wilayah Israel. Selain itu, tembok ini akan memisahkan 200 ribu orang Palestina di Yerusalem Timur dengan kawasan Tepi Barat lain.
Ancaman Israel ini tidak hanya dihadapi oleh Palestina, tapi juga oleh para tetangganya. Beberapa waktu lalu, pesawat tempur Israel menjatuhkan rudal-rudalnya di Suriah, hanya 22 kilometer dari Damaskus.
Apalagi kalau melihat kemampuan persenjataan Israel, terutama nuklirnya. Pada 1986, seorang teknisi fasilitas nuklir mereka yang sekarang berada dalam tahanan Israel, Mordechai Vanunu, menyatakan negerinya menyimpan sekitar 100 kepala nuklir. Ini ancaman yang tak bisa dipandang sebelah mata. Di waktu lalu, Israel dengan cueknya melakukan serangan preemptive ke Osirak, Irak, yang diduga sebagai fasilitas nuklir. Bahkan, dalam kasus Iran sekarang, Uni Eropa memperingatkan Teheran bahwa Israel bisa saja melakukan serangan ke program nuklirnya jika inspektur Badan Energi Atom Internasional tidak yakin Iran bekerja sama.
Lebih buruk lagi, Israel tak kenal takut dengan institusi internasional. Selama ini, Israel telah mengabaikan ratusan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, baik dari Majelis Umum maupun Dewan Keamanan. Sejak 1990, sekitar 14 resolusi Dewan Keamanan dicueki Israel, dari masalah kekerasan di Al-Haram Al-Sharif hingga soal pendudukan kembali markas Presiden Yasser Arafat di Ramallah. Bukannya jatuh hukuman, Presiden George Bush bahkan sudah mengajukan bantuan militer untuk Israel sebesar US$ 2,22 juta untuk tahun anggaran 2005.
Yitzhak Rabin mungkin menangis. Negerinya telah menjadi monster.
Purwani Diyah Prabandari (The Guardian, Haaretz, St. Petersburg Times, PNA.org)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini