Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nyonya Mungil Bernyali Besar

Kendati telah lebih dari dua dekade tak bertemu lagi, kepergian Perdana Menteri Inggris periode 1979­-1990 itu menyembulkan kembali ingatan wartawan Tempo Bambang Harymurti. Perempuan perkasa itu sempat diwawancarainya di London pada 1992, sebelum berkunjung ke Indonesia. Berikut ini catatannya.

14 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berita kematian Lady Thatcher, Senin pekan lalu, mencuatkan rasa duka dan nostalgia saya pada pemimpin besar Inggris bertubuh mungil ini. Apalagi memori pertemuan 45 menit dengan pelaku sejarah dunia ini pada 1992 telah tersegarkan kembali tahun lalu, saat saya menonton film The Iron Lady, yang diperankan dengan baik oleh Meryl Streep—yang kemudian mendapat anugerah Oscar sebagai aktris terbaik—tapi sempat membuat saya sedikit geram.

Saya mendeteksi rasa kebencian sutradara film ini dalam menampilkan sosok perdana menteri terlama Inggris itu. Yang dikedepankan adalah keseharian hari tuanya sebagai seorang nenek pikun penderita demensia ketimbang perannya dalam menyehatkan perekonomian Inggris yang sedang terpuruk saat Margaret Thatcher terpilih sebagai perdana menteri pada 1979, sehingga Inggris dinyatakan sebagai "the sick man of Europe".

Tapi mungkin juga saya yang seharusnya lebih memahami mengapa sudut pandang ini yang diambil. Lady Thatcher memang umumnya dibenci kalangan budayawan dan serikat pekerja. Sebagai politikus dari partai konservatif, perdana menteri yang bergelar insinyur teknik kimia ini telah memangkas besar-besaran subsidi kegiatan kebudayaan sebagai bagian dari penghematan anggaran dan menghancurkan dominasi serikat buruh dalam menentukan kebijakan publik.

"Saya menjadi perdana menteri untuk satu tujuan," kata pengagum Friedrich von Hayek, pemenang anugerah Nobel bidang ekonomi 1974, ini, "yaitu untuk mengubah mental ketergantungan masyarakat Inggris menjadi berdiri di atas kaki sendiri, dari bangsa penuntut menjadi mandiri." Ia anti-bentuk negara kesejahteraan yang dianggapnya telah membuat ekonomi Inggris sakit. Ia berkehendak keras mengubahnya menjadi negara wirausaha melalui jalan kapitalisme populer.

Ketika saya mempertanyakan kebijakan ekonominya yang dikritik telah melebarkan jurang antara si kaya dan si miskin, Lady Thatcher langsung menjawab lantang, "Bukankah adil bila mereka yang bekerja keras dapat mereguk keuntungan dari butir keringatnya untuk dinikmati bersama keluarganya?" Lalu, setelah menghirup teh di cangkirnya, politikus yang pernah berkarier sebagai konsultan pajak ini melanjutkan, "Adam Smith menulis di buku Kekayaan Negara-negara bahwa bukanlah pemerintah yang menghasilkan kekayaan, tapi pemerintah memajaki orang-orang yang berhasil memperkaya diri. Mereka yang menghasilkan lebih banyak dipajaki lebih besar, dan hasilnya dipakai untuk menolong mereka yang belum mendapatkan kesempatan."

Dengan semangat inilah pemerintahan Thatcher memastikan bantuan pemerintah hanya diberikan kepada kaum papa dan mereka yang ingin bekerja keras. Kebijakan hibah bagi siswa perguruan tinggi diubahnya menjadi pinjaman yang harus dicicil setelah lulus. Ia juga memotong anggaran pendidikan tinggi dan memindahkannya untuk merenovasi sekolah-sekolah di daerah miskin. Bahkan kebijakan subsidi susu bagi kalangan menengah pun dihentikan dan hanya yang miskin yang memperolehnya, hingga Lady Thatcher sempat dicemooh sebagai "sang pencuri susu bayi". Akibatnya, sampai-sampai Universitas Oxford, perguruan tinggi tempatnya menimba ilmu, menolak menganugerahkan gelar doctor honoris causa yang biasanya disematkan kepada alumnus yang menduduki jabatan perdana menteri.

Pada awalnya kebijakan konservatif ini memang membuat banyak warga semakin menderita. Tujuh belas bulan pertama masa pemerintahannya diawali dengan penurunan pajak pendapatan dengan kenaikan pajak bahan bakar minyak dan pajak penjualan. Akibatnya, tekanan inflasi meninggi dan harus dikompensasi dengan kebijakan uang ketat, yang menyebabkan suku bunga sempat melompat menjadi 22 persen sekaligus membuat nilai pound sterling menguat, daya saing internasional tergerus, dan daya tarik investasi domestik menurun.

Hampir sepuluh ribu perusahaan yang tak efisien bangkrut dan membuat Lady Thatcher nyaris dikudeta oleh para politikus di partainya sendiri, yang khawatir pada masa depan politik mereka. Namun, menghadapi tekanan ini, Lady Thatcher pantang surut dan malah mengatakan, "Keadaan akan menjadi lebih buruk sebelum membaik." Ketegasan sikap yang kemudian terbukti benar.

Ketegasan ibu sepasang anak kembar ini tak hanya dirasakan oleh warga Inggris. Para pemimpin Argentina, yang menyangka Inggris sedang disibukkan persoalan di dalam negeri sehingga tak akan bereaksi keras terhadap pencaplokan Kepulauan Malvinas (Falkland), ternyata harus membayar mahal. Lady Thatcher langsung mengirimkan armadanya menyeberangi separuh dunia untuk merebut wilayah yang sebenarnya hanya dihuni ribuan warga Inggris itu kendati harus kehilangan 250-an tentaranya dan menyebabkan lebih dari seribu pasukan Argentina tewas.

Bahkan Uni Soviet, yang saat itu masih menjadi negara superpower, pun dilabraknya hingga pers Rusia menobatkannya sebagai "Wanita Besi". Julukan ini kemudian melekat erat dan menjadi judul biografi serta film tentang pemimpin Inggris yang dilahirkan pada 13 Oktober 1925 dengan nama Margaret Hilda Roberts ini. Lady Thatcher memang bersahabat dengan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, yang pendiriannya serupa dalam cara menghadapi Uni Soviet, yaitu mengajak berdamai tapi tetap memperkuat militer masing-masing. Itu sebabnya, begitu pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, memulai gerakan keterbukaan dan reformasi (glasnost dan perestroika), Lady Thatcher pun segera menjadi karibnya, dan berperan penting menjadi jembatan penghubung para pemimpin kedua negara superpower ini dalam menjaga perdamaian dunia.

Kini Lady Thatcher telah menemukan damai yang lebih abadi dan dimakamkan dengan upacara resmi dipimpin Ratu Elizabeth. Saya membayangkan ia berbahagia bersatu kembali dengan suami tercintanya, Denis Thatcher, telah lebih dulu tiada. Mereka mungkin akan mengunjungi Ronald Reagan dan berbincang tentang peran mereka dalam mengakhiri era Perang Dingin. Lalu mereka mungkin akan bersama-sama melawat ke kediaman Abraham Lincoln, dan Lady Thatcher akan menunjukkan kertas berisi kutipan pidato presiden Amerika ke-16 itu yang telah puluhan tahun ada di dalam tasnya.

Saya lalu membayangkan Lady Thatcher akan menutup perjamuan teh mereka dengan membacakan kutipan dari kertas itu. "Anda tak dapat memperkuat si lemah dengan melemahkan si kuat. Anda tak dapat menolong si miskin dengan menghancurkan si kaya. Anda tak dapat membantu orang dengan cara mengerjakan sesuatu yang seharusnya dikerjakannya sendiri."

Saya membayangkan Lincoln menyimak dan tersenyum dan, seperti saya, berpikir: "Tak semua pandangan Lady Thatcher dapat diterima, tapi sulit untuk tak merasa hormat kepada sang Wanita Besi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus