BELUM jelas benar bagaimana ia datang ke Iran pada saat seperti
ini. Tapi jelas kenapa ia harus ditendang dari Iran oleh
pemerintah sementara. Kate Millet, wanita Amerika yang terkemuka
dengan bukunya Sexual Politics, ternyata ikut dalam demonstrasi
kaum wanita di Teheran selama beberapa hari yang lalu untuk
menuntut hak-hak kaum wanita yang kabarnya terancam oleh konsep
"Republik lslam" Ayatullah Khomeini. Akhir pekan lalu pemerintah
Iran sementara dengan resmi mengusirnya.
Millet, 45 tahun, yang pernah dianggap sebagai "perumus teori
utama" gerakan kebebasan wanita Amerika sejak tahun 1970, memang
aktif mendukung cita-cita feminis -- termasuk kaum lesbian dan
pelacur. Ia yang bersuamikan seorang pemahat Jepang, tapi tak
bermaksud melahirkan anak, bahkan pernah ikut bergerak "merebut"
patung kemerdekaan AS yang termashur itu -- sebagai lambang
perjuangan persamaan hak. Kedatangannya ke Teheran tentu untuk
kegiatan yang sama, tatkala para wanita kota Teheran melancarkan
demonstrasi protes.
Tokoh Eksistensialis
Para wanita Teheran yang bergerak itu memang kebanyakan
berpendidikan Barat, dan tak jarang dari kalangan kiri.
Setidaknya pihak kiri ikut ambil keuntungan dengan aksi itu.
Betapapun terbatasnya aksi kaum wanita itu, dan pernah dibalas
pula oleh demonstrasi wanita Islam bercadar, tapi nama baik kaum
ulama sebagai pembebas Iran jadi rusak. Pers Barat, yang dewasa
ini kebetulan peka kepada masalah hak-hak wanita, tak mendiamkan
peristiwa macam itu.
Apalagi jika ada tokoh termashur seperti filosof wanita Perancis
Simone de Beauvoir yang ikut bersuara mendukung kebebasan wanita
Iran. Pekan lalu pengarang berusia 71 tahun itu, yang terkenal
sebagai orang dekat tokoh eksistensialis kiri Jean Paul Sartre,
membentuk komite untuk berangkat ke Iran. Komite itu terdiri
dari 14 tokoh feminis Eropa, di antaranya seorang walikota
wanita dari partai sosialis Perancis. Dukungan datang dari
feminis Amerika anggota Kongres Bella Abzug dan juga bintang
film Jane Fonda yang selalu senang dengan aksi-aksi itu.
Tak diketahui apa bakal akibatnya bila komite cewek-cewek Barat
itu nanti tiba di Iran. Perdana Menteri Bazargan, pemimpin
pemerintahan sementara, mungkin akan mengatakan bahwa itu semua
bukan urusan nyonya-nyonya Paris -- walaupun ia sendiri bukan
orang yang mau mengurangi hak-hak wanita Iran.
Lagipula tak pernah terdengar homeini mengharuskan semua wanita
pakai cadar. Juga dalam soal hak minta cerai, pendirian Khomeini
belum terdengar. Islam sendiri menjamin itu bagi wanita
--meskipun kesewenang-wenangan terhadap wanita sering terjadi.
Di Iran sebelum 1967, misalnya, seorang wanita bisa diceraikan
suaminya dengan hanya pergi ke sebuah kantor notaris. Sebaliknya
untuk minta cerai, wanita tak bisa, kecuali dengan membujuk sang
suami. Kadang dengan membayar sejumlah besar harta.
Undang-undang Perlindungan Keluarga yang dikeluarkan Shah tahun
1967 mengharuskan perceraian dibawa ke pengadilan keluarga.
Wanita berhak minta cerai, seperti digariskan agama. Adakah
dengan jatuhnya Shah berarti Undang-Undang itu akan dicabut,
belum ada keputusan pasti. Kaum wanita Teheran mungkin sudah
cemas mendengar bahwa misalnya kaumnya tak boleh ikut dinas
dalam ketentaraan. Dan sebagai solidaritas, kaum wanita Barat
yang giat itu pun unjuk rasa cemas pula. Meskipun seorang wanita
Iran yang berada di Paris meragukan faedahnya komite yang mau
dikirim ke Iran itu. "Ini soal yang rawan secara politis,"
katanya, "sebab bisa dipergunakan oleh gerakan pro-Shah. Bisa
merusak."
Tapi pendapat dunia luar nampaknya ada pengaruhnya juga di Iran
kini. Pertengahan pekan lalu pengadilan revolusi mulai terbuka
bagi orang luar, dan tiba-tiba hari Minggu tersiar kabar bahwa
Ayatullah Khomeini melarang pengadilan semacam itu -- yang telah
menghukum mati lebih dari 60 orang bekas pejabat tinggi Shah dan
orang-orang kriminil. Khomeini bahkan melarang hukuman mati di
depan regu penembak.
Pada saat ini yang hampir ditembak mati adalah bekas PM Iran
Amir Abbas Hoveida. Dia selamat. Mungkin itu juga petunjuk makin
kuatnya pemerintahan sementara Bazargan dalam mengatasi gerak
komite-komite revolusi yang main hakim sendiri. Bahkan
pemerintah Bazargan menuduh ada bekas orang-orang Savak, dinas
intel Shah, yang "main" di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini