Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

"Jangan Mudah Main Susu"

Pengadilan agama Tasikmalaya memvonis perkawinan Sogirin-Marfu'ah sebagai tidak berlaku, karena mereka dianggap masih satu ibu. Ada konflik batin, dan Sogirin ingin naik banding. (ag)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari, berkatalah Nyai Murki (70 tahun) kepada seorang anaknya: "Si Ursih itu akulah yang menyusuinya dulu. Sekarang kok pelit begitu." Dan gara-gara ucapan ini, sebuah perkawinan yang telah berjalan 22 tahun, dan sudah menghasilkan lima orang anak, serta merta berantakan. Yang tertimpa musibah ini adalah keluarga suami-isteri Sogirin (45) dan Marfu'ah (35). Laki-isteri ini sekarang sedang dalam proses naik banding -- ke Mahkamah Islam Tinggi Jawa Barat -setelah pada 15 Pebruari yang lalu mereka ditimpa vonis dari Pengadilan Agama Tasikmalaya. Isi vonis: menyatakan pernikahan Sogirin-Marfu'ah sebagai fasid alias tidak berlaku. Alasan "Setelah diteliti, ternyata mereka masih satu ibu susu" -- seperti dinyatakan oleh Elon Dahlan, Kepala Pengadilan Agama. Sogirin dan Marfu'ah adalah penduduk Desa Cigunung, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya. Mereka menikah 10 Nopember 1956. Sogirin adalah anak Nyai Murki yang disebut di atas. Sedang Marfu'ah adalah anak Nyai Ursih, yang diumpat Nyai Murki sebagai "pelit" itu. Nyai Ursih adalah adik Nyai Murki: Nyai Murki anak pertama, Nyai Ursih anak ke-6 -- mereka semua sembilan bersaudara. Dengan begitu anak-anak mereka (Sogirin dan Marfu'ah itu) merupakan saudara sepupu, dan dalam agama dibolehkan kawin. Tapi yang jadi soal: Nyai Ursih itu dulu, waktu masih kecil, suka diteteki oleh Nyai Murki itu. Tapi barangkali saja kasus ini takkan sampai ke pengadilan, kalau bukan Sogirin sendiri yang mengajukan. Ia ini, harap diketahui, adalah guru agama. Sogirin sebenarnya sudah mendengar selentingan itu sejak pertengahan 1976 waktu ibunya, dalam keadaan sewot mengungkapkannya kepada Wahyudin, adik Sogirin. Tapi menurut pendapat para pemuka agama di sana, yang dilarang kawin itu dua saudara yang sama-sama menyusu dari satu "ibu". Sedang Marfu'ah, isterinya itu, bukankah tidak pernah menyusu kepada Nyai Murki? Tapi rupanya karena ada "konflik batin", Sogirin toh mengajukannya ke pengadilan, bulan Desember tahun kemarin -- dan mendapat keputusan fasid itu. Tapi bila demikian, mengapa ia ingin naik banding? Sebab memang tidak mustahil mahkamah yang derajatnya lebih tinggi itu punya keputusan lain. Soalnya, yang disebut Qur'an sebagai muhrim (orang yang haram dikawini), dalam hal hubungan penyusuan, sebenarnya hanya dua: ibu yang menyusui dan saudara sepersusuan. Lengkapnya, para muhrim yang dimuat dalam ayat 23 An-Nisa itu adalah ibu sendiri, anak sendiri, saudara sendiri, saudara ibu/bapa, kemenakan sendiri, ibu susuan, saudara sepersusuan, mertua, menantu, anak tiri yang ibunya sudah dicampuri (dan dalam ayat lain: ibu tiri), dan juga mengawini sekaligus dua kakak-beradik. Tetapi memang ada hadis Nabi: "Larangan kawin akibat penyusuan itu seperti larangan kawin akibat keturunan." Dan kitab-kitab fiqh maupun tafsir berbahasa Arab umumnya memakai hadis itu untuk meluaskan kemuhriman tidak hanya berpusar pada ibu dan saudara sepersusuan saja. Tetapi sangat menarik bahwa sebuah kitab fiqh yang populer di Indonesia, Fiqh Islam oleh Sulaiman Rasjid, lebih bertahan pada bunyi ayat: yang dianggap muhrim hanya ibu susuan (ditambah: bapa susuan) dan saudara sepersusuan*). Logikanya, barangkali: sekiranya hubungan darah akibat penyusuan memang dimaksud sama dengan akibat keturunan, mengapa dalam Qur'an tidak disebut semuanya: anak ibu susuan, saudaranya, dan seterusnya? Atau disebut saja misalnya di akhir ayat (kira-kira) dan dalam hal penyusuan ketentuan muhrimnya sama dengan dalam hal keturunan ? Sekarang bagaimana sebenarnya bentuk penyusuan Nyai Ursih, ibu Marfu'ah, oleh Nyai Murki itu? Ibu Ursih maupun Murki dahulu, Nyai Uti namanya (sekarang sudah meninggal), kerjanya berdagang sayuran keliling kampung-berangkat pagi buta ke pasar buat belanja, dan sore pulang ke rumah -- sementara bapak mereka almarhum sibuk di sawah. Di waktu itulah Si Ursih menetek pada Murki yang waktu itu memang sedang menyusui anaknya sendiri. Tak Lebih 2 Tahun Tapi tidak disebut umur berapa Si Ursih waktu itu. Kitab-kitab yang dianggap standar, ada menyebut dua syarat bagi efek pertalian darah yang ditimbulkan oleh penyusuan. Pertama si orok harus tak lebih dari dua tahun-mengingat ayat yang berbunyi "Adapun para ibu menyusui anaknya dua tahun sempurna bagi siapa yang ingin melengkapkan (hikmah) penyusuan." (Al Baqarah 233). Kedua, penyusuan itu "bukan hanya sekali dua," seperti dikatakan Nabi. Imam Syafi'i lalu menetapkan, setidak-tidaknya lima kali secara terpisah-pisah. Ustaz Abdul Hamid Hakim dalam kitabnya Al Mu'inul Mubin, kitab standar lain buat madrasah, bahkan menyatakan bahwa penyusuan yang "tidak berfungsi sebagai pemberian makanan wajib", dengan kata lain bila si ibu-susuan tidak mengganti peranan ibu sendiri, tidak dihitung. Tetapi keputusan sudah dijatuhkan -- setelah empat kali sidang dalam jangka dua bulan. Dan sekarang, sambil menunggu pengadilan banding, Sogirin pindah ke rumah ibunya, Nyai Murki, 26 Km dari anak-bininya -- dan kebetulan pula ia bisa mendapat sekolah lain tempatnya mengajar. Hanya sekali-sekali ia datang menengok isteri dan kelima anak itu (semuanya laki-laki) sambil menyerahkan gaji atau belanja ini-itu. Yang jadi soal ialah: andaikata nanti pengadilan banding menguatkan keputusan pengadilan setempat, bagaimana kiranya pandangan anak-anak itu yang kemudian mendapati diri mereka lahir di luar pernikahan? Ini memang bukan masalah hukum formil. Tapi untunglah Sogirin itu guru agama. Ia mlsalnya saJa mengerti bahwa satu perbuatan yang dinilai salah bila dilakukan dalam keadaan sadar, sama sekali tidak dianggap berdosa bila dikerjakan dalam keadaan tak tahu. Istafti galbak, kata Nabi. Mintalah fatwa kepada kalbumu sendiri. Memang sedih. * Penerbit Wijaya, Jakarta, cetakan ke-II 1955, hal. 326. Di situ juga dimuat sambutan HAMKA dan Prof. KHR Moh. Adnan, Rektor Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus