SUATU hari, berkatalah Nyai Murki (70 tahun) kepada seorang
anaknya: "Si Ursih itu akulah yang menyusuinya dulu. Sekarang
kok pelit begitu." Dan gara-gara ucapan ini, sebuah perkawinan
yang telah berjalan 22 tahun, dan sudah menghasilkan lima
orang anak, serta merta berantakan.
Yang tertimpa musibah ini adalah keluarga suami-isteri Sogirin
(45) dan Marfu'ah (35). Laki-isteri ini sekarang sedang dalam
proses naik banding -- ke Mahkamah Islam Tinggi Jawa Barat
-setelah pada 15 Pebruari yang lalu mereka ditimpa vonis dari
Pengadilan Agama Tasikmalaya. Isi vonis: menyatakan pernikahan
Sogirin-Marfu'ah sebagai fasid alias tidak berlaku. Alasan
"Setelah diteliti, ternyata mereka masih satu ibu susu" --
seperti dinyatakan oleh Elon Dahlan, Kepala Pengadilan Agama.
Sogirin dan Marfu'ah adalah penduduk Desa Cigunung, Kecamatan
Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya. Mereka menikah 10 Nopember
1956. Sogirin adalah anak Nyai Murki yang disebut di atas.
Sedang Marfu'ah adalah anak Nyai Ursih, yang diumpat Nyai Murki
sebagai "pelit" itu. Nyai Ursih adalah adik Nyai Murki: Nyai
Murki anak pertama, Nyai Ursih anak ke-6 -- mereka semua
sembilan bersaudara.
Dengan begitu anak-anak mereka (Sogirin dan Marfu'ah itu)
merupakan saudara sepupu, dan dalam agama dibolehkan kawin. Tapi
yang jadi soal: Nyai Ursih itu dulu, waktu masih kecil, suka
diteteki oleh Nyai Murki itu.
Tapi barangkali saja kasus ini takkan sampai ke pengadilan,
kalau bukan Sogirin sendiri yang mengajukan. Ia ini, harap
diketahui, adalah guru agama.
Sogirin sebenarnya sudah mendengar selentingan itu sejak
pertengahan 1976 waktu ibunya, dalam keadaan sewot
mengungkapkannya kepada Wahyudin, adik Sogirin. Tapi menurut
pendapat para pemuka agama di sana, yang dilarang kawin itu dua
saudara yang sama-sama menyusu dari satu "ibu". Sedang Marfu'ah,
isterinya itu, bukankah tidak pernah menyusu kepada Nyai Murki?
Tapi rupanya karena ada "konflik batin", Sogirin toh
mengajukannya ke pengadilan, bulan Desember tahun kemarin -- dan
mendapat keputusan fasid itu. Tapi bila demikian, mengapa ia
ingin naik banding?
Sebab memang tidak mustahil mahkamah yang derajatnya lebih
tinggi itu punya keputusan lain. Soalnya, yang disebut Qur'an
sebagai muhrim (orang yang haram dikawini), dalam hal hubungan
penyusuan, sebenarnya hanya dua: ibu yang menyusui dan saudara
sepersusuan. Lengkapnya, para muhrim yang dimuat dalam ayat 23
An-Nisa itu adalah ibu sendiri, anak sendiri, saudara sendiri,
saudara ibu/bapa, kemenakan sendiri, ibu susuan, saudara
sepersusuan, mertua, menantu, anak tiri yang ibunya sudah
dicampuri (dan dalam ayat lain: ibu tiri), dan juga mengawini
sekaligus dua kakak-beradik.
Tetapi memang ada hadis Nabi: "Larangan kawin akibat penyusuan
itu seperti larangan kawin akibat keturunan." Dan kitab-kitab
fiqh maupun tafsir berbahasa Arab umumnya memakai hadis itu
untuk meluaskan kemuhriman tidak hanya berpusar pada ibu dan
saudara sepersusuan saja.
Tetapi sangat menarik bahwa sebuah kitab fiqh yang populer di
Indonesia, Fiqh Islam oleh Sulaiman Rasjid, lebih bertahan pada
bunyi ayat: yang dianggap muhrim hanya ibu susuan (ditambah:
bapa susuan) dan saudara sepersusuan*). Logikanya, barangkali:
sekiranya hubungan darah akibat penyusuan memang dimaksud sama
dengan akibat keturunan, mengapa dalam Qur'an tidak disebut
semuanya: anak ibu susuan, saudaranya, dan seterusnya? Atau
disebut saja misalnya di akhir ayat (kira-kira) dan dalam hal
penyusuan ketentuan muhrimnya sama dengan dalam hal keturunan ?
Sekarang bagaimana sebenarnya bentuk penyusuan Nyai Ursih, ibu
Marfu'ah, oleh Nyai Murki itu? Ibu Ursih maupun Murki dahulu,
Nyai Uti namanya (sekarang sudah meninggal), kerjanya berdagang
sayuran keliling kampung-berangkat pagi buta ke pasar buat
belanja, dan sore pulang ke rumah -- sementara bapak mereka
almarhum sibuk di sawah. Di waktu itulah Si Ursih menetek pada
Murki yang waktu itu memang sedang menyusui anaknya sendiri.
Tak Lebih 2 Tahun
Tapi tidak disebut umur berapa Si Ursih waktu itu. Kitab-kitab
yang dianggap standar, ada menyebut dua syarat bagi efek
pertalian darah yang ditimbulkan oleh penyusuan. Pertama si orok
harus tak lebih dari dua tahun-mengingat ayat yang berbunyi
"Adapun para ibu menyusui anaknya dua tahun sempurna bagi siapa
yang ingin melengkapkan (hikmah) penyusuan." (Al Baqarah 233).
Kedua, penyusuan itu "bukan hanya sekali dua," seperti dikatakan
Nabi. Imam Syafi'i lalu menetapkan, setidak-tidaknya lima kali
secara terpisah-pisah. Ustaz Abdul Hamid Hakim dalam kitabnya Al
Mu'inul Mubin, kitab standar lain buat madrasah, bahkan
menyatakan bahwa penyusuan yang "tidak berfungsi sebagai
pemberian makanan wajib", dengan kata lain bila si ibu-susuan
tidak mengganti peranan ibu sendiri, tidak dihitung.
Tetapi keputusan sudah dijatuhkan -- setelah empat kali sidang
dalam jangka dua bulan. Dan sekarang, sambil menunggu pengadilan
banding, Sogirin pindah ke rumah ibunya, Nyai Murki, 26 Km dari
anak-bininya -- dan kebetulan pula ia bisa mendapat sekolah lain
tempatnya mengajar. Hanya sekali-sekali ia datang menengok
isteri dan kelima anak itu (semuanya laki-laki) sambil
menyerahkan gaji atau belanja ini-itu. Yang jadi soal ialah:
andaikata nanti pengadilan banding menguatkan keputusan
pengadilan setempat, bagaimana kiranya pandangan anak-anak itu
yang kemudian mendapati diri mereka lahir di luar pernikahan?
Ini memang bukan masalah hukum formil. Tapi untunglah Sogirin
itu guru agama. Ia mlsalnya saJa mengerti bahwa satu perbuatan
yang dinilai salah bila dilakukan dalam keadaan sadar, sama
sekali tidak dianggap berdosa bila dikerjakan dalam keadaan tak
tahu. Istafti galbak, kata Nabi. Mintalah fatwa kepada kalbumu
sendiri. Memang sedih.
* Penerbit Wijaya, Jakarta, cetakan ke-II 1955, hal. 326. Di
situ juga dimuat sambutan HAMKA dan Prof. KHR Moh. Adnan, Rektor
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini