SUBANG dulu pernah membanggakan perkebunannya, yang kini
merosot. Pernah pula ia menjadi kebanggaan PKI sebagai basisnya
yang terkuat di Jawa Barat. Basis itu sudah lenyap. Tampaknya
Subang akan ditenarkan kembali, sekali ini sebagai "proyek
perintis" teknologi pedesaan.
Berbeda dengan transfer teknlogi dari negara maju yang
melibatkan bantuan dan tenaga asing, teknologi pedesaan ini
sederhana saja yang mungkin akan pamor. Tapi LIPI (Lembaga Imu
Pengetahuan Indonesia) sendiri telah menjadikan Subang itu
prioritasnya untuk dilaksanakan mulai Mei.
Menjelang ke Subang, LIPI -- semacam pemanasan --
menyelenggarakan suatu widyakarya atau pertemuan para ahli
teknolgi pedesaan pekan lalu di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
Di situ dirumuskan strategi dan langkah untuk penelitian,
pengembangan dan penerapn teknologi di pedesaan.
Kasus Air
Apa pula itu? Dari pamerannya di halaman hotel itu, orang bisa
mendapat gambaran apa yang menjadi sasarannya. Sedikit contoh
alat pengukur kelapa, pencerna tinja, penjernihan air,
penampung air, lemari pendingin, pompa bambu, pompa irigasi,
kincir angin, pemisah gabah dan mesin pertanian.
PTP (Pusat Teknologi Pembangunan) lTB sudah mendisain pompa
bambu. Mereka di kompleks perumahan buruh pelabuhan Tg. Priok
sudah mencobanya, lantas tertarik untuk memesan 150 buah, yang
jauh lebih murah ketimbang pompa besi.
Pompa air hidram, yang mengalirkan dari bawah ke tempat yang
tinggi, juga dibikin PTP ITB. Telah banyak pula permintaan akan
pompa ini dari berbagai perusahaan, instansi pemerintah,
perorangan yang tentu saja, di pedesaan.
Di Gunung Kidul, ada kebutuhan akan proyek PAH (Penampungan Air
Hujan). Masyarakat setempat selalu kekurangan air. Banyak lagi
daerah pedesaan lain yang bernasib sama. Persoalan dalam hal ini
ialah bagaimana sebaiknya bak penampung air yang bisa dikerjakan
rakyat dengan biaya murah.
Yayasan Dian Desa, pimpinan Anton Sudjarwo, sudah mencobanya di
Gunung Kidul, dan berhasil. Tapi di Madura persoalannya bukan
hanya teknologi. Ia harus memakai pendekatan agama, yaitu
menggairahkan masyarakat membikin bak air untuk keperluan
sembahyang
Tungku api untuk memasak di pedesaan juga meminta teknologi.
Kini tungku mereka memboroskan energi. Dengan sedikit perbaikan
tungku, diharapkan penduduk bisa lebih berhemat dengan kayu
bakar, yang kemudian mengurangi penebangan pohon. Tapi ternyata
di Gunung Kidul tungku model baru telah merobah rasa makanan
nasi jagung dan sayur nangka muda. Tak mungkin dipaksakan. Dalam
hal ini, kata Anton Sudjarwo, "teknologi pedesaan membutuhkan
keluwesan, jangan dilaksanakan dengan satu jalur instruksi yang
kaku."
Susu Encer
Teknologi memotong ubi kayu rupanya juga menjadi perhatian.
Gaplek desa sekarang masih bermutu rendah. Dengan memperbaiki
cara memotong dan mengeringkannya, mutu gaplek bisa
ditingkatkan, hingga layak ekspor. Dalam hal ini rakyat pun
nyatanya perlu dibujuk supaya merobah kebiasaan lama.
Perbaikan mutu terbukti tidak menguntungkan bagi suatu
perusahaan susu yang melayani AKABRI. Mutu susunya sudah dijaga
seperti di negeri Belanda. Pembinanya pun orang Belanda. Namun
para calon perwira terserang penyakit perut karena susu tadi.
Akhirnya perusahaan itu memakai teknologi yang disesuaikan
dengan kondisi setempat: Kadar air ditambahnya, hingga susu
menjadi lebih encer.
BUTSI (Badan Usaha Tenaga Sukarela Indonesia) memperkenalkan
lemari pendingin sederhana, terbuat dari bambu, seng, karung
goni (atau flanel). "Orang desa bisa menyimpan sayur asam tiga
hari di lemari itu tanpa merobah rasanya," demikian promosi
BUTSI.
Pengembangan teknologi pedesaan tidak memerlukan tenaga asing.
Maka di Subang nanti, menurut Ketua LIPI Prof. Dr. ir. Bachtiar
Rifai, sekaligus ingin dibuktikan suatu proyek yang dikerjakan
sepenuhnya oleh tenaga Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini