Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Olah Alot Kabinet Trump

Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, mulai menyusun kabinet. Diwarnai insiden pencopotan Chris Christie selaku ketua tim transisi.

28 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"INI terlihat seperti The Apprentice." Celetukan itu meluncur dari mulut Paula Faris, penyiar berita di saluran televisi ABC News, pada Rabu pekan lalu. Faris, 41 tahun, mengomentari kegiatan Donald J. Trump, presiden terpilih Amerika Serikat, yang tengah sibuk memilih calon menterinya. Yang dilakukan Trump dalam dua pekan terakhir memang mirip di The Apprentice. Trump pernah membintangi tayangan realitas populer asal Amerika tersebut.

Seperti di The Apprentice, Trump sekarang juga berperan sebagai bos. Bedanya, ia kali ini tidak merekrut eksekutif muda untuk bekerja di perusahaan. Bersama wakilnya, Mike Pence, Trump mewawancarai para kandidat penggerak roda pemerintahannya. Dan, seperti dalam serial The Apprentice, seleksi "calon karyawan" Trump digelar di markas The Trump Organization di Trump Tower di Midtown Manhattan, Kota New York.

Belakangan, Trump dan Pence juga menyeleksi calon menteri di kompleks klub golf pribadinya di Bedminster Township, New Jersey. Mereka tak punya banyak waktu. Sejak dipastikan menang atas pasangan Hillary Clinton-Tim Kaine dalam pemilihan 8 November lalu, Trump dan Pence hanya memiliki 73 hari untuk menyusun kabinet. Mereka akan dilantik sebagai pengganti Barack Obama-Joe Biden pada 20 Januari tahun depan.

Trump dan Pence tak hanya memilih 15 menteri. Sedikitnya 4.000 pos pekerjaan—1.100 di antaranya memerlukan persetujuan Senat—harus segera mereka isi. Dengan begitu, Trump dapat mewujudkan janji-janji kampanyenya. "Transisi berlangsung sangat cepat," kata Clay Johnson III, mantan ketua tim transisi George W. Bush. Peter Orzsag, eks personel tim transisi Barack Obama, berkomentar senada. "Periode paling sulit dalam pemerintahan."

Dalam tayangan The Apprentice, Trump dikenal dengan pernyataannya, "Anda dipecat!". Setiap kali mencoret kandidat, ia selalu melontarkan kalimat itu dengan raut muka datar. Terlihat menyebalkan. Entah apakah Trump, 70 tahun, masih melakukan tabiatnya itu di Trump Tower ataupun Bedminster. "Proses Trump memilih pejabat politik cukup sederhana," tutur Devin Gerald Nunes, anggota senior tim transisi Trump-Pence.

Nunes mencontohkan pemilihan Direktur Badan Intelijen Amerika (CIA). "Saya menyebut tanpa ragu bahwa (Mike) Pompeo adalah pilihan tepat," ujarnya kepada Trump, beberapa hari setelah 8 November. Atas saran Nunes, yang menjabat Ketua Komite Intelijen Dewan Perwakilan Rakyat Amerika, nama Pompeo langsung nyemplung di daftar kabinet Trump. Seperti Pompeo, Nunes mengklaim kandidat lain juga melewati "proses sederhana".

Lewat Twitter, Trump mengiyakan Nunes. "Proses yang sangat terorganisasi. Saya satu-satunya yang tahu siapa finalisnya," ia mencuit. Trump dan Pence memang lancar memilih nama pejabat Gedung Putih. Reince Priebus sebagai kepala staf presiden; Stephen K. Bannon sebagai penasihat senior, kepala strategi; dan Michael Flynn sebagai penasihat keamanan nasional. Pemilihan Senator Alabama Jeff Sessions sebagai jaksa agung juga mulus.

Namun, di Trump Tower, seleksi calon menteri tak seindah klaim Nunes. Sepekan setelah Trump-Pence memenangi tiket ke Gedung Putih, transisi justru berantakan. Terjadi tarik-ulur dan rebutan nama pengisi kabinet. "Ini adalah pertarungan dahsyat," kata seorang anggota tim transisi, seperti diberitakan Politico. Menurut dia, perang pengaruh di antara para pentolan tim transisi tak terelakkan. Nama-nama kandidat pun timbul-tenggelam.

Kekacauan bermula dari pencopotan Chris Christie. Trump memilih Gubernur New Jersey itu sebagai ketua tim transisi pada Juli lalu. Sejak itu, Christie, 54 tahun, dan timnya menyiapkan cetak biru kabinet bila Trump-Pence menang. Nahas bagi Christie, yang justru didepak pada 11 November. Para loyalis Christie, seperti Rich Bagger, William Palatucci, dan Mike Rogers, juga ditendang dari tim. Sejak itu, Pence mengambil alih tugas Christie.

Selain Pence, tiga anak Trump, yaitu Ivanka Trump, Donald Trump Jr., dan Eric Trump, serta menantunya, Jared Kushner, turut meramaikan 16 anggota tim transisi. "Semuanya lingkaran dekat Trump. Mereka setia mendukung Trump sejak awal pencalonannya," begitu diberitakan Reuters. Priebus, Bannon, dan Nunes masuk tim, termasuk Steven Mnuchin, penggalang dana kampanye Trump. Mantan bankir Goldman Sachs itu dikenal sebagai orang lama di Wall Street—simbol kapitalisme Negeri Abang Sam.

Nasib Christie memang terbilang nahas. Bersama Trump, ia semula tercatat dalam 17 nama bakal calon presiden Partai Republik. Namun Christie justru terjungkal di babak awal. Ia lantas "berbaiat" menyokong Trump. Bagi Christie, menempel ke kubu Trump rupanya tak cukup. Trump pertama kali mendongkelnya saat menjelang konvensi. Saat itu Trump menimbang Christie, Pence, dan mantan Ketua DPR Newt Gingrich sebagai calon wakilnya.

Christie awalnya yakin betul bakal dipilih Trump. "Trump lebih peduli pada orang yang paling loyal, kalau perlu penjilat. Kualitas dan keputusan politik nomor dua," ujar seorang anggota tim kampanye Trump, seperti dikutip New York Post. Namun Christie harus gigit jari setelah Trump menunjuk Pence, yang saat itu menjabat Gubernur Indiana. "Banyak orang dekat Trump, termasuk Donald Jr. dan Eric Trump, ingin dia memilih Pence."

Gagal menjadi calon wakil presiden, Christie ditunjuk sebagai ketua tim transisi. Selama masa kampanye, Trump-Pence tak pernah unggul atas Clinton-Kaine. Saat itu tak ada yang mengira Trump bakal menang. "Namun Christie menjalani tugasnya dengan serius," begitu menurut The New Yorker. Ia mengisi tim dengan para pelobi Washington, kumpulan orang yang belakangan disapu Trump. Ketika akhirnya Trump menang, Christie ikut tersingkir.

Suara keluarga Trump kembali bergema seusai 8 November. Kali itu peran Jared Kushner cukup menonjol. Kushner, 35 tahun, seorang Yahudi ortodoks, adalah menantu kepercayaan Trump. "Dia luar biasa. Seorang pria sukses di bidang real estate New York," kata Trump memuji Kushner. Kushner, dalam berbagai kesempatan, tak sungkan memuji balik bapak mertuanya itu. "Orang yang penuh kasih dan toleran," ujarnya.

Kushner disebut sebagai dalang pencopotan Christie. Ia menyimpan dendam terhadap Christie, yang pernah memenjarakan ayah Kushner, Charles Kushner, dalam kasus penggelapan pajak dan sumbangan ilegal kampanye. Saat itu Christie menjabat Jaksa Federal New Jersey pada 2005. "Kushner juga pernah berselisih dengan Corey Lewandowski, mantan manajer kampanye Trump yang dipecat pada Juni lalu," demikian diberitakan The Strait Times.

Dalam sebuah wawancara, Kushner membantah tudingan itu. Ia mengklaim hubungannya dengan Christie normal. "Sejak enam bulan lalu, kami bekerja sama dengan sangat baik," tutur. Adapun Christie tak mempersoalkan pencopotannya. Ia bahkan enggan dipilih masuk kabinet dan berdalih ingin berfokus merampungkan masa jabatan. "Saya memiliki 14 bulan tersisa. Saya pikir presiden terpilih memahaminya," katanya.

Di luar faktor Kushner, langkah Christie juga terganjal skandal Bridgegate. Bagi Trump, kasus pada 2013 itu bisa berbuah masalah di kemudian hari. Karena itu, Trump berusaha menjauhkan Christie, bahkan sejak masa pra-konvensi Partai Republik. "Trump sebenarnya ingin memilih Christie, tapi Bridgegate akan menjadi cerita nasional terbesar," ucap orang dekat Trump. "Dia akan kehilangan keuntungan sebagai calon dengan citra tidak korup."

Wajar bila kini proses transisi Trump berjalan terseok. "Kami telah menata seabrek persiapan sejak sebelum pemilihan umum," kata seorang mantan anggota staf Christie di tim transisi. Cetak biru peralihan kekuasaan telah dirancang, dari urusan tetek-bengek berkas dan dokumen, kode etik calon pejabat, hingga mekanisme seleksi menteri. "Kami telah mengidentifikasi ratusan nama untuk mengisi pos-pos vital dalam pemerintahan," ujar orang itu.

Pada 2008, dua hari setelah pemilu, presiden terpilih Barack Obama langsung menggeber tim transisi. Ia menunjuk Rahm Emanuel sebagai kepala staf presiden dan David Axelrod sebagai penasihat senior Gedung Putih. Tak sampai dua pekan, Obama telah mengisi semua nama pejabat Gedung Putih. Trump telah melakukan hal serupa. Namun, di era Obama, nama-nama menteri juga mencuat cepat. Kurang dari sebulan, tulang punggung kabinet Obama—terutama di sektor keamanan nasional—telah terbentuk.

Satu windu berselang, Trump dan Pence juga gencar memanggil para kandidat menteri. Dalam kurun hampir tiga pekan, lebih dari 80 orang telah dipanggil ke Trump Tower ataupun Bedminster. Mayoritas kandidat adalah pria kulit putih. Hanya ada 14 perempuan dan 15 calon non-kulit putih. Kendati baru segelintir nama yang dipilih, Trump, misalnya, memastikan Betsy DeVos sebagai menteri pendidikan. Ia juga memilih Gubernur South Carolina Nikki Haley menjadi Duta Besar Amerika untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Proses alot juga terlihat dalam pemilihan menteri luar negeri. Mitt Romney, Rudolph "Rudy" W. Giuliani, John Bolton, Newt Gingrich, dan Bob Corker masuk radar Trump. Masuknya Romney, 69 tahun, cukup mengejutkan. Calon presiden Partai Republik empat tahun lalu itu pengkritik utama Trump. Apalagi Romney, bersama George W. Bush, tercatat sebagai elite Republiken yang sejak awal tidak pernah mendukung Trump.

Munculnya nama Romney mendadak sontak menyulut penolakan. Newt Gingrich, salah seorang loyalis Trump, menilai pemilihan Romney bakal menjadi kesalahan besar Trump. Gingrich dan mantan Gubernur Arkansas Mike Huckabee, misalnya, menyarankan Trump menunjuk Giuliani. "Bila Anda ingin negosiator tangguh dan membela kepentingan Amerika, Rudy orang yang tepat," katanya, merujuk pada Romney yang minim rekam jejak politik luar negeri.

Tarik-ulur juga dijumpai saat seleksi menteri pertahanan. Pujian selangit Trump untuk James Mattis tak otomatis membuat nama veteran jenderal marinir itu masuk kabinet. "Kandidat yang sangat mengesankan. Jenderalnya jenderal!" ujar Trump lewat cuitan Twitter. Mattis, 66 tahun, secara teknis belum dapat menjabat menteri pertahanan karena belum tujuh tahun pensiun. Itu sebabnya Trump dan timnya menimbang nama lain.

Sepeninggal Chris Christie, tim transisi Trump-Pence terbelah. Pengaruh diperebutkan tiga faksi, yaitu para loyalis Trump, termasuk keluarga dan eks anggota staf kampanyenya, grup aktivis konservatif pengagum Pence; serta pendukung Jeff Sessions, termasuk para kritikus Heritage Foundation. "Saya pikir tim transisi Trump masih cair. Mereka menambahkan penyesuaian di sana-sini," tutur seorang kader Republiken yang dekat dengan tim transisi.

Jason Miller, juru bicara Trump, menangkis tudingan bahwa transisi berjalan tertatih. "Kabar adanya pertempuran di dalam, semua itu tidak benar," katanya. Namun seorang bekas anggota tim Dick Cheney, yang memimpin transisi di era George W. Bush, menilai cara kerja tim Pence jauh dari efektif. "Cheney punya daftar sendiri di kepalanya. Ia menunjuk orang yang ia inginkan," ujarnya. Sayangnya, Trump kini tidak sedang berakting di The Apprentice, tempat ia bisa seenak jidat memecat ataupun merekrut kandidat.

Mahardika Satria Hadi (Politico, ABC News, Washington Post, New York Times, SALON)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus