Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampung Moulavi Aziz Khan berada di bagian utara Negara Bagian Rakhine. Bersama empat anak perempuan dan tiga cucunya, dua pekan lalu, dia bergabung dengan sejumlah orang lain menyeberangi perbatasan Myanmar-Bangladesh. Dia meninggalkan desanya setelah militer Myanmar mengepung dan lalu membakar rumahnya.
"Ketika itu saya kabur ke sebuah bukit yang tak jauh... lalu kami berhasil menyeberangi perbatasan," katanya, seperti dikutip Reuters.
Menurut para sukarelawan kemanusiaan dari badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Cox's Bazar, Bangladesh, sejauh ini ada lebih dari 500 orang Rohingya yang memasuki wilayah Bangladesh. Mereka mencari perlindungan dari meningkatnya kekerasan di Rakhine, yang telah menewaskan lebih dari 100 orang dan menjadikan 30 ribu orang lebih tunawisma.
Pertumpahan darah mutakhir di negara bagian yang juga dikenal sebagai Arakan itu merupakan yang terburuk setelah bentrokan komunal pada 2012. Militer atau Tatmadaw (sebutan setempat), yang menyisir dan diduga membumihanguskan lebih dari seribu rumah di kawasan permukiman kaum Rohingya, mengerahkan pasukan untuk menanggapi apa yang disebutnya serangan kelompok ekstrem Aqa Mul Mujahidin terhadap tiga pos perbatasan pada 9 Oktober lalu. Laporan kelompok-kelompok hak asasi manusia menyebutkan, selain membunuh warga sipil, tentara memerkosa perempuan.
Tudingan itu dibantah. Adanya blokade di kawasan di sekitar Mangdau, Buthingdaung, dan Rathedaung, yang dihuni kaum Rohingya, menjadikan sulit bukan hanya masuknya bantuan kemanusiaan, tapi juga setiap upaya memeriksa kejadian yang sebenarnya, juga membenarkan klaim pemerintah. Wartawan yang memberitakan kekerasan seksual terhadap perempuan Rohingya, seperti Fiona MacGregor, malah jadi korban kesewenang-wenangan: dia dipecat dari media tempatnya bekerja, Myanmar Times.
"Ini sangat memprihatinkan bagi hak-hak perempuan, kebebasan media, dan demokrasi secara keseluruhan di Myanmar, bahwa pemerintah sipil menggunakan taktik kasar untuk mengintimidasi wartawan dan mencoba membungkam tuduhan adanya pemerkosaan oleh militer," kata MacGregor kepada Time.
Yang juga telah ditimbulkan oleh operasi militer itu adalah hal ini: bahwa pemerintah yang diarahkan dari balik layar oleh Aung San Suu Kyi—pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai pemenang pemilihan umum tahun lalu—kembali memperlihatkan ketidakberdayaannya. Tapi sebetulnya ketidakberdayaan ini bersumber dari tiadanya kemauan untuk mencari jalan keluar dari konflik tak berkesudahan dan menyelamatkan kaum Rohingya dari persekusi terus-menerus.
"Suu Kyi berbicara sangat sedikit selain mengulang-ulang kalimat bahwa investigasi akan dilakukan seadil-adilnya dan menurut hukum. Klaimnya bahwa 'kami tak berusaha menyembunyikan apa pun tentang Rakhine' sangat tak tulus," kata Penny Green, profesor hukum internasional di Queen Mary University, London, dan Direktur International State Crime Initiative (ISCI), seperti dikutip International Business Times, Rabu pekan lalu.
Menurut Green, pernyataan Suu Kyi bertentangan dengan laporan-laporan yang dia—juga koleganya di komunitas hak asasi manusia—terima dari Rakhine. Pernyataan itu, kata dia, "Hanya bisa ditafsirkan sebagai penyangkalan—strategi yang lazim dan merupakan bagian dari negara jahat untuk menepis tudingan."
Mengutip hasil studi lapangan selama berbulan-bulan, ISCI menyebutkan bahwa pemerintah Myanmar melegitimasi genosida, upaya penghapusan kaum Rohingya. Tindakan-tindakan yang mengarah ke tujuan itu, yang bukti-buktinya diungkap dalam sebuah kertas kerja ISCI, meliputi pembunuhan massal, kerja paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, penahanan sewenang-wenang, diskriminasi kelembagaan, dan penghancuran komunitas.
Salah satu bukti dari sikap Suu Kyi yang membiarkan semua itu terjadi adalah ketika, sebelum pemilihan umum pada November tahun lalu, dia mendiamkan tindakan partainya menghalang-halangi rencana memberikan hak pilih kepada hampir sejuta orang dari kaum Rohingya. Beragam cara dilakukan untuk memprotes rencana itu, bahkan dengan ancaman kekerasan.
Ketika itu, pada Februari lalu, BBC melaporkan bagaimana ratusan warga Buddha turun ke jalan menuntut dicabutnya pasal yang membolehkan penduduk sementara pemegang "kartu putih" untuk memberikan suara dalam pemilu. Menurut Tony Cartalucci, peneliti yang tulisannya dipublikasikan Global Research pada Senin pekan lalu, yang tak disebutkan dalam laporan ini adalah fakta bahwa warga Buddha itu—yang mewakili jutaan pemilih—merupakan pendukung penting gerakan politik Suu Kyi. Merekalah penggerak protes-protes selama ini, termasuk yang terbesar yang biasa dikenal sebagai Revolusi Saffron pada 2007.
Masih menurut Cartalucci, mereka dan kekerasan yang telah mereka lakukan bertahun-tahun merupakan aksi yang memastikan kemenangan kubu Suu Kyi dalam berbagai pemilu. Mereka mengupayakan larangan bagi kelompok demografi tertentu untuk memilih atau mengintimidasi agar pemilih memberikan suara untuk NLD.
Suu Kyi, Cartalucci mengutip sebuah artikel di The Guardian yang terbit pada Mei tahun lalu, sengaja tutup mata demi memenangi suara—dan tetap menangguk dukungan. Hal ini membuat berbagai kalangan di lingkungan organisasi nonpemerintah Barat risau. Mereka sadar betapa semakin sulit mencerna secara rasional sikap Suu Kyi.
Douglas Long, Pemimpin Redaksi Myanmar Times yang dipecat dua pekan setelah pemberhentian MacGregor, melihat betapa hari demi hari "pemerintah sekarang terlihat semakin sama dengan pemerintah pra-2012".
Dalam keadaan seperti itu, Moulavi Aziz Khan dan sesamanya mustahil menaruh harapan pada pemerintah Myanmar.
Purwanto Setiadi (BBC, Global Research, IB Times, The Guardian, Time)
Tanda-tanda Genosida di Myanmar
Proyek Peringatan Dini dari United States Holocaust Memorial Museum telah mengidentifikasi Myanmar sebagai negara teratas dalam daftar yang menghadapi risiko pembunuhan massal yang diarahkan oleh negara. Peringatan mengenai genosida—penghapusan suatu kelompok etnis—datang dari banyak pakar. Tanda-tandanya:
1,3 juta orang rohingya
140.000 di kamp pengungsi
100.000+ mengungsi dengan perahu
Ujaran Kebencian
Biksu ultranasionalis dan ekstremis terus-menerus mencitrakan muslim sebagai kaum jahat. Mereka mengkampanyekan sebutan-sebutan rasial dan memboikot bisnis kaum muslim melalui kampanye terorganisasi.
Meniadakan Saksi
Pengamat independen tak diberi akses ke kawasan-kawasan paling labil. Kelompok-kelompok kemanusiaan diancam dalam protes-protes anti-asing. Myanmar tak mengizinkan pembukaan kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Hak Asasi Manusia.
Penyangkalan Identitas
Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 menggolongkan Rohingya sebagai "penduduk asing". Sensus pada 2014 mencoret Rohingya dari daftar warga negara. Presiden Myanmar mendeklarasikan: "Tak ada Rohingya di antara ras-ras di Myanmar dan memaksa pejabat asing untuk tak menyebut Rohingya."
Gagal Melindungi Warga Sipil
Pemerintah tak mengerahkan pasukan keamanan untuk melindungi mereka yang paling terancam dan melarang bantuan kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan. Doctors Without Borders, penyedia jasa kesehatan paling utama bagi Rohingya, sudah diusir dari Myanmar.
Pembatasan Hak Rohingya tak bisa:
- menikah
- mempunyai anak
- memperoleh layanan kesehatan
- bekerja
- bepergian
- mendapat pendidikan tanpa izin
Eksodus yang Meningkat
Dalam beberapa tahun terakhir diperkirakan lebih dari 100 ribu orang Rohingya meninggalkan Myanmar dengan perahu. Selain menghadapi ancaman tenggelam di laut, banyak dari mereka yang jadi tahanan para pedagang manusia dan dipaksa bekerja di kebun-kebun karet atau jadi pekerja seks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo