Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR PT Tucan Pumpco Services Indonesia mendadak sibuk gara-gara sepucuk surat dari Bank DKI pada 8 November lalu. Surat itu memberitahukan bahwa Bank DKI telah melelang kantor di Jalan Wijaya I Nomor 7, Jakarta Selatan, itu.
Yang membuat direksi dan pegawai Tucan Pumpco ketar-ketir, Bank DKI juga meminta perusahaan di bidang pengeboran sumur minyak itu hengkang dari kantornya dalam waktu tiga hari.
Direksi perusahaan pun berkali-kali menggelar rapat panjang. "Akhirnya kami sepakat bertahan," kata pengacara Tucan Pumpco, Cecep Suharsana, menjelaskan sikap perusahaan, Kamis pekan lalu.
Menurut Cecep, kliennya berkeberatan terhadap penjualan aset oleh Bank DKI. Ia menuding bank milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu melanggar banyak prosedur. Karena itu, kata Cecep, "Kami melawan di jalur hukum."
Pada 19 Oktober lalu, Tucan Pumpco melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka meminta hakim membatalkan proses lelang. Sepuluh hari kemudian, Tucan Pumpco juga melaporkan Bank DKI ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tuduhannya tak main-main: menggelapkan aset jaminan.
Kasus ini bermula ketika Tucan Pumpco mengajukan kredit ke Bank DKI pada Mei 2014. Perusahaan menjaminkan tanah 1.343 meter persegi dan gedung kantor di Jalan Wijaya I. Waktu itu, berdasarkan perhitungan kantor jasa penilai publik yang ditunjuk Bank DKI dan Tucan Pumpco, nilai aset tersebut sekitar Rp 42 miliar.
Kepala Divisi Corporate Communication Bank DKI Herry Djufraini mengatakan Bank DKI menyetujui kredit karena kondisi keuangan PT Tucan Pumpco kala itu cukup bagus. Bank DKI pun mengucurkan kredit Rp 52,6 miliar dengan jangka waktu pelunasan sampai Mei 2019.
Pada mulanya, menurut Herry, Tucan Pumpco lancar membayar cicilan. Hingga Agustus 2015, perusahaan ini telah mencicil utang plus bunga sekitar Rp 20,7 miliar. Masalah muncul pada akhir 2015, setelah perusahaan menunggak sejak September tahun itu.
Cecep membenarkan cicilan kredit kliennya tak lancar. Ia beralasan, pada bulan-bulan itu, bisnis minyak dan gas sedang lesu. Beberapa klien Tucan Pumpco kesulitan membayar jasa. Menurut Cecep, setidaknya ada tiga perusahaan minyak dan gas yang menggunakan jasa Tucan Pumpco untuk penyemenan lubang eksplorasi minyak dan gas. Salah satunya berada di Riau.
Bank DKI melayangkan surat peringatan pertama kepada Tucan Pumpco pada 1 Maret 2016. Namun, menurut Herry, surat itu tidak ditanggapi. Bank lantas melayangkan surat kedua pada 31 Maret lalu. Dua hari kemudian, Bank DKI melayangkan surat peringatan ketiga.
Dalam surat peringatan terakhir, Bank DKI kembali meminta Tucan Pumpco melunasi seluruh pinjaman plus bunga sebesar Rp 46,467 miliar. "Mereka tidak menunjukkan iktikad baik sejak surat pertama dikirim," kata Herry. Dalam surat yang sama, Bank DKI juga menyatakan akan melelang aset Tucan Pumpco.
Direksi Tucan Pumpco baru menjawab surat peringatan itu pada 29 Juli lalu. Kedua kubu lalu bertemu di kantor Bank DKI di Jalan Juanda III, Jakarta Pusat. Tucan Pumpco meminta penjadwalan ulang pembayaran utang (restrukturisasi).
Dalam pertemuan tersebut, menurut Cecep, Bank DKI meminta Tucon Pumpco menyetor Rp 3 miliar untuk bukti bahwa perusahaan masih sehat. Manajemen Tucan Pumpco menyanggupi. Enam kali mereka mencicil sisa utang. Pada 14 Juli lalu, mereka menyetor Rp 500 juta. Yang terakhir, pada 10 Agustus, sebesar Rp 50 juta. Total, setelah kreditnya tersendat, Tucan Pumpco menyetor Rp 3,12 miliar. "Tapi Bank DKI tetap melelang aset yang kami jaminkan," ujar Cecep.
Herry membenarkan bahwa Tucan Pumpco dan Bank DKI berkali-kali bertemu untuk membicarakan restrukturisasi. Masalahnya, menurut dia, rekam jejak Tucan Pumpco sudah buruk dengan menunggak sampai sembilan bulan. Pembayaran uang Rp 3 miliar, kata dia, tak serta-merta mempermudah proses restrukturisasi.
Herry menambahkan, ada syarat lain yang tak bisa dipenuhi Tucan Pumpco. Mereka tak menunjukkan bukti kerja sama atau surat piutang dari pihak ketiga. "Mereka selalu bilang punya banyak klien tapi tak pernah menunjukkan buktinya," kata Herry.
Soal ini, Cecep menyangkal. Ia justru menuding Bank DKI menolak tawaran untuk mengecek proyek Tucan Pumpco ke lapangan.
Pada 26 Agustus lalu, Bank DKI menggandeng PT Balai Lelang Sempurna untuk melego lahan dan gedung kantor Tucan Pumpco. Balai lelang membuka penawaran harga Rp 70 miliar. Namun lelang sepi peminat sehingga Bank DKI merencanakan lelang ulang.
Tucan Pumpco tak tinggal diam. Mereka terus menagih janji restrukturisasi ke Bank DKI. Pada 22 Agustus, manajemen perusahaan bertemu lagi dengan manajemen bank. Kali ini, menurut Cecep, Tucan Pumpco kembali menyanggupi pelunasan utang karena sudah mendapat sumber pendanaan baru. Tucan Pumpco pun meminta Bank DKI membatalkan lelang. Namun Bank DKI tak menggubrisnya.
Cecep menuduh Bank DKI ingkar janji ketika mereka kembali menggelar lelang. Dalam lelang kedua pada 15 September lalu, aset jaminan ditawarkan Rp 60 miliar. Namun lagi-lagi lelang tak ada peminat. Bank DKI kemudian membuka lelang ketiga pada 6 Oktober lalu. Mereka juga menurunkan harga aset menjadi Rp 55 miliar. Meski harga turun, tak ada yang ikut lelang. Gara-gara tiga kali lelang itulah Tucan Pumpco mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tucan Pumpco juga mempertanyakan penurunan harga lelang. Perusahaan ini, pada 14 April 2015, menunjuk satu kantor jasa penilai publik. Taksiran harga kantor Tucan Pumpo, menurut lembaga appraisal tersebut, naik menjadi Rp 102,9 miliar.
Menurut Cecep, Tucan Pumpco sempat "mengalah" dengan merelakan aset tersebut dilelang. Dengan syarat, Tucan Pumpco yang mencari pembeli dan menentukan harga, yaitu Rp 80 miliar. "Tapi Bank DKI menolak," kata Cecep.
Bank DKI menggelar lelang keempat pada akhir Oktober lalu. Waktu itu balai lelang mensyaratkan uang muka Rp 11 miliar bagi peserta lelang. Akhirnya aset tersebut jatuh ke tangan pegawai Bank DKI dengan harga Rp 55 miliar. "Bank DKI membeli sendiri aset kami dengan nama karyawan mereka," kata Cecep.
Tucan Pumpco akhirnya melaporkan Bank DKI ke polisi dengan tuduhan penggelapan. Di samping mempersoalkan proses lelang, Tucan Pumpco mempersoalkan kelebihan uang hasil lelang lahan dan gedung mereka. Menurut aturan perbankan, kata Cecep, bank hanya mengambil jatah utang mereka. Sedangkan sisanya harus dikembalikan ke perusahaan. "Sampai sekarang kami belum menerima itu," ujar Cecep.
Herry menangkis tuduhan Cecep. Menurut dia, pembelian oleh karyawan Bank DKI merupakan hal yang wajar. "Istilahnya acte de command atau pembelian di bawah tangan," kata Herry. Menurut dia, bank biasa menggunakan mekanisme tersebut jika dalam beberapa kali lelang tak ada pembeli. Payung hukumnya adalah Peraturan Menteri Keuangan tentang Teknis Lelang. "Kami sudah menjalankan semua prosedur sampai bisa memakai mekanisme ini."
Herry justru menuding Tucan Pumpco yang menyebabkan lelang sepi peminat. Menurut dia, perusahaan itu selalu menakut-nakuti calon pembeli dengan alasan aset sengketa. Herry pun menepis anggapan bahwa aset jaminan dijual terlalu murah. Sebelum menggelar lelang, Bank DKI juga menyewa kantor jasa penilai publik. Hasil perhitungan mereka, nilai aset tersebut sekitar Rp 49 miliar, bukan Rp 102,9 miliar seperti klaim Tucan Pumpco.
Syailendra Persada, Abdul Manan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo