Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jangan Mau Jadi Boneka

Menteri Pan J.B. Sumarlin mengeluarkan surat edaran tentang pelaksanaan pasal 19 ayat 1 Keppres 14/1979. Kebijaksanaan pemerintah adalah untuk mendorong golongan ekonomi lemah supaya kreatif dan positif. (nas)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA bulan setelah lahirnya Keppres 14/1979, Menteri Penertiban Aparatur Negara J.B. Sumarlin pada 26 Mei mengeluarkan Surat Edaran antara lain buat para Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintahan non Departemen. Isinya: pelaksanaan pasal 19 ayat 1 Keppres tersebut tentang pengutamaan perusahaan golongan ekonomi lemah dan perusahaan setempat serta pengutamaan pembelian/penggunaan hasil produksi dalam negeri. Pekan lalu dalam wawancaranya dengan TEMPO, Sumarlin menjawab beberapa pertanyaan: Apakah Kppres ini lahir karena adanya kritik dari masyarakat tentang kebijaksanaan ekonomi pemerintah? Tidak. Ini adalah pelaksanaan dari GBHN. Dus ini suatu langkah logis yang harus ditempuh pemerintah. Ini merupakan tindak lanjut dari kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong golongan ekonomi lemah. Dulu April 1974 pemerintah pertama kali melaksanakannya lewat program perkreditan kredit investasi hanya diberikan pada pribumi. Kemudian diadakan Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dan Kredit Candak Kulak. Di samping itu ada beberapa program lain yang menjangkau rakyat seperti Bimas, BUUD dan KUD. Kabarnya banyak perusahaan nonpri yang berusaha melewati Keppres ini, misalnya dengan mengangkat direktur pribumi. Saya memang mendengar itu. Saya tidak punya pretensi peraturan ini sempurna, tapi akan kita usahakan sebaik mungkin. Dalam pelaksanaannya kita harapkan adanya umpan balik: bagaimana pelaksanaannya di daerah, keulitannya apa dan sebagainya. Lho, kalau ada kekurangan, jelas peraturan ini akan kita sempurnakan. Menurut pendapat saya keberhasilan Keppres 14 tergantung pada: Pertama, sikap dan perilaku aparat pemerintah, apakah mereka benar-benar mengerti menghayati dan melaksanakan peraturan ini. Jadi kalau mau membeli barang harus tanya dulu permodalan perusahaan rekanan itu, bisa juga menehtl lewat akuntan. Penjelasan dan bimbingan pada golongan ekonomi lemah jelas perlu. Kedua, sikap dan perilaku golongan ekonomi lemah, bisa atau tidak memanfaatkan ini. Mereka harus bersikap kreatif dan positif, jangan mau jadi stroman tenguk-tenguk nemu gethuk (menunggu rezeki saja). Ketiga, sikap dan perilaku golongan ekonomi kuat. Sebab kalau mereka tidak rela dan membikin macam-macam perusahaan . . . Mereka harus rela dan membantu. Sampai sekaran masih santer suara dalam masyarakat bahva golongan non pri mendominasi ekonomi Indonesia. Bagaimana pendapat anda? Saya ragu apakah itu betul. Dalam sistim perekonomian kita peranan perusahaan negara penting dan besar sekali. Saat ini ada 214 PN dengan jumlah kekayaan Rp 14 trilyun. Ini potensi penting untuk dapat membantu kemampuan golongan ekonomi lemah sebagaimana diamanatkan Keppres 14. Dus saya belum yakin pada anggapan itu selama belum ada data yang kongkrit. Bagaimana dengan alokasi kredit, siapa penerima terbwsar? "Pri" atau "non-pri"? Angka posisi kredit perbankan menurut catatan Bank Indonesia pada Desember 1978 adalah: -- Kredit untuk golongan pribumi termasuk untuk pemerintah daerah, Bulog, PN (termasuk Pertamina) Rp 4.027 milyar. -- Kredit untuk lain golongan (umumnya kredit eksploitasi), termasuk non-pribumi Rp 1.373 milyar. Jadi perbandingannya adalah kredit untuk "pri" 75% dan "non-pri" dapat 25%. Ada yang menganggap Keppres 14 bersikap diskrinatif pada "nonpri". Bahkan ada, yang menganggapnya "rasialistis". Dalam sambutannya pada Kongres ISEI Juni lalu Presiden Soeharto mengatakan kebijaksanaan mendorong golongan ekonomi lemah yang sebagian besar pribumi tidaklah berarti pemerintah bertindak diskriminatif. Kebijaksanaan itu justru mendorong terciptanya keadilan sosial yang pada gilirannya akan memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa. Rasialistis? Tidak betul! Keppres itu sendiri tidak menyebut "pri" dan "non-pri". Yang menuduh Keppres ini rasialistis tentu belum membaca peraturan itu dengan teliti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus