DUA bulan setelah lahirnya Keppres 14/1979, Menteri Penertiban
Aparatur Negara J.B. Sumarlin pada 26 Mei mengeluarkan Surat
Edaran antara lain buat para Menteri dan Kepala Lembaga
Pemerintahan non Departemen. Isinya: pelaksanaan pasal 19 ayat 1
Keppres tersebut tentang pengutamaan perusahaan golongan ekonomi
lemah dan perusahaan setempat serta pengutamaan
pembelian/penggunaan hasil produksi dalam negeri. Pekan lalu
dalam wawancaranya dengan TEMPO, Sumarlin menjawab beberapa
pertanyaan:
Apakah Kppres ini lahir karena adanya kritik dari masyarakat
tentang kebijaksanaan ekonomi pemerintah?
Tidak. Ini adalah pelaksanaan dari GBHN. Dus ini suatu langkah
logis yang harus ditempuh pemerintah. Ini merupakan tindak
lanjut dari kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong golongan
ekonomi lemah. Dulu April 1974 pemerintah pertama kali
melaksanakannya lewat program perkreditan kredit investasi hanya
diberikan pada pribumi. Kemudian diadakan Kredit Investasi Kecil
(KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dan Kredit Candak
Kulak. Di samping itu ada beberapa program lain yang menjangkau
rakyat seperti Bimas, BUUD dan KUD.
Kabarnya banyak perusahaan nonpri yang berusaha melewati Keppres
ini, misalnya dengan mengangkat direktur pribumi.
Saya memang mendengar itu. Saya tidak punya pretensi peraturan
ini sempurna, tapi akan kita usahakan sebaik mungkin. Dalam
pelaksanaannya kita harapkan adanya umpan balik: bagaimana
pelaksanaannya di daerah, keulitannya apa dan sebagainya. Lho,
kalau ada kekurangan, jelas peraturan ini akan kita
sempurnakan.
Menurut pendapat saya keberhasilan Keppres 14 tergantung pada:
Pertama, sikap dan perilaku aparat pemerintah, apakah mereka
benar-benar mengerti menghayati dan melaksanakan peraturan ini.
Jadi kalau mau membeli barang harus tanya dulu permodalan
perusahaan rekanan itu, bisa juga menehtl lewat akuntan.
Penjelasan dan bimbingan pada golongan ekonomi lemah jelas
perlu.
Kedua, sikap dan perilaku golongan ekonomi lemah, bisa atau
tidak memanfaatkan ini. Mereka harus bersikap kreatif dan
positif, jangan mau jadi stroman tenguk-tenguk nemu gethuk
(menunggu rezeki saja).
Ketiga, sikap dan perilaku golongan ekonomi kuat. Sebab kalau
mereka tidak rela dan membikin macam-macam perusahaan . . .
Mereka harus rela dan membantu.
Sampai sekaran masih santer suara dalam masyarakat bahva
golongan non pri mendominasi ekonomi Indonesia. Bagaimana
pendapat anda? Saya ragu apakah itu betul. Dalam sistim
perekonomian kita peranan perusahaan negara penting dan besar
sekali. Saat ini ada 214 PN dengan jumlah kekayaan Rp 14
trilyun. Ini potensi penting untuk dapat membantu kemampuan
golongan ekonomi lemah sebagaimana diamanatkan Keppres 14. Dus
saya belum yakin pada anggapan itu selama belum ada data yang
kongkrit.
Bagaimana dengan alokasi kredit, siapa penerima terbwsar? "Pri"
atau "non-pri"?
Angka posisi kredit perbankan menurut catatan Bank Indonesia
pada Desember 1978 adalah:
-- Kredit untuk golongan pribumi termasuk untuk pemerintah
daerah, Bulog, PN (termasuk Pertamina) Rp 4.027 milyar.
-- Kredit untuk lain golongan (umumnya kredit eksploitasi),
termasuk non-pribumi Rp 1.373 milyar.
Jadi perbandingannya adalah kredit untuk "pri" 75% dan "non-pri"
dapat 25%.
Ada yang menganggap Keppres 14 bersikap diskrinatif pada
"nonpri". Bahkan ada, yang menganggapnya "rasialistis".
Dalam sambutannya pada Kongres ISEI Juni lalu Presiden Soeharto
mengatakan kebijaksanaan mendorong golongan ekonomi lemah yang
sebagian besar pribumi tidaklah berarti pemerintah bertindak
diskriminatif. Kebijaksanaan itu justru mendorong terciptanya
keadilan sosial yang pada gilirannya akan memperkuat kesatuan
dan persatuan bangsa. Rasialistis? Tidak betul! Keppres itu
sendiri tidak menyebut "pri" dan "non-pri". Yang menuduh
Keppres ini rasialistis tentu belum membaca peraturan itu dengan
teliti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini