KELAKUAN Israel, sekutu Amerika Serikat di Timur Tengah, pernah
menggusarkan Presiden Ronald Reagan. Akhir Juli, misalnya,
Israel seenaknya mengebomi pemukiman penduduk sipil di Beimt
dengan pesawat tempur F-16 (Fighting Falcon) bantuan AS. Dengan
sejumlah resawat jenis itu pula Israel menghancurkan Reaktor
Nuklir Riset Ossirak milik Irak. Saking jengkelnya, Gedung Putih
sempat dua kali menunda pengriman 10 pesawat F-16 ke negeri
sekutunya tersebut.
Penundaan tadi akhirnya dicabut. Dan hubungan kedua negara itu
kini akrab kembali. Sesudah dua hari berunding di Washington
(9-10 September), Presiden Reagan dan PM Israel Menachem Begin
menelurkan prinsip persetujuan "kerjasama strategis yang
didasarkan pada kepentingan bersama." Reagan menolak memperinci
bentuk kerjasama tersebut. Tapi secara jelas Begin menyebut
"bahaya kebijaksanaan ekspansionis Soviet di Timur Tengah" yang
harus dibendung secara bersama. Karenanya, dia mengundang AS
mcningkatkan kemampuan militernya di Israel.
Begin bahkan menawarkan pada AS memakai dua pangkalan udara
militer Israel, yang dibangun dengan bantuan Washington. Dalam
usaha menandingi kekuatan Moskow dan sekutunya di Timur Tengah,
katanya, Israel bersedia memberikan perlindungan udara terhadap
pesawat angkut dan sistem pembekalan senjata AS di Laut Tengah.
"Kami juga berpikir menyelenggarakan kerjasama di bidang
angkatan laut," sambung Begin. "Kami punya dua pelabuhan yang
siap setiap saat dikunjungi Armada Ke AS (yang beroperasi di
Laut Tengah)."
Ancaman Soviet
Jika Israel bertempur dengan negara Arab tetangganya, AS akan
memberi dukungan? "Kami hanya akan saling membantu menghentikan
gerakan ekspansionis Soviet," kata Begin. Kedua negara juga
sepakat menyelenggarakan latihan bersama di Gurun Najaf, yang
akan melibatkan angkatan darat dan udara AS pertengahan tahun
depan. Jika terlaksana, peristiwa tersebut merupakan latihan
perang bersama pertama antara kedua negara.
Sudah sejak lama memang, Washing ton meniupkan hal "ancaman
Soviet" atas wilayah rawan di Timur Tengah. Apalagi sesudah lni
Soviet dan Suriah menandatangani perjanjian kerjasama militer
tahun lalu. Bagai mendapat angin, Begin menyebut perjanjian
tersebut suatu upaya Moskow menjadikan Suriah sebagai gudang
senjatanya. Di negeri itu, katanya, Soviet menyimpan 1.00C tank,
yang siap dipakainya menghadapi konflik di Timur Tengah,
sementara di Libya tersedia 2.000 tank kiriman Soviet.
Mengimbangi pangkalan armada Soviet di Pulau Socotra, di mulut
Teluk Aden, Washington membangun pula pangkalan udara dan laut
di Pulau Diego Garcia, di Lautan Hindia. Juga dibentuknya Rapid
Deploymet Force yang berkekuatan 110 ribu pasukan untuk
melindungi ladang minyak di kawasan Teluk Persia--salah satu
sumber utama kebutuhan energi AS. Mesir pun secara terbuka
menawarkan semua fasilitas pangkalan militernya untuk
dimanfaatkan AS. Dengan Oman, Somalia dan Kenya, Gedung Putih
sudah pula membicarakan pembangunan pangkalan militer.
Dengan kesiapsiagaan itu, Washington ingin meyakinkan para
sahabatnya bahwa "ancaman Soviet" benar-benar ada dan serius.
Secara khusus pula Menlu AS Alexander Haig belum lama ini
mengunjungi sejumlah negara sahabat di Timur Tengah. Tapi Arab
Saudi, misalnya, lebih mempercayai ancaman agresi Israel
ketimbang "ancaman Soviet." Keyakinan Saudi itu semakin tebal
tatkala secara mendadak Israel menyerang Reaktor Nuklir Ossirak
(Irak), sedang Irak tidak berperang dengan sang agresor.
Arab Saudi menyatakan persetujuan bersama Reagan dan Begin itu
justru akan menyebabkan Timur Tengah semakin rawan, dan
mendorong perlombaan senjata di wilayah itu. Setiap usaha Reagan
mempersenjatai Israel, demikian Raja Khaled, hanya akan
menyebabkan negara Arab berpaling ke Moskow. "Kami siap
berunding dengan setan tersebut jika hal itu merupakan
kepentingan terbaik kami," katanya seperti dikutip Newsweek.
Presiden Suriah Hafez-al-Assad menyebut persetujuan AS-Israel
itu merupakan konfrontasi langsung dengan dunia Arab. Sedang
Presiden Libya Kolonel Moamar Gaddafi melukiskannya sebagai
ancaman langsung terhadap eksistensi Arab. Dia menganjurkan
kepada negara Arab penganut garis keras (Suriah, Yaman Selatan,
Aljazair, PLO, Irak dan Libya) agar menyusun barisan dalam usaha
mempertahankan diri. Di Benghazi, Libya, sejumlah pemimpin
negara Arab penganut garis tersebut, pekan lalu secara khusus
membicarakan persetujuan AS--Israel.
Kuwait, negara konservatif di Teluk Persia, kini buru-buru
membuka kontak diplomatik dengan Moskow dalam upaya mengimbangi
pengaruh AS. Pemimpin Kuwait, Sheikh Jaber al-Ahmed al-Sabah,
pekan ini mengunjungi sejumlah negara Eropa Timur.
Arab Saudi berharap membeli perlengkapan militer seharga US$ 8,5
milyar dari AS -- termasuk lima pesawat AWACS (Airborne Warning
and Control System) dan 62 pesawat tempur F-15 Eagle. Ternyata
itu tidak berjalan licin. Sudah sejumlah 51 senator (AS)
mayoritas) pekan lalu menentangnya. Kendati demikian, Reagan
tetap berusaha menggolkannya tapi dengan mengurangi kemampuan
penginderaan pesawat AWACS.
Di Riyadh, Menteri Pertahanan Saudi Pangeran Sultan bin Abdul
Aziz mengatakan sikap dalam Senat AS tadi akan mendorong
pemerintahnya mencari sumber persenjataan serupa dari negara
lain. "Hubungan internasional kami tidak hanya didasarkan pada
satu perundingan (dengan AS) saja," katanya. Ketika didesak, dia
menolak mengungkapkan lebih terperinci. Suatu sumber menyebut
kemungkinan Saudi membeli pesawat Nimrod dari Inggris yang punya
kemampuan penginderaan seperti AWACS. Jika hal itu terjadi,
pamor AS di Timur Tengah akan berangsur pudar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini