Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah iklan di media sosial Facebook terdengar seperti undangan berwisata: "Perjalanan ke Italia pekan depan dengan kapal pesiar besar dan cepat. Dua lantai, berpenyejuk udara, siap untuk turis. Direkomendasikan untuk keluarga". Sebuah foto kapal pesiar bernama Silja Serenade menghiasi iklan yang isinya dikutip The Guardian pada Jumat dua pekan lalu.
Perjalanan sesungguhnya tak seelok yang diiming-imingkan. Iklan itu buatan penyelundup imigran yang berbasis di Turki. Mereka memanfaatkan harapan warga Afrika Utara dan Timur Tengah korban konflik yang ingin hijrah ke Eropa. Warga Libya, misalnya, memilih mengadu nasib di Eropa ketimbang tetap di negeri mereka yang kacau setelah Muammar Qadhafi lengser pada 2011. Dalam kenyataannya, penyelundup menyeberangkan mereka dengan kapal kargo, kapal cepat, bahkan kapal ikan.
Salah satu kapal penyelundup itu—berisi rombongan yang terdiri atas 800 imigran—tenggelam di Laut Tengah, di utara Libya, pada 19 April lalu. Hanya 27 orang yang selamat. Selain karena kelebihan muatan, kapal mereka bertabrakan dengan kapal kontainer berbendera Portugal. Mohammed Ali Malek, kapten kapal penyelundup, dan Mahmud Bikhit, anak buahnya, ditangkap. Penumpang yang selamat bersaksi bahwa Malek mengkonsumsi minuman beralkohol dan merokok sebelum kapal bertabrakan.
Jaksa penuntut Italia, Giovanni Salvi, mengatakan Malek dan Bikhit tergabung dalam jaringan penyelundup imigran yang lebih besar. Perdana Menteri Italia Matteo Renzi mengecam kejahatan ini. "Kita berhadapan dengan kejahatan terorganisasi yang banyak uang dan merenggut banyak nyawa," ujar Renzi.
Gara-gara penyelundup manusia, Laut Tengah menjadi semacam kuburan massal. Dalam catatan Organisasi Migrasi Internasional (IOM), 3.300 imigran tewas karena kapal tenggelam pada 2014. Hingga kuartal pertama tahun ini, sudah 1.700 orang ditelan laut yang memisahkan Afrika Utara dan Eropa itu. Jumlah ini 30 kali lebih banyak dibanding periode yang sama tahun lalu. "Ini pembunuhan massal paling parah (di Laut Tengah)," kata Carlotta Sami, juru bicara Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), seperti dilansir Foreign Policy, 23 April lalu. Tepat sepekan sebelumnya, 400 imigran juga tenggelam.
Korban yang terus bertambah tak menyurutkan minat bermigrasi. Bisnis penyelundup pun bertambah menggiurkan. Dulu hampir semua penyelundup hanya bisa dihubungi lewat perantara, tapi sekarang sebagian dari mereka berpromosi terang-terangan secara online dengan menyertakan kontak langsung di akun media sosial. Iklan dilengkapi keterangan biaya dan jadwal keberangkatan. Laporan The Guardian menyebutkan iklan penyelundup imigran asal Mesir yang mencolok: ilustrasi Musa membelah Laut Merah. Jargon mereka, "Jalan ke Eropa". Ada pula yang berpromosi lewat blog dan berusaha meyakinkan calon penumpang lewat chatroom.
Mereka menjanjikan bantuan memproses suaka dan imigrasi ke seluruh Eropa dengan paspor dan visa palsu. Tarif tergantung tujuan. Perjalanan dari Turki ke Yunani dengan kapal cepat, misalnya, dihargai 1.500 euro atau sekitar Rp 22 juta per orang. Rute Turki-Italia dibanderol 6.500 euro atau setara dengan Rp 96 juta. Anak-anak dikenai setengah harga.
Abu Alaa, salah seorang dalam jaringan penyelundup asal Mesir, tidak bermodal foto kapal mewah, tapi berusaha meyakinkan calon penumpang bahwa kapalnya aman. "(Kapal) mungkin tidak terlihat cantik, tapi itu sempurna karena semua bagian terbuat dari baja," katanya. Alaa membandingkan kapalnya dengan kapal pesiar. Dia mengatakan kapal mewah tak aman digunakan untuk jarak jauh karena tak bisa mengatasi gelombang.
Tak berhenti di situ, dia pun melaporkan perjalanan kapal lewat liveblog. Salah satunya rute penyeberangan 1.448 kilometer dari Mesir ke Italia pada 15 April lalu. "Sekarang (kapal) sudah keluar dari perairan nasional (Mesir) dan semua dalam kondisi sehat," ujarnya. Dua hari kemudian, dia kembali melaporkan bahwa rombongan sudah mencapai sepertiga perjalanan. Namun dia tak menyebut kabar buruk: kapal hampir ditangkap polisi pesisir Yunani dan mesin kapal sempat mati. Alaa menepis segala kabar miring yang beredar di Facebook dengan bermacam dalih.
Taktik penyelundup lain beda lagi. Nasr, penyelundup yang berbasis di Turki, menjanjikan penginapan berupa hotel kepada penumpang yang membawa keluarga. Dia menampilkan foto orang-orang sedang bersandar di geladak kapal dan mengklaim mereka sebagai penumpang. "Mereka bersenang-senang dalam perjalanan ke Italia," Nasr menulis.
Masih mengacu pada laporan The Guardian, di antara para penyelundup ada yang mendapat penumpang dengan cara lama: nongkrong di dermaga. Hajj salah satunya, beroperasi di Zuwara, Libya. Pria 33 tahun ini membeli kapal kayu dari nelayan. Dia juga punya perahu karet Zodiac, produk impor hasil jarahan dari gudang Qadhafi. "Salah satu alasan kenapa ikan mahal di Libya karena berkurangnya kapal penangkap ikan. Kapal banyak digunakan oleh penyelundup," kata Hajj. Dia bercerita pernah mengantar keluarga Suriah ke Italia memakai kapal Zodiac dengan bayaran US$ 100 ribu atau sekitar Rp 1,3 miliar.
Penyelundup yang juga memakai cara tradisional adalah Ahmed—bukan nama sebenarnya. Dia menggunakan perantara yang diberi upah 250 pound sterling atau setara dengan Rp 5 juta per orang. Ahmed menerapkan tarif bervariasi menurut asal penumpang. Penumpang asal Afrika membayar US$ 800-1.000 atau Rp 10-13 juta. Penumpang Suriah dikenai US$ 2.500 atau sekitar Rp 32 juta dan penumpang Maroko 1.500 euro atau setara dengan Rp 22 juta.
Ahmad menyebutkan keuntungannya mencapai 24.300 pound sterling atau Rp 500 juta per perjalanan. Pada pekan yang sibuk, keuntungan berlipat menjadi 500 ribu pound sterling atau sekitar Rp 10 miliar. Jaksa Salvi berujar duit transaksi penyelundup imigran sulit terlacak karena umumnya berbentuk tunai dan tradisional, diedarkan dalam jaringan lintas negara lewat perantara.
Meski untung, kata Hajj, pasar yang makin terbuka membuat harga tumpangan jatuh. Penyelundup jadi mesti menambah muatan untuk menutup kekurangan pendapatan. Dia menyebutkan kapal sepanjang 17 meter semestinya hanya memuat maksimal 300 penumpang. Dia mengakui penyelundup kerap memaksakan muatan hingga tiga kali lipat.
Imigran pun mendapat perlakuan kasar. Shady, pedagang asal Suriah yang ingin menyeberang ke Italia, bercerita bagaimana dia dijejalkan ke sebuah ruang sempit bersama 45 laki-laki, 9 wanita, dan 12 anak-anak. Ketika sampai tujuan pukul 1 dinihari, mereka diturunkan di bagian laut yang kedalaman airnya sebatas mulut. "Padahal mereka berjanji menurunkan kami di kedalaman sebatas lutut."
Empat hari setelah tragedi di Laut Tengah pada 19 April lalu, para pemimpin Uni Eropa menggelar pertemuan darurat. Mereka berjanji meningkatkan pemberantasan jaringan penyelundup imigran dan menambah dana tim SAR di Laut Tengah. "Kami akan beraksi sekarang. Uni Eropa mendeklarasikan perang terhadap penyelundup," kata Komisioner Migrasi Uni Eropa Dimitris Avramopoulos, seperti dilansir The World Post.
Sejauh ini Italia baru menangkap 24 penyelundup. Sebanyak 14 di antaranya berada di Italia. Jaringan mereka merentang dari Afrika hingga Eropa utara. Otaknya diduga Ermias Ghermay, pria Ethiopia yang kini berada di Libya. Dia sudah diburu sejak 366 imigran tenggelam di Lampedusa pada 2013.
Hajj sama sekali tak khawatir akan kemungkinan razia oleh Uni Eropa. "Saya tidak terancam. Ini sudah terjadi bertahun-tahun," katanya. Dia yakin karena kapalnya parkir di dermaga yang sama dengan kapal nelayan sehingga bisa tersamarkan. Dia ragu Uni Eropa bisa menekuk penyelundup imigran. "Apa yang bisa mereka lakukan? Mengerahkan kapal perang di perairan Libya? Itu berarti invasi."
Atmi Pertiwi (The Guardian, The World Post, The Telegraph, Foreign Policy, Al Jazeera America)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo