Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Koalisi Makin Condong ke Kanan

Netanyahu akhirnya bersekutu dengan partai sayap kanan ekstrem. Pemerintah koalisi dengan posisi tawar rendah.

18 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampak tegang saat membahas kemungkinan membentuk koalisi dengan pemimpin Partai Jewish Home, Naftali Bennett. Hingga menjelang tengah malam, Rabu dua pekan lalu, keduanya belum juga mencapai kata sepakat. Netanyahu pantas ketar-ketir karena hari itu Partai Likud yang dipimpinnya harus melengkapi jumlah minimal kursi Knesset, parlemen Israel, untuk bisa membentuk pemerintah baru.

Setelah negosiasi alot yang melelahkan selama 11 jam, kedua pihak mencapai kesepakatan 90 menit sebelum tenggat berlalu. Dengan prosesi jabat tangan yang terlihat canggung, Bibi—panggilan akrab Netanyahu—akhirnya menyetujui sejumlah tuntutan Bennett untuk bergabung dalam pemerintah koalisi.

Negosiasi itu menjadi penentu keberlangsungan Partai Likud sebagai pemenang pemilihan umum pada 17 Maret lalu. Jika Bibi gagal membentuk pemerintah, Presiden Reuven Rivlin berhak menunjuk ketua partai lain untuk menggantikannya. Dengan kata lain, dia harus kehilangan posisinya sebagai perdana menteri untuk yang keempat kalinya.

Kesepakatan tujuh pekan setelah pemilu berlangsung itu memungkinkan Bibi mengumumkan komposisi kabinetnya. Bersama empat partai lain, kabinet kali ini hanya didukung 61 dari 120 kursi Knesset. Ini merupakan dukungan paling minim bagi pemerintah Israel selama dua dekade terakhir. Tapi, "Enam puluh satu adalah angka yang baik. Saya yakin pemerintah ini akan semakin besar. Dimulai dengan 61, kami memiliki lebih banyak pekerjaan di depan," kata Bibi dalam jumpa persnya, seperti dilansir Vice News, Kamis dua pekan lalu.

Partai Likud secara mengejutkan memenangi pemilu Israel pada Maret lalu dengan meraup 30 kursi parlemen. Partai Zionist Union, yang sebelumnya diunggulkan dalam berbagai jajak pendapat, hanya memperoleh 24 kursi. Netanyahu berhasil membalikkan keadaan dengan sejumlah janji kampanye tepat sehari sebelum pencoblosan. Salah satu janjinya adalah tak akan membiarkan berdirinya negara Palestina dan membangun lebih banyak permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Seusai kemenangan itu, Bibi sempat terancam gagal membentuk pemerintah baru karena Avigdor Lieberman, pemimpin Partai Yisrael Beiteinu, meninggalkan meja perundingan untuk membentuk koalisi dua hari sebelum tenggat. Lieberman, yang juga Menteri Luar Negeri, menyatakan partainya tak akan bergabung dalam koalisi karena menilai pemerintah baru tak cukup nasionalis.

Penarikan diri Partai Yisrael Beitenu yang dramatis dan tiba-tiba itu mengejutkan karena Lieberman telah dua periode menjabat Menteri Luar Negeri dan merupakan sekutu utama Bibi. Penolakan Lieberman bergabung membuat Bibi harus segera mencari keseimbangan demi mewujudkan pemerintah barunya. Dengan keluarnya Partai Yisrael Beiteinu, jumlah kursi parlemen yang memungkinkan berkoalisi berkurang enam dan tak bisa mencapai mayoritas.

Politikus 65 tahun itu tak punya jalan untuk bertahan di pemerintah selain berkoalisi dengan Partai Jewish Home. Dengan posisi tawar yang lemah, Bibi terpaksa mengabulkan syarat yang diajukan, di antaranya memberikan delapan posisi dalam kabinet dan memberikan jabatan Menteri Kehakiman kepada Ayelet Shaked.

Sebelum bersepakat dengan Partai Jewish Home, Bibi lebih dulu mengamankan 53 suara parlemen Knesset dengan menjalin koalisi bersama Partai Shas, Kulanu, dan United Torah Judaism. Sampai Lieberman akhirnya menarik diri, Bibi berharap bisa mengamankan 67 kursi di parlemen. Tapi kini koalisi hanya memperoleh 61 kursi parlemen. Maka koalisi yang terdiri atas Partai Likud, United Torah Judaism, Shas, Kulanu, dan Jewish Home hanya bisa mencapai mayoritas tipis. Inilah koalisi yang dinilai sebagai salah satu pemerintah paling beraliran sayap kanan dalam sejarah Israel.

Kesepakatan Netanyahu dengan Naftali Bennett, yang dikenal sangat anti-Palestina, disesalkan banyak pihak. Upaya Netanyahu berkoalisi dengan partai garis keras diperkirakan semakin merusak hubungan dengan warga Palestina dan semakin mengucilkan negara Yahudi itu dari masyarakat internasional. Apalagi Bennett menunjuk Ayelet Shaked, tokoh kontroversial yang menyarankan kekerasan terhadap warga sipil Palestina, sebagai Menteri Kehakiman.

Penunjukan Shaked dikhawatirkan berpengaruh terhadap proses peradilan. Apalagi Menteri Kehakiman baru akan memiliki kekuasaan menunjuk jaksa agung, yang kosong dalam enam bulan ke depan.

Sebenarnya, sejak awal, Partai Likud berupaya mencegah Partai Jewish Home memegang jabatan hukum di pemerintah. Dalam rencananya, Shaked akan ditunjuk menjadi Menteri Kebudayaan dan Olahraga. Namun Bennett berhasil menekan Netanyahu untuk memberikan posisi Menteri Kehakiman. Netanyahu, yang memerlukan delapan kursi Partai Jewish Home, tak punya pilihan.

Didukung sejumlah partai sayap kanan dan ultra-ortodoks, kabinet kali ini juga dianggap merupakan yang paling ekstrem dalam menghadapi perundingan damai Palestina. "Pemerintah kali ini memberikan pesan yang salah kepada dunia. Israel akan dilihat sebagai negara ekstrem yang tak tertarik pada perdamaian," tutur Erel Margalit, anggota parlemen dari partai oposisi sayap kiri, Zionist Union.

Pemerintah Palestina juga menyambut sinis pemerintah baru Israel. Menurut pemerintah Palestina, orang-orang yang dipilih Netanyahu dalam kabinet barunya adalah kaum rasis. "Diskriminasi akan terus berlanjut di Timur Tengah. Koalisi itu akan menjadi lawan bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan kami," kata ketua juru runding Palestina, Saeb Erekat.

Erekat juga meyakini pemerintah baru Israel akan membawa dampak buruk bagi warga Palestina. Terbentuknya pemerintah baru ini, menurut dia, akan membuat negosiasi kedua negara semakin sulit mencapai kata sepakat."Netanyahu akan menolak solusi dua negara (Palestina dan Israel). Selain itu, dia akan memulai rezim apartheid baru di Timur Tengah."

Namun sejumlah pengamat mengatakan koalisi Netanyahu itu tak akan bertahan lama karena hanya menguasai 61 dari 120 kursi parlemen Knesset. Analis politik dari lembaga Begin-Sadat Centre, Jonathan Rynhold, mengatakan terlalu dini untuk menyimpulkan kebijakan apa yang akan dibawa Netanyahu karena komposisi koalisi dapat berubah dengan cepat dalam beberapa bulan mendatang. "Jika Israel memulai pemerintahan dengan kebijakan yang sempit dan bercorak keras, posisi negara itu di mata internasional akan semakin sulit," ujarnya.

Kritik itu justru ditepis oleh Naftali Bennett, yang meyakini pemerintah koalisi saat ini dapat bertahan solid hingga berakhir pada November 2019. Bagi dia, pemerintah baru bukanlah sekadar untuk kepentingan sayap kanan atau kiri, melainkan ditujukan bagi rakyat Israel. "Saya telah melakukan pembicaraan yang baik dengan Perdana Menteri. Saya mengatakan kepadanya kami akan mendukungnya dan bekerja dengan kekuatan bersama membangun kesuksesan negeri," katanya.

Dengan kesepakatan itu, beberapa kader Partai Jewish Home diserahi sejumlah posisi dalam kabinet. Di antara jabatan-jabatan itu, Bibi memberikan posisi Menteri Pendidikan dan Diaspora kepada Bennett. Menteri Pertanian dijabat oleh Uri Ariel, yang sebelumnya menjabat Menteri Perumahan. Sedangkan Ayelet Shaked memimpin Kementerian Kehakiman. "Kami akan membangun sebuah pemerintah yang kuat dan stabil untuk rakyat Israel. Kami memiliki pekerjaan yang harus dilakukan segera," ujar Bibi.

Bibi sebenarnya pernah mengungkapkan akan menggandeng pemimpin kubu sayap kiri. Namun rival terkuatnya dalam pemilu, Isaac Herzog, menolak bergabung dalam koalisi. Partai pimpinan Herzog, Zionist Union, juga Partai Joint List pimpinan Ayman Odeh, menolak bersatu dalam koalisi.

Herzog mengecam kesepakatan kabinet Netanyahu sebagai pemerintah dari kegagalan nasional. Dia menegaskan bahwa Zionist Union, yang berada di posisi kedua dalam pemilu Israel, akan menempatkan diri sebagai kelompok oposisi untuk mengimbangi pemerintah sayap kanan Netanyahu. "Hasil pemilu menunjukkan rakyat menginginkan pemerintah ekstremis sayap kanan," kata Herzog. "Kami akan mengubahnya melalui kedudukan oposisi."

Rosalina (The Telegraph, Vice News, Reuters, YNET, The Jerusalem Post)


Tukang Bakar di Dinas Pemadam Api

Dalam satu posting di akun Facebook miliknya, pada musim panas tahun lalu, Ayelet Shaked menyatakan bahwa "seluruh rakyat Palestina adalah musuh"; ia menyerukan upaya pemusnahan mereka, "termasuk tetua dan perempuannya, kota dan desanya, properti dan infrastrukturnya". Seruan bernada hasutan untuk melancarkan genosida ini tayang mulai 1 Juli, sehari sebelum sejumlah ekstremis Yahudi menculik Muhammad Abu Khdeir, remaja Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur, dan membakarnya hidup-hidup.

Shaked waktu itu adalah anggota baru Knesset atau parlemen Israel dari Partai Jewish Home—kekuatan politik yang berhaluan ekstrem kanan. Perempuan 39 tahun inilah yang pekan lalu ditunjuk sebagai Menteri Kehakiman. Namanya diusulkan pada saat-saat terakhir menjelang tenggat yang harus dipenuhi perdana menteri terpilih Benjamin Netanyahu untuk membentuk pemerintah.

Baru kurang-lebih setahun aktif berpolitik, Shaked memupuk popularitas melalui pendapat-pendapatnya yang kontroversial. Dia cepat menghimpun dukungan di kalangan pemilih yang sependapat dengannya mengenai ketidakpercayaan bahwa Palestina punya niat yang tulus untuk berdamai; mereka juga dengan sengit menentang pendirian negara Palestina.

Postingan di akun Facebook yang menyebar ke media sosial dan kemudian diberitakan oleh media di Amerika Serikat itu sempat mengundang komentar Recep Tayyip Erdogan, waktu itu menjabat Perdana Menteri Turki. Erdogan menyamakan Shaked dengan kaum Nazi. "Apa beda mentalitas ini dengan mentalitas Hitler?" ujarnya. "Jika kata-kata ini datang dari seorang warga Palestina, seluruh dunia pasti akan mengutuknya."

Shaked berkukuh pada pendapatnya dan menepis kritik serupa itu dengan mengatakan bahwa kata-katanya, yang aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani, diterjemahkan secara serampangan. Tapi postingan yang membakar itu belakangan dia hapus juga.

Mengklaim sebagai seorang Yahudi sekuler, Shaked besar dalam keluarga yang tak pernah memperbincangkan politik. Ibunya adalah keturunan dari imigran yang meninggalkan wilayah Kekaisaran Rusia dan Rumania pada 1880-an. Ayahnya, seorang Yahudi dari Irak, beremigrasi pada 1950-an. Meski dia memperjuangkan kebijakan sekuler, termasuk pemberlakuan wajib militer bagi kaum Yahudi ultra-ortodoks, pandangan sayap kanannya sangat dipengaruhi para pemukim religius yang ia bela.

Shaked pernah bekerja untuk Netanyahu pada 2006-2008, tapi lalu memisahkan diri. Dia mendirikan My Israel, gerakan ekstraparlemen pro-Zionis, bersama Naftali Bennett, yang kini memimpin Partai Jewish Home dan pernah menjadi Menteri Ekonomi di pemerintahan Netanyahu sebelumnya.

Sejak itulah reputasi Shaked sebagai seorang ultra-nasionalis menguat. Dia tak segan buka-bukaan perihal upaya lobi yang dilakukannya untuk menentang migrasi dari Afrika, yang ia anggap sebagai ancaman terhadap Israel. Dalam satu wawancara, dia bahkan menuduh para pencari suaka dari Eritrea dan Sudan berbohong mengenai situasi negara mereka. "Jika benar-benar pengungsi, mereka seharusnya terlihat seperti pengungsi di Suriah atau Irak dengan membawa anak-anak, perempuan, dan barang-barang mereka," katanya.

Setelah terpilih sebagai anggota parlemen, Shaked justru makin gigih mengusulkan penahanan dan deportasi imigran. Dia juga merupakan pendukung garis keras undang-undang yang bertujuan menjadikan Israel sebagai negara Yahudi—pandangan yang juga dianut Netanyahu dan banyak warga Israel. Kelompok ini tergolong besar. Dalam jajak pendapat pada Desember tahun lalu terungkap bahwa 31 persen warga Israel menganggap undang-undang semacam itu akan mempromosikan kepentingan Israel.

Menurut Daniel Levy, Direktur European Council on Foreign Relations untuk Timur Tengah, dengan jabatan Menteri Kehakiman, Shaked bakal terus merangsek dengan gagasan untuk "membangun negara Yahudi dengan mengorbankan upaya membangun demokrasi". Karena itulah Nachman Shai, anggota parlemen dari Partai Zionist Union, mengibaratkan pengangkatan Shaked sebagai "penunjukan seorang pyromaniac (orang yang selalu terdorong menyalakan api dan membakar apa saja) untuk memimpin dinas pemadam kebakaran".

Purwanto Setiadi (Foreign Policy, Global Research, Haaretz, The Independent)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus