Pertemuan itu berlangsung di luar jam kerja kepresidenan. Duta Besar Singapura, Edward Lee, khusus dipanggil Presiden Megawati di rumahnya, di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, pada sebuah petang Jumat pekan lalu. Meski tak ada keterangan resmi dari Istana, bisa ditebak bahwa mereka menyinggung soal diplomasi kedua negara yang sempat memanas belakangan ini. Akar masalahnya adalah tudingan Menteri Senior Lee Kuan Yew bahwa Indonesia sarang teroris dan para pentolannya berkeliaran bebas tanpa dihukum.
Pernyataan Mister Lee itu memang bikin geger Jakarta. Para pejabat RI seperti kebakaran jenggot dan berusaha keras menangkis serangan itu?dengan nada setengah jengkel. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyebut pernyataan mantan perdana menteri negeri singa itu provokatif dan tidak didukung bukti yang kuat. Pemerintah sudah mengirimkan nota diplomatik disertai keberatan atas pernyataan tokoh penting negara jiran yang sangat berpengaruh di komunitas Cina perantauan sejagat itu.
Sejumlah gerakan Islam langsung ikut bereaksi. Mereka berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Singapura di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, pekan lalu. Seribu lebih massa Hisbut Tahrir Indonesia dan Gerakan Pemuda Islam (GPI) turun ke jalan. Mereka menyebut pernyataan mantan penguasa Singapura itu sebagai penghinaan atas kehormatan bangsa Indonesia yang mayoritas Islam. GPI sempat membakar bendera negara tetangga itu dalam aksi tersebut.
Tapi polisi juga tak kalah aksi. Mereka berupaya mengungkap sebuah isu konspirasi gawat: terorisme yang melintas batas di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Beberapa petinggi dari Markas Besar Kepolisian RI sudah beberapa kali bertandang ke empat negara ASEAN itu. Tim khusus ini dipimpin oleh Kepala Korps Reserse Mabes Polri Inspektur Jenderal Pol. Engkesman R. Hillep. Di dalamnya ada pula Direktur Anti-Teror (Direktur C) Intelijen Mabes Polri Brigadir Jenderal Utju Djuhari, Kombes Pol. Bagus dari Intelijen, serta Beni Mamoto dari Interpol Indonesia.
Tim ini selama dua hari, 22-23 Februari lalu, berada di Singapura. Mereka datang setelah ada lampu hijau dari pemerintah Kota Singa itu, yang akan memberikan bantuan kerja sama intelijen dalam memerangi terorisme. Sayangnya, tim ini tidak berhasil menemui ke-13 orang warga Malaysia anggota kelompok yang menamakan diri Jamaah Islamiyah yang di-tahan sejak akhir tahun lalu. Mereka dicurigai akan melakukan aksi-aksi perusakan kedutaan besar dan perusahaan Amerika di Singapura.
Singapura dan Malaysia memang galak memerangi gerakan radikal Islam. Berbekal Internal Security Act atau Undang-Undang Keselamatan Dalam Negeri, pemerintah dapat menahan seseorang yang dicurigai melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara. Atas dasar undang-undang tadi, ke-13 orang Malaysia itu ditahan.
Selama dua hari, keempat perwira polisi tadi hanya bertemu dengan para pejabat penting di Kementerian Dalam Negeri Singapura dan pejabat kepolisian setempat. Dari hasil penyelidikan polisi Singapura, hanya diperoleh pengakuan sepihak dari mereka. Tak ada bukti lebih. Mereka konon mengaku mengenal Hambali, warga negara Indonesia asal Cianjur, Jawa Barat, sebagai salah satu pentolan Jamaah Islamiyah.
Kebetulan polisi Indonesia sedang memburu Hambali. Sejak awal tahun lalu, pria berumur 37 tahun ini masuk daftar pencarian orang (DPO) Interpol. Ia diduga kuat sebagai otak peledakan gereja-gereja pada malam Natal tahun 2000 di Jakarta, juga biang peledak bom di Jalan Terusan Jakarta, Bandung. Hambali disebut-sebut lari ke Malaysia. Namun, setelah tim reserse Kepolisian Daerah Jawa Barat menyisir ke negeri tetangga itu, hasilnya nol. Hambali diduga terbang ke Timur Tengah.
Tudingan Lee tampaknya ikut memacu para petinggi polisi tadi datang ke Singapura. Me-reka mencari tahu kaitan antara satu tokoh yang ditangkap dan buron lainnya. Tapi bukti yang didapat di Singapura ternyata sangat minim?cuma pengakuan sepihak para tahanan. "Jadi masih berupa informasi intelijen. Kami tidak dapat menangkap seseorang hanya berdasarkan pengakuan. Minimal harus ada dua alat bukti yang menunjang," ujar Engkesman kepada TEMPO.
Perbedaan sistem hukum kedua negara ini lumayan bikin ruwet. Engkesman harus menjelaskan panjang-lebar kepada para petinggi keamanan Singapura tersebut. "Sebagai negara demokratis, kami tidak bisa menangkap dan menahan seseorang tanpa bukti yang cukup," katanya. Untuk misi penting itu, tim Engkesman akan kembali terbang ke Singapura. Mereka akan bertemu langsung dan memeriksa para tahanan. Mungkin ada celah baru yang bisa ditelusuri.
Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini