Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam jatuh di Kandahar. "Main!" teriak seseorang di lorong kota. Dengan cepat orang-orang merubung, membentuk lingkaran. Di tengah kalangan, sang bandar membanting "Jack", lalu menyelipkan "King". Dan dimulailah judi kartu Kandahar, pemainan yang tidak pernah terlihat lagi dalam lima tahun terakhir.
Bagi mata "Barat", Kandahar adalah kota steril, kota yang menutup pintu dari semua kemungkinan tindak asusila. Tak ada bar, tak ada pub, bahkan tak ada warung minum teh. Tak ada bioskop. Tak ada tempat bagi lelaki dan perempuan untuk bisa saling mencuri pandang. Bahkan, kalaupun ada, permainan mata seperti itu tetap mustahil karena para perempuan menenggelamkan seluruh tubuh dan parasnya ke dalam burqah.
Tapi, hari-hari ini, beberapa bulan setelah pemerintahan Taliban tersingkir, "kehidupan" seperti itu mulai berdenyut di Kandahar. Permainan judi kartu, yang pernah jadi candu Kandahar di zaman pra-Taliban, kini meruyak lagi. Begitu juga perdagangan opium. Toko-toko yang menjual getah bermorfin itu mulai menjamur. "Ini memang buruk," kata Aminullah, penjual opium mentah, sambil mengunyah sepotong barang dagangannya, "tapi keburukan kecil-kecilan."
Kecil-kecilan? Aminullah menunjuk maraknya paedofilia—perilaku seksual yang memangsa bocah-bocah di bawah umur—yang kini juga mewarnai kehidupan di kota pasir itu. Kandahar, kota kelahiran gerakan Taliban, seperti kembali ke masa silam. Pelbagai penyakit sosial, perjudian, pemakaian obat-obat terlarang, dan perburuan anak-anak ingusan kini mudah dijumpai di mana-mana.
Bagi Afganistan, paedofilia seperti kutukan nasib. Dalam masyarakat dengan budaya segregasi ekstraketat, lelaki yang belum menikah nyaris tak pernah melihat perempuan selain ibu dan saudara mereka. Bermain api dengan perempuan adalah bermain api dengan hukuman mati. Akibatnya, para lelaki Afgan sering kali mengarahkan urusan syahwatnya ke jurusan lain—kepada bocah-bocah muda, lelaki ber-umur 9-12 tahun yang belum berjenggot.
Praktek yang dilarang dalam Islam ini bagi masyarakat Pashtun pra-Taliban bukanlah kejahatan serius. Sekalipun tidak terang-terangan paedofilia dianggap sebagai kelaziman sosial. Jejaknya bisa ditelusuri jauh ke belakang hingga abad ke-19. Ketika itu, suku Pasthun yang bertempur untuk pasukan Inggris sering mendendangkan kerinduan mereka pada haliq, bocah lelaki yang dijadikan obyek seks. Mereka juga sering membawa lelaki bau kencur ke tenda-tenda.
Kebangkitan gerakan Taliban salah satunya dipicu oleh maraknya paedofilia. Ketika itu, Mullah Muhammad Umar berhasil membebaskan seorang anak malang yang diperebutkan dua komandan perang yang bertikai. Tak mengherankan, ketika berkuasa, Taliban berusaha keras mengenyahkan praktek keji itu.
Taliban memerintahkan pemeliharaan kumis dan jenggot. Remaja laki-laki yang sudah berkumis konon tak lagi mengundang minat karena dianggap sudah tak "cantik" lagi. Selain itu, Taliban juga menerapkan hukuman berat bagi pelaku homoseksual. Mereka yang tertangkap akan ditimbun dengan tembok setinggi tiga meter setebal setengah meter, sampai mati.
"Selama Taliban berkuasa, mencari 'kawan' sangat sulit," kata Ahmad Farid, anak pemilik toko sepatu yang kini alisnya ditindik. Hampir sepuluh tahun terakhir, pemuda 19 tahun itu menjadi "pacar" Daud, yang sepuluh tahun lebih tua. Farid tak merasa dipaksa. Daud merayunya habis-habisan, mengejarnya enam bulan penuh, menghujaninya dengan cokelat dan pelbagai hadiah.
Dengan terbuka, kedua sejoli ini menceritakan bagaimana mereka bercinta secara "gelap-gelapan" selama pemerintahan Taliban kepada wartawan New York Times, pekan lalu. Keterbukaan Farid dan Daud seperti menjadi pertanda bahwa maraknya praktek-praktek homoseksual, terutama di markas-markas militer di Kandahar, sulit dikendalikan.
Pemerintahan sementara Afganistan memang telah mencoba mengendalikan kegemaran yang satu ini. Mereka melarang "bocah-bocah tanpa jenggot"—sebutan halus untuk partner seks di bawah umur—berkeliaran di kamp-kamp militer, kantor polisi, ataupun rumah-rumah komandan perang. Namun, larangan lisan seperti itu tampaknya jauh dari cukup. Maka, kehidupan yang kelam itu kembali lagi.
Yusi A. Pareanom (N.Y. Times, AP, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo