Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pembalasan di negeri ladang ...

Proses perdamaian di kamboja selangakah lebih mundur. pemimpin khmer merah, khieu samphan, diserbu massa. hampir saja ia digantung. terpaksa sidang dewan nasional tertinggi dipindahkan ke pattaya.

7 Desember 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa pun sebab penganiayaan terhadap Khieu Samphan, perdamaian di Kamboja selangkah lebih mundur. Soal inilah, antara lain, dibahas di Pattaya oleh Dewan Nasional Tertinggi pekan ini. HAMPIR saja Khieu Samphan, orang ketiga dalam kepemimpinan Khmer Merah, digantung. Peristiwanya bermula sekitar pukul setengah delapan pagi ketika Khieu Samphan turun dari pesawat Bangkok Airways yang membawanya dari Muangthai di Bandara Pocentong, Rabu pekan lalu. Sudah dari pagi rupanya ribuan rakyat Kamboja menanti arsitek pembantaian rakyat Kamboja itu. Jalan-jalan Phnom Penh diblokir rakyat. Maka, iringan kendaraan yang membawanya terpaksa bergerak perlahan dan mendapat kawalan ketat polisi. Klimaksnya terjadi ketika ia tiba di markasnya, rumah bertingkat dua di Jalan 215, yang dua hari sebelumnya dibeli oleh Khmer Merah. Dua jam setelah Khieu Samphan masuk ke rumah, menurut kesaksian para wartawan yang ada di sana, massa yang marah datang mengepung. Terdengar massa memaki, "Pembunuh." Tiba-tiba terdengar seruan, "Hajar pembunuh itu." Langsung saja pintu didobrak massa. Lima polisi yang menjaganya tak berdaya. Puluhan orang menyerbu ke dalam. Semua perabotan yang ada di tingkat bawah dirusak. Massa yang beringas naik ke tingkat dua mengobrak-abrik buku-buku, arsip, dan kopor-kopor berisi pakaian, melemparkannya lewat jendela. Di bawah sudah menunggu kerumunan orang yang mengumpulkan benda-benda itu dan membakarnya. Tapi, ketika uang dolar beterbangan orang pun berebut menangkapnya. Khieu Samphan, yang ada di tingkat atas, langsung mengunci diri di kamar mandi. Namun, segera massa yang mencarinya mendobraknya. Ia ditarik keluar dan dipukuli dengan pipa besi dan kayu. Kepalanya luka, darah mengalir ke wajahnya. Pengawal istimewanya yang khusus dilatih di Korea Utara hanya bisa bengong. Namun, menurut sebuah sumber militer di Bangkok kepada TEMPO, Khieu Samphan sendirilah yang menginstruksikan agar para pengawal tidak melawan. Mungkin, kata sumber itu, Samphan tak ingin mendapat cap lebih buruk sebagai pembantai warga sipil. Gerombolan orang yang beringas itu kemudian mengambil kabel listrik dan mengikatkannya ke kipas angin yang tergantung di langit-langit. Hampir saja ia digantung bila tak segera datang enam mobil lapis baja membawa pasukan, dan dari salah satu kendaraan itu keluarlah Hun Sen, resminya bekas perdana menteri Kamboja, yang kini salah seorang wakil ketua Dewan Nasional Tertinggi, pemerintah sementara negeri ini. Pasukan keamanan segera naik ke atas, menyelamatkan Khieu Samphan yang babak belur. Sebuah helm dipasangkan ke kepalanya, diganjal celana dalam, agar luka di kepala tak tergencet helm. Hari itu juga, tujuh jam setelah berada di Phnom Penh, bersama tokoh-tokoh Khmer Merah lainnya, Khieu Samphan terbang ke Bangkok. Konon untuk berobat. Kemudian ia langsung kembali ke markas besar Khmer Merah di perbatasan Muangthai-Kamboja. Khieu Samphan ternyata tak sehebat seperti cerita-cerita yang beredar selama ini. Menurut kesaksian seorang wartawan Prancis yang dikutip International Herald Tribune, ketika serbuan terjadi ia memohon-mohon kepada wartawan itu dalam bahasa Prancis, "Tolonglah saya. Jangan ditinggal di sini sendiri!" Banyak yang merasa heran mengapa justru tokoh yang sering disebut "moderat" itu yang menjadi sasaran kemarahan rakyat. Ketika menteri pertahanan Khmer Merah Son Sen tiba di Phnom Penh beberapa hari sebelumnya, ia tak mendapat gangguan. Padahal, pada 1975, sebagai panglima garnisun ibu kota, Son Sen adalah orang yang memerintahkan pengosongan kota dan memaksa penduduk ke pedalaman jadi petani. Memang, Khieu Samphan tak bisa cuci tangan begitu saja. Kebijaksanaan Pemerintah Khmer Merah pada 1975-1979 dahulu untuk mengosongkan kota-kota dan memaksa penduduk jadi petani paksaan bertitik tolak dari teori ekonomi Khieu Samphan yang mendapat gelar doktor dari Universitas Sorbonne, Paris. Tesisnya itulah yang dijadikan dasar kebijaksanaan Khmer Merah untuk membawa kembali sejarah negeri itu ke titik nol. Prakteknya adalah pembantaian jutaan orang Khmer seperti yang dilukiskan dalam film The Killing Fields. Mengapa ini terjadi? Ada yang mengatakan bahwa ini rekayasa Hun Sen, yang ingin mengucilkan Khmer Merah. Hun Sen ingin menunjukkan kepada rakyat Kamboja dan juga kepada dunia bahwa kekejaman Khmer Merah masih belum dilupakan rakyat. Langkah itu dimaksudkan untuk mengimbangi pengaruh Khmer Merah yang konon masih berakar kuat di pedesaan. Yang menarik adalah pendapat Khieu Kanarith, bekas redaktur surat kabar Kampuchea. Ia, kini anggota parlemen, mengatakan bahwa insiden tersebut diatur oleh oknum-oknum di Phnom Penh yang tak senang dengan Perjanjian Paris dan ingin menggagalkannya. "Ketika kejadian itu meletus," kata Kanarith, "Hun Sen tak berani melarang. Kalau ia sampai berbuat demikian, itu suatu bunuh diri politik." Hun Sen akan dicap sebagai pembela Khmer Merah. Apa pun sebabnya, para komentator umumnya berpendapat bahwa itu membuat perdamaian di Kamboja selangkah lebih mundur. Meski Khieu Samphan sendiri menganggap peristiwa itu sebagai insiden kecil yang tak akan mempengaruhi perdamaian, di kamp-kamp di perbatasan Muangthai terjadi unjuk rasa pembalasan besarbesaran. Orang-orang membawa spanduk yang mengkritik Phnom Penh dan patung Hun Sen dibakar. Radio Khmer Merah menuduh aksi penganiayaan itu didalangi kaum imperialis. Sementara itu, di Phnom Penh sendiri suasana kembali tenang. Sihanouk, yang kabarnya segera menelepon Khieu Samphan di Bangkok, berterima kasih bahwa Khieu Samphan bisa menahan diri, dan berjanji tetap duduk dalam Dewan Nasional Tertinggi. Mungkin dari pembicaraan itu Sihanouk menyatakan bahwa Phnom Penh rupanya tak cukup layak untuk tempat pertemuan pertama Dewan Nasional Tertinggi Kamboja itu karena keselamatan para peserta tak terjamin sepenuhnya. Insiden ini membuat orang berpikir, pasukan PBB memang diperlukan segera. Tapi mungkin tentara PBB hanya akan bisa mendamaikan mereka secara fisik. Dalam batin sebagian besar rakyat Kamboja tak bisa melupakan zaman ketika nyawa hampir tak ada harganya. Siapa saja, termasuk bayi, anak-anak, wanita, dan orang tua, sewaktu-waktu bisa dibantai dengan sadistis bila penguasa (Khmer Merah) menganggapnya melakukan kesalahan. Banyak mereka yang selamat jadi buta karena terguncang menyaksikan "eksekusi" tak berperi kemanusiaan. Bisakah Dewan Nasional Tertinggi memecahkan masalah itu, dalam sidang pertamanya di Pattaya, Muangthai, mulai Selasa pekan ini? Yuli Ismartono (Bangkok) & A. Dahana (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus