IMSA yang dipimpin Tantyo Sudharmono ricuh. Soalnya bermula dari kutipan 100 dolar. Siapa yang salah? TANTYO A.P. Sudharmono, 34 tahun, belakangan ini tambah sibuk saja. Soalnya, putra Wakil Presiden ini bukan hanya mengurusi Generasi Muda MKGR -dia ketua umum organisasi pemuda ini -tapi juga IMSA. Mengurus IMSA (Indonesian Manpower Supplier Association) ini yang repot. Inilah organisasi yang menghimpun perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia (PPTKI) yang bergerak dalam bidang ekspor TKI dan TKW, terutama ke negara-negara Arab. Nah urusan TKW tak gampang, dan sering ribut-ribut. Buktinya, sudah beberapa pekan ini nama Tantyo muncul di koran-koran. Ia digugat oleh pengurus Dewan Pembina IMSA, yang dimotori ketuanya, Abdul Malik M. Aliun. Untunglah, Tantyo masih didukung oleh teman-temannya di Dewan Pengurus. Ia tetap bertahan, tapi akibatnya IMSA seakan terbelah: satu blok Dewan Pembina dan di blok yang lain Dewan Pengurus. Pertikaian itu berpangkal dari uang setoran (management fee) yang dipungut pengurus dari PPTKI sejak November tahun lalu. Besar kutipan itu US$ 100 per TKI/TKW yang dikirim ke luar negeri. Menurut Tantyo, ketika ia mulai memimpin IMSA September 1989, kas hanya berisi Rp 200 juta. Dana itu tak cukup untuk mendirikan kantor perwakilan di setiap negara tujuan TKI, serta membangun balai latihan kerja (BLK) untuk mengasah keterampilan TKI. "Agar TKI kita lebih kompetitif," ujarnya. Kantor itu untuk mengurus TKW kita yang sering telantar atau terkena perkara di negeri orang. Maka, pungutan wajib itu ia berlakukan. Kini, sudah terkumpul Rp 8 milyar. Jumlah ini cukup lumayan karena setiap bulan tak kurang dari 8.000 TKI/TKW dikirim ke luar negeri. Bila tiap kepala dikutip US$ 100 artinya tiap bulan terkumpul US$ 800.000 atau hampir Rp 1,6 milyar. Dengan dana itu Tantyo mengaku telah membuka dua kantor perwakilan IMSA di Arab Saudi dan sebuah di Singapura. IMSA, masih kata Tantyo, sudah siap membuka tiga kantor lagi di Malaysia. Sebaliknya, Abdul Malik dan kawan-kawan menganggap sekalipun mereka sudah membayar sumbangan wajib itu -kalau tak bayar mereka tak mendapat rekomendasi dari IMSA yang diperlukan untuk mengurus paspor TKI/TKW -PPTKI tak menikmati fasilitas apaapa. Kantor perwakilan di luar negeri itu dinilainya tidak membantu promosi ataupun pemasaran TKI. "Kami masih harus keluar uang sendiri," ujar pemilik perusahaan tenaga kerja Almas Group itu. Maka, ia menganggap bahwa penggunaan dana organisasi itu tak jelas dan pengurus tertutup dalam soal keuangan". Padahal, kata Abdul Malik mengutip anggaran dasar IMSA, Dewan Pembina punya hak mengawasi pengurus IMSA. "Seperti Dewan Pembina di Golkar itu," ujarnya. Gempuran Abdul Malik tidak main-main. Dia didukung sebagian besar PPTKI. Dari 12 konsorsium (gabungan sejumlah PPTKI) yang ada di IMSA, kabarnya sembilan berdiri di kubu Dewan Pembina. Lebih jauh lagi, Abdul Malik mengancam akan menyelenggarakan musyawarah besar (mubes) IMSA, untuk minta pertanggungjawaban Tantyo. Ternyata, Tantyo tidak gentar. "Kami tak bertanggung jawab kepada Dewan Pembina, melainkan kepada musyawarah besar," ujarnya. Tuduhan tadi pun dijawabnya. Dana, misalnya, menurut Tantyo, digunakan sesuai amanat musyawarah besar IMSA September 1989, yaitu membuka kantor-kantor perwakilan tadi. Dana itu baru terpakai 10-15%. "Sisanya masih ada di BRI," ujar bekas Dirut PT Asuransi Timur Jauh, yang berhenti di tengah jalan. Ia mengakui, kantor itu belum berfungsi sepenuhnya. "Kalau berharap hari ini dibuka dan besoknya mengatur kontrak, itu naif. Perlu waktu," ujarnya. Departemen Tenaga Kerja tampaknya mengambil sikap netral. Darwanto, sekjen departemen itu, dua pekan lalu, mendekati kedua pihak dan hasilnya, Abdul Malik menyatakan siap duduk dalam satu meja dengan kubu Tantyo, untuk berunding. Namun, Tantyo telanjur meradang. "Mereka harus minta maaf dulu bahwa tuduhannya tak punya bukti," ujar putra pemilik perusahaan TKI PT Manggala Mandiri itu. Tantyo merasa kuat karena konon belakangan banyak pendukung Abdul Malik yang menyeberang ke kubunya. Kalau sudah begini, tentu saja Darwanto jadi tak berdaya. "Saya pikir, sebaiknya Menteri sendiri yang mempertemukan mereka," katanya. Putut Trihusodo dan Bambang Hamid Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini