MESKI Yasser Arafat dan pengikutnya sudah meninggalkan Tripoli, Desember silam rakyat Libanon masih belum diizinkan hidup tenang. Baik di meja perundingan maupun di medan pertempuran, mereka digarap habis-habisan. Menjelang Perundingan Jenewa Il, yang sedianya dilangsungkan pekan depan, tiga menteri luar negeri - Abdel Halim Khaddam dari Syria Elie Salam dari Libanon, dan Pangeran Saud al Faisal dari Arab Saudi - telah berunding dalam suatu pertemuan rahasia di Riyadh. Mereka dikabarkan mematangkan sebuah "rencana keamanan" yang bisa merupakan landasan mantap untuk rujuk nasional Libanon. Ketika upaya diplomasi itu sedang berjalan, Israel tiba-tiba melancarkan aksi militer sepihak. Rabu siang pekan lalu, 16 pesawat tempurnya menyerbu ke daerah pendudukan Syria, dan menghantam tiga basis pertahanan Syiah Amal, termasuk kota suci Baalbek. Serangan Kfir, yang dilakukan dalam formasi empat-empat, merupakan balasan terhadap truk kamikaze bermuatan bom yang menewaskan 29 tentara Israel di Tyre, yang terletak di selatan Libanon, November lalu. Anak buah Menteri Pertahanan Moshe Arens rupanya perlu waktu dua bulan untuk mempersiapkan pembalasan setimpal. Tapi yang mereka tewaskan kebanyakan penduduk sipil, bahkan sebagian di antaranya anak-anak yang sedang belajar di dalam kelas. Diperkirakan, 100 orang meninggal dan 400 luka-luka dalam serangan Kfir, yang oleh pemimnin Amal Nabih Berri, disebut sebagai "pembantaian". Dari puing-puing reruntuhan, tim penyelamat menolong orang-orang hidup yang tertimbun, sementara helikopter Syria sibuk mengangkut mereka yang luka-luka ke rumah sakit. Kabinet Libanon menyerukan kepada Israel supaya tidak menyerang tempat-tempat suci, seperti halnya Kota Imam Sadr, pusat kebudayaan dan pendidikan Syiah di Talia, 13 km di selatan Baalbek. Sasaran pemboman lainnya adalah pusat gerakan Islam Amal dan Hizbullah, yang keduanya dituduh Israel sumber teroris yang bersekutu dengan teroris Iran. Dengan truk kamikaze yang dahsyat itu, mereka dituduh menyerang markas Israel di Tyre dan meledakkan markas marinir AS di Beirut (lihat: Siap Menyebar Teror). Seakan tidak cukup dengan pembalasan Kfir, Sabtu lalu dua tank Israel meluncur di jalan-jalan Kota Sidon, menembaki kendaraan kosong, dan mencederai 10 orang. Komando militer Israel di kota itu belum memberi komentar apa-apa tentan aksi yang menghancurkan 25 mobil itu. Sedangkan akibat Kfir, 200 mobil ringsek, dan sejumlah rumah serta toko terbakar. Bom yang terhunjam ke tanah meninggalkan lubang besar. Dua hari sesudah pembalasan Israel, Libanon diguncang lagi oleh baku tembak artileri antara tentara Libanon dan milisi Druze. Kepada korps diplomatik di Beirut, Presiden Amin Gemayel berucap bagaimana dia berusaha keras melebarkan kekuasaan pemerintah pusat Libanon ke luar Beirut. Tapi Gemayel tidak menyebut-nyebut "rencana keamanan" yang menentukan penarikan semua milisi Kristen dari wilayah yang mereka tempati sejak serbuan Israel 1982. Daerah yang mesti dikosongkan itu, antara lain, Pegunungan Shouf (wilayah kekuasaan kelompok Druze) dan garis pantai Beirut-Sidon. Di atas kertas, rencana itu tampaknya bisa terlaksana. Dalam kenyataannya, pekan silam, Druze dan Kristen bertembak-tembakan lai di seputar Bukit Kharroub, di selatan Libanon. Pemimpin Druze, Walid Jumblatt, berkata, "Rencana keamanan itu akan meredakan bentrokan militer, tapi sama sekali tidak menawarkan penyelesaian politik." Sikap Jumblatt ini agak mengecewakan pemerintah, terutama karena sejak awal ia menuntut penyelesaian politik menyeluruh, dan tidak akan pernah mengizinkan tentara Libanon masuk ke daerah kekuasaannya. "Kami pada dasarnya tidak sepaham dengan kelompok pemerintah," tutur Jumblatt. Yang dimaksudnya adalah kelompok Falangis yang kini berkuasa. Masih dengan gagasan separatis Druze yang sudah dicanangkannya beberapa bulan silam, Jumblatt menegaskan, "Kami tidak akan menerima formula apa pun kecuali pemecahan politik yang mendasar untuk krisis sekarang." Pemecahan bagaimana yang diinginkan Jumblatt? "Rencana keamanan" dari Riyadh sudah mengandung dua konsep penting. Pertama, penempatan tentara Libanon di seluruh negeri kecuali daerah pendudukan Israel dan Syria. Kedua, pembentukan sebuah daerah penyangga yang memisahkan milisi Druze, Falangis, tentara Libanon, dan Syiah Amal. Juga dikandung maksud untuk menggeser 500 marinir AS ke pantai selatan, supaya mereka aman dari tembakan roket ataupun ledakan bom. Usul ini masih dipelajari Washington, tapi kemungkinan besar ditolak. Soalnya, izin Kongres membatasi penempatan 1.600 marinir AS hanya di kawasan Beirut saja. Sementara itu, publik AS mempermasalahkan keberhasilan Pendeta Jesse Jackson dalam membebaskan Letnan Robert Goodman, penerbang AS yang ditawan Syria. Jackson, yang mencalonkan diri untuk kampanye presiden AS 1984, dipandang telah melebarkan aksi kampanye ke bidang politlk luar negeri, sesuatu yang selama ini diakui tetap merupakan hak prerogatif presiden AS. Oleh tajuk surat kabar The Washington Post ditegaskan, seharusnya hak itu dihormati meski, dalam kasus Goodman Reagan cenderung menggunakan saluran diplomatik biasa yang sejauh ini memang belum berhasil. Pihak lain menyayangkan bahwa tindakan pendeta hitam yang dianggap sok pamer itu juga bisa merugikan pendekatan AS terhadap Syria dengan macam-macam persyaratan yang belum tentu diketahui Jackson. Pembebasan Goodman yang sedemikian mudahnya dikhawatirkan akan menyulitkan posisi AS dalam perundingan dengan Syria. Goodman tertangkap ketika pesawatnya jatuh ditembak Syria di Libanon beberapa waktu lalu. Presiden Reagan tampak ramah sekali menyambut Jackson dan Goodman di Taman Mawar Gedung Putih. Ia berkata, "Kita tidak mungkin memperdebatkan sebuah sukses." Utusan khusus Reagan, Donald Kumsfeld, gagal membebaskan Goodmam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini