TERIK udara siang yang kering dan panas terasa membakar kulit begitu mendarat di Pulau Batam. Iklim pulau berbukit-bukit seluas 415 km2, sekitar tiga perempat luas Singapura, ini memang sangat dipengaruhi laut. Hembusan angin laut yang dingin pada malam hari membuat orang sulit tidur tanpa selimut. "Di sini, kalau siang panasnya melebihi Jakarta, tapi kalau malam seperti Bogor," ujar R. Panduwinata, ayah Artis Vina Panduwinata, telah tiga tahun menjadi Asisten Khusus Kepala Badan Pelaksana Proyek Otorita Batam BPPOB). Pulau berpenduduk 40.000 orang ini terasa lengang. Tidak ada rumah atau bangunan di tepi jalan raya - yang hampir semuanya licin dan mulus - kecuali di pusat permukiman, perkantoran, atau industri. Jarang sekali tampak kendaraan bermotor berlalu-lalang. Selain bis yang sesekali muncul, kendaraan umum yang ada adalah taksi. Sebagian bekas taksi Singapura berwarna biru muda, yang tarifnya bisa "mengerikan" bagi pendatang baru yang belum kenal harga: Rp 10.000 untuk jarak 5 km saja. Harga barang-barang di Batam memang sering membuat banyak pendatang kecewa. Mereka umumnya mengira di Batam, yang jaraknya dengan Singapura cuma 20 km dan dapat dicapai 40 menit dengan jetfoil, harga barang impor "miring". Kenyataannya, harga barang elektronik, pakaian, rokok, makanan, dan minuman tidak ada yang leblh rendah dari harga di Jakarta. "Di sini, yang murah hanya mobil karena tidak kena pajak. Mercedes Benz 280 S tahun 1980 harganya paling tinggi Rp 5 juta," kata seorang pengusaha Batam pekan lalu pada Praginanto dari TEMPO. Pulau Batam ditetapkan untuk dikembangkan menjadi daerah industri dengan suatu keputusan presiden pada 1973. Setahun kemudian, beberapa kawasan di pulau ini ditetapkan, sebagai daerah operasi bonded arehouse. Kemudian pada 1978, seluruh pulau ini ditetapkan sebagai bonded area. Ini berarti, bahan-bahan impor bisa diproses dan ditingkatkan mutunya, kemudian diekspor tanpa membayar cukai. Pembangunan Batam yang dimulai pada 1971 umumnya dinilai seret. Semula, pulau ini direncanakan untuk menjadi basis logistik dar operasional industri minyak dan gas bumi. Namun, krisis Pertamina pada 1975 memukul proyek ini hingga tanggung jawab pembangnan Batam diambil alih pemerintah. Muncul kemudian gagasan untuk menjadikan Batam sebagai saingan Singapura. Tapi, keinginan ini rupanya lebih banyak tinggal di angan-angan. Usaha memancing penanaman modal asing dinilai kurang berhasil karena prasarana pokok di pulau ini belum dikembangkan. Tatkala meninjau Batam pada 1979, perdana menteri Singapura Lee Kuan Yew yang waktu itu disambut Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam B.J. Habibie, juga menanyakan soal prasarana yang tiada ini. Tampaknya, pertanyaan ini mendorong pembangunan prasarana itu dipercepat. Hasilnya: Presiden Soeharto 27 Desember tahun lalu meresmikan tujuh proyek prasarana Pulau Batam. Antara lain jalan, air minum, pembangkit listrik tena diesel, serta saluran telepon dan teleks, pelabuhan laut dan pelabuhan udara. Angan-angan untuk menyaigi Singapura agaknya kini telah dltinggalkan. Rupanya, Batam akan dimanfaatkan untuk menampung luberan industri Singapura. "Letak Batam sangat strategis, hanya 20 km dari Singapura. Dengan demikian, Batam dapat dijadikan pelimpahan dari kejenuhan kegiatan Sinapura. Harga tanah dan upah buruh di Singapura tinggi sekali. Mau tidak mau, Singapura nanti harus berpaling ke Batam yang nilai tanah dan upah buruhnya lebih rendah," kata Brigadir Jenderal Soedarsono, kepala Badan Pelaksana Proyek Otorita Batam Menurut Soedarsono, Singapura nantinya dapat memanfaatkan Batam untuk menampung industri yang tidak padat modal, seperti peternakan ayam, industri pakaian jadi, dan mebel. "Dari sini jelas kelihatan, Batam tidak dibangun untuk menyaingi Singapura, melainkan berdasarkan prinsip saling menguntungkan," katanya. Selain prasarana, tampaknya ada ganjalan lain yang membuat calon investor maju mundur: sulitnya memperoleh izin. "Di Singapura, dalam waktu satu minggu mereka sudah bisa beroperasi. Tapi, di sini, setidaknya mereka harus menunggu enam bulan," kata Soedarsono. Hal lain yang membuat mereka berkecil hati, kata pelaksana otorita Batam itu, adalah mereka sering dipersulit ketika memasuki pelabuhan oleh orang-orang yang kurang terpanggil untuk ikut menyukseskan pemasaran Batam. Caranya? "Dengan memungut uang siluman," kata Soedarsono, tanpa mau menyebut siapa yang dimaksudnya. Saat ini di Batam terdapat 11 perusahaan asing dan 26 perusahaan nasional yang beroperasi. Menurut Soedarsono, ada 59 investor yang kini sudah menunjukkan minat serius untuk menanam modal, sedangkan yang menunggu izin sekitar 60 investor. Banyak pengusaha yang masih kurang puas dengan fasilitas yang ada di Batam sekarang. "Di sini, kalau mau telepon keluar sulitnya setengah mati, apalagi kalau cuaca buruk," kata Gayatri Azwar, manajer kantor cabang PT Titian Samudra Shipping di Batam. Untuk mengatasinya, terpaksa kantornya memakai radio komunikasi jarak jauh (SSB). Sejak 24 Desember 1983, status Pulau Batam ditingkatkan dari kecamatan menjadi kotamadya. Wali kota pertama adalah Ir. Raja Usman, 44, yang semula direktur Perusahaan Air Minum Tanjungpinang. Yang memusimgkan wali kota baru ini masalah keuangan. "Sekarang ini, kas kami nol karena APBN dan APBD 1983/1984 sudah berjalan. Mungkin baru tiga bulan lagi kami mendapat biaya. Sementara ini, terpaksa kami menggantungkan dana dari Daerah Tingkat I Riau," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini