Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu belum mendekati subuh ketika orang-orang dengan penutup muka meledakkan dinding pembatas antara Jalur Gaza, Palestina, dan Rafah, Mesir. Sekitar 15 lubang menganga. Buldoser pun dikerahkan untuk membuka pagar, Rabu lalu. Maka, seperti lebah, ratusan ribu warga Gaza ”menyerbu” wilayah Mesir.
”Saya mendengar beberapa ledakan keras. Saya pikir tentara Israel memasuki Rafah,” kata seorang saksi mata, Zaid Qishtta. ”Tapi kemudian saya baru tahu bahwa kelompok militan Hamas yang meledakkan pagar pembatas.”
Ya, warga Gaza tumpah ruah ke Rafah. Mereka menjebol dua pertiga dari tembok sepanjang 12 kilometer itu untuk menyelamatkan hidup mereka yang berada di tubir kelaparan setelah Israel mengisolasi total Jalur Gaza sepekan sebelumnya. Mereka menyerbu toko-toko di Mesir untuk membeli bahan bakar dan makanan yang telah menjadi komoditas langka di Gaza, lalu pulang.
”Saya hanya ingin membeli beras, gula, susu, gandum, dan sedikit keju,” ujar Ibrahim Abu Taha. Berbekal uang US$ 185 (sekitar Rp 1,7 juta) di kantongnya, bapak tujuh anak ini menyeberang bersama dua saudaranya dan kembali membawa makanan untuk keluarga.
Warga lain, Mohammad Abu Ghazel, menyeberang tiga kali pada Rabu itu. Pria 29 tahun ini membeli sekotak rokok seharga NIS 200 (sekitar Rp 450 ribu) dan kemudian menjualnya di Gaza dengan harga lima kali lipat. ”Cukup untuk makan keluarga saya selama sebulan,” ucapnya.
Tentara Mesir pun tak tega. Jika sehari sebelumnya sempat bentrok dengan warga Gaza yang ingin menyeberang, hari itu mereka membiarkan warga yang sudah putus asa itu. ”Saya meminta mereka membiarkan orang-orang Palestina itu masuk, membeli makanan dan kemudian kembali,” ujar Presiden Mesir Hosni Mubarak.
Gaza memang bak penjara raksasa. ”Situasinya membuat kita tertekan,” ujar direktur kantor operasi The United Nation Relief and Works Agency (UNRWA) di Gaza, John Ging, saat dihubungi Tempo.
Israel mengurung wilayah seluas 500 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 1,6 juta jiwa itu sejak Kamis dua pekan lalu. Kebijakan tersebut diakui sebagai pembalasan atas serangan roket bertubi-tubi dari Gaza ke kawasan Israel. Tak ada kiriman bahan bakar ke kawasan yang dikuasai Hamas ini. Bahkan sejak Juni lalu, ketika Hamas seratus persen mengontrol kawasan ini, Gaza hanya sedikit mendapat kiriman bahan bakar. Kota ini nyaris tertutup tanpa ada yang bisa keluar atau masuk tanpa seizin Israel.
Penutupan total terakhir benar-benar membuat kawasan ini nyaris mati. John Ging menggambarkan bagaimana kota-kota di kawasan Gaza gelap gulita di malam hari. Satu-satunya pembangkit listrik di Gaza yang menghasilkan 27 persen dari total kebutuhan listrik di kawasan ini ditutup Sabtu malam dua pekan lalu karena tak cukup bahan bakar.
Israel baru mengirim bahan bakar tiga hari kemudian. Menurut Ging, kondisi sedikit membaik walau tak menolong. Sekitar 64 persen kebutuhan listrik Gaza memang dipenuhi Israel dan sembilan persen dari Mesir.
Antrean warga pun mengular. Bahkan untuk mendapatkan roti saja, warga harus antre karena sebagian besar toko roti tutup. UNRWA yang menjadi gantungan sekitar 61 persen dari 1,6 juta warga Gaza kelabakan.
Yang lebih mengenaskan adalah warga yang sakit dan seharusnya mendapat perawatan yang sebaik-baiknya di rumah sakit. Tapi rumah sakit seolah hanya menjadi tempat menunggu Malaikat Maut menjemput. Keluarga Jusuf Arafat, misalnya, harus menunggu izin untuk membawa bayi mungilnya yang tengah sakit ke rumah sakit Tel Aviv. Ia seharusnya bahagia dengan kelahiran putrinya, Mara, sebulan silam. Tapi sang bayi sakit dan rumah sakit Al-Syifa di Gaza tak memiliki peralatan yang memadai untuk merawat Mara.
”Saya telah kehilangan pekerjaan, kehilangan istri, dan mungkin akan kehilangan anak saya. Kami terkurung layaknya binatang,” ucap Jusuf Arafat.
Direktur rumah sakit Al-Syifa, Ayman Sisa, menyatakan, pihaknya harus mengurangi jatah perawatan pasien yang biasanya tiga kali sepekan menjadi dua kali karena 10 mesin di rumah sakitnya rusak. ”Dari orang-orang ini banyak yang akan mati dalam sepekan kalau tak ada perawatan,” ujarnya.
Seorang pejabat kesehatan di Gaza menyatakan, sekitar 60 orang meninggal bulan lalu karena tak mendapat perawatan yang lebih serius di luar Gaza. ”Perawatan kurang bagus karena masalah peralatan, obat tidak memadai,” Ging mengungkapkan.
Juru bicara UNRWA di Jerusalem, Christopher Gunness, menegaskan kisah kelam warga Gaza tersebut. ”Kami benar-benar menghadapi masalah kemanusiaan yang sangat serius,” ucapnya kepada Tempo.
Bukan hanya masalah rumah sakit, makanan, atau kegelapan yang menyelimuti Gaza. Air pun tak mengucur. Sekitar 40 persen rumah di Gaza tanpa air sejak Senin pekan silam karena tak ada listrik untuk memompa. ”Sekitar 90 persen industri juga mati dan pengangguran bakal merajalela,” kata Gunness.
Penutupan perbatasan untuk manusia dan barang-barang itu membuat masyarakat internasional bereaksi keras. Komisioner Hubungan Eksternal Uni Eropa Beniot Ferrero-Waldner menentang hukuman kolektif ini. ”Tindakan blokade menimbulkan korban manusia yang sangat besar,” ujar juru bicara Palang Merah Internasional Dorothea Krimitsas.
”Hukuman ini ilegal dan sama sekali tak efektif,” ucap Ging. Menurut Ging, tindakan Israel tak melemahkan Hamas. Ini terbukti serangan roket masih saja terjadi. Bahkan hanya dalam sehari, Selasa silam, 20 roket masih menghujani kawasan Israel.
Seorang diplomat mengungkapkan, pertemuan Dewan Keamanan PBB yang khusus membicarakan blokade Gaza tengah digagas. ”Tapi Amerika Serikat mengekspresikan keenggannya,” ucapnya.
Israel pun tetap tak peduli. Mereka menyangkal telah terjadi krisis kemanusiaan di Gaza akibat kebijakan mereka. Menurut Menteri Luar Negeri Tzipi Livni, Israel tak perlu minta maaf. Tindakan mereka untuk melindungi rakyatnya. ”Israel akan terus bertindak dan memenuhi tanggung jawabnya terhadap rakyat, meskipun harus menghadapi beragam kecaman,” ujar Livni.
Rakyat Gaza tampaknya tak bisa berharap pada Israel, Hamas, ataupun masyarakat internasional. Mereka kini bergantung pada diri mereka sendiri. Maka, tak ada cara lain, mereka pun merebahkan dinding pemisah antara Gaza dan Rafah.
Purwani Diyah Prabandari (Haaretz, Blomberg, AP, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo