Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Seruling, Sang Pertapa, dan ’Ach illes Heel’ Presiden Yudhoyono

28 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahrir

  • Ekonom

    DALAM film Troy, aktor Brad Pitt berperan sebagai ksatria digdaya yang nyaris tak ada kelemahannya. Dalam pertempuran dahsyat, tumit kirinya tertusuk panah dan sang ksatria meninggal tanpa disangka-sangka. Ternyata otot tumit bernama Achilles itulah kelemahannya.

    Pemerintahan SBY sudah memasuki tahun keempat. Presiden tidak pernah mengambil cuti selama 40 bulan menjabat. Ia berusaha keras menegakkan tatanan kelembagaan yang sebisa mungkin bersih dari sikap mental korup. Tapi ada pendapat yang menganggap bahwa kinerja ekonomi pemerintahan ini dapat menjadi penyebab kemungkinan gagalnya Presiden SBY untuk terpilih kembali pada pemilihan umum 2009. Apa benar demikian? Belum tentu. Itu banyak tergantung bagaimana Presiden menangani dampak gonjang-ganjing ekonomi dunia belakangan ini.

    Apa yang terjadi pada ekonomi dunia, khususnya perkembangan di AS? Gonjang-ganjing bursa yang diawali dengan krisis Subprime Mortgage (lihat kolom Tempo edisi 29/XXXVI/10-16 September 2007 berjudul Subprime Mengguncang Ekonomi Kita?) ternyata berlanjut menjadi krisis kredit. Kini krisis kredit pun sudah digabung dengan krisis yang sangat riil akibat meningkatnya tingkat pengangguran menjadi lima persen.

    Maka, ketika bursa New York dibuka pada 22 Januari 2008, di pagi hari sekali indeks Dow Jones turun sampai lima persen. Tetapi tiba-tiba, tanpa disangka-sangka oleh pasar, bank sentral AS (selanjutnya disebut Fed) menurunkan suku bunga fed sebanyak 75 basis poin dari 4,25 persen menjadi 3,5 persen. Tindakan yang cukup surprising ini mampu mengembalikan kepercayaan pasar modal di AS, sehingga pada penutupan indeks Dow Jones hanya turun satu persen saja. Penurunan suku bunga Fed tersebut selanjutnya membuat pasar bursa di Asia yang sebelumnya ”tenggelam” kembali rebound dan diperkirakan rebound ini akan berlanjut hingga akhir minggu, 25 Januari.

    Keputusan Fed berlangsung delapan hari sebelum adanya Federal Open Market Committee sehingga benar-benar mengejutkan pasar, dan dalam keputusan itu hanya satu anggota Dewan Bank Sentral, William Poole, yang berkeberatan. Persoalan akan muncul bilamana di masa-masa depan, dosis penurunan suku bunga oleh Fed yang digabung dengan stimulus ekonomi yang dimunculkan oleh Presiden Bush berjumlah US$ 150 miliar (satu persen dari GNP) tidak dapat menenangkan bursa.

    Apa gerangan yang menjadi penyebab bursa belum ”nyaman” kendati telah ada gabungan kebijakan moneter (Fed) dan fiskal (pemerintah Bush) yang cukup berarti? Masih timbul kekhawatiran pasar bahwa masalah subprime yang terjadi sesungguhnya belum diketahui dimensi ”kerusakannya” kendati ada dugaan jumlahnya mencapai US$ 300-400 miliar. Terakhir sebuah bank Prancis yang cukup besar, Societe Generale, mengalami kerugian sebesar US$ 3 miliar karena subprime. Bank tersebut semakin ”hancur” karena ada krisis yang bersumber pada transaksi yang dikerjakan orang-orang ”dalam” bank yang bersifat fiktif dan merugikan bank sebesar US$ 7,18 miliar.

    Sebelumnya, di Inggris, sebuah bank (Northern Rock) harus ”di-bailout” akibat kerugian bank tersebut dalam subprime credit. Sebelumnya, investment bank Merrill Lynch dan Citigroup yang amat besar juga mengalami masalah berat yang sampai membuat investor-investor dari timur seperti pemerintah Singapura dan investor Timur Tengah muncul masuk ”menyelamatkan” bank-bank terkemuka tersebut . Kini orang-orang ternama seperti Alan Greenspan dan George Soros memastikan adanya resesi dan kita semua juga tidak terkecuali tentunya harus bersiap-siap akan kemungkinan itu.

    Ada kalangan yang menganalogikan kemungkinan resesi 2008 ini dengan krisis yang dialami Indonesia pada 1997. Ada perbedaan yang besar antara kedua waktu tersebut. Pada 1997, AS tidaklah mengalami resesi dan di Asia Timur pun krisis terbatas pada negara-negara Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan. Pada 1997, Singapura tidak terkena krisis, sementara Malaysia karena melaksanakan policy response yang tepat juga terhindar dari krisis.

    Pada 2008, AS sendiri yang menjadi sumber persoalan karena potensi resesi yang akan dialaminya. Bila itu benar-benar terjadi, berarti ada perlambatan dari konsumsi pemerintah dan masyarakat dan sekaligus kapasitas impor AS berkurang. Sementara itu, resesi juga memungkinkan ditariknya dana-dana portofolio yang ada di luar AS untuk kembali ke dalam negeri. Ini bisa mempengaruhi portofolio asing yang ada di Asia termasuk Indonesia yang perdagangan sahamnya praktis ”dikuasai” asing.

    Maka, muncul teori bahwa karena pelemahan ekonomi AS di dunia, resesi AS tidak mempengaruhi Asia karena ada ”decoupling” antara ekonomi AS atau barat dan Asia. Karena itu ada yang berpendapat bahwa karena dalam dua tahun terakhir terjadi peningkatan peran Asia dan pengurangan peran AS, maka Asia dapat bertahan. Faktanya, indeks Hang Seng, indeks Shanghai, indeks TOPIX (Tokyo) dan IHSG Jakarta bagaikan yoyo yang dipermainkan oleh faktor-faktor Fed rate dan indeks Dow Jones.

    Almarhum Dr. Slangor, mantan petinggi Bank Indonesia, pernah menyatakan bahwa indeks saham-saham di Asia adalah bagaikan ular sanca yang naik-turunnya ditentukan oleh seruling yang dimainkan oleh pertapa India. Nada tinggi seruling akan membuat ular sanca mendongak ke atas dan nada rendah akan menurunkan sang ular sanca, sementara seruling yang berhenti akan menidurkan sang ular sanca. Seruling dan sang pertapa itu adalah Fed dan indeks Dow Jones. Karena itu resesi AS pasti mempengaruhi ekonomi Asia, termasuk Indonesia, tetapi derajat pengaruhnya tentu berbeda-beda tergantung dari kekuatan ekonomi domestik.

    Masih teringat masa-masa sebelum krisis 1997-1998, Menteri Keuangan saat itu bersama-sama Gubernur Bank Indonesia menyebut ekonomi Indonesia secara fundamental amat kuat dan tidak terpengaruh kondisi ekonomi di luar. Sekarang pernyataan serupa kita dengar dari para pejabat kita.

    Memang, para pejabat tidak boleh mengabarkan hal yang pesimis dan itu wajar saja. Namun, bagaimana kita melihat dan mengukur apakah fundamental ekonomi kita kuat atau tidak? Parameter 1997-1998 tidaklah terlalu tepat untuk disamakan dengan kondisi sekarang. Cadangan devisa, misalnya, meskipun besar bukanlah sesuatu yang menggambarkan ”amannya” posisi keuangan. Harus diperhitungkan fakta bahwa di akhir November nilai Sertifikat Bank Indonesia (SBI) mencapai Rp 219,7 triliun, sementara Surat Utang Negara (SUN) nilainya mencapai Rp 803,19 triliun, sehingga kombinasi SBI dan SUN mencapai Rp 1.022,89 triliun. Portofolio investasi ini belum ditambah dengan saham yang kapitalisasi pasarnya amat besar, mencapai Rp 1.844 triliun per 24 Januari 2008.

    Jelas bahwa kepemilikan asing yang cukup dominan di bursa efek dan SBI serta SUN—meski tidak mayoritas, cukup berarti—merupakan faktor-faktor yang perlu diperhitungkan dalam menimbang potensi capital outflow yang bisa terjadi di Indonesia. Karena itu, bilamana angka-angka SBI dan SUN dan kapitalisasi pasar dibandingkan dengan cadangan devisa, maka jelas US$ 56,9 miliar itu masih amat tidak memadai. Cina memiliki cadangan devisa di atas US$ 1 triliun. Cina juga memiliki ratusan miliar dolar T-bills yang merupakan utang jangka pendek AS.

    Jadi, bagaimana melihat daya tahan ekonomi domestik? Menurut saya, amat penting untuk meniadakan distorsi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan. Bilamana ada distorsi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan (policy induced distortion), maka akan ada sinyal pasar (market signal) yang tidak ramah di bursa efek maupun di pasar barang dan jasa yang riil.

    Contoh-contoh konkret bisa dilihat dari dua kebijaksanaan di bidang minyak goreng dan minyak tanah serta gas. Bulan ini kita menyaksikan gerak inflasi yang bersumber dari minyak goreng, minyak tanah, beras (tidak menjadi faktor deflasi, justru juga naik harganya), kedelai yang meningkat hampir 100 persen, sehingga produk pengguna kedelai seperti tahu, tempe, dan kecap, harganya naik tinggi. Tepung terigu juga menunjukkan kenaikan harga yang signifikan bulan ini. Bilamana pemerintah memperkirakan inflasi 2008 lima persen plus atau minus satu persen, artinya bisa empat atau enam persen, maka pertanyaannya adalah bisakah target itu dicapai dan apakah itu cukup rendah? Pada 2006, ketika inflasi Indonesia mencapai 6,6 persen, Malaysia hanya 3,1 persen dan Thailand 3,5 persen, Singapura bahkan hanya 0,8 persen.

    Kenaikan harga yang disebabkan policy induced distortion bisa dilihat dari contoh-contoh konkret dalam kenaikan harga minyak tanah dan minyak goreng. Konversi minyak tanah ke gas yang tidak memperhitungkan sifat (nature) pasar yang berbeda antara kedua komoditas serta kegunaan yang juga tidak 100 persen sama menimbulkan guncangan antrean minyak tanah dan kesulitan memperoleh tabung gas (apakah ada unsur ”proyek” di sini?).

    Karena konversi dan bukan promosi, maka yang mempunyai uang lebih banyak buru-buru memborong minyak tanah dan ini membuat tetangga mereka tidak mendapat bagian dalam antrean. Sifat pasar minyak tanah yang mengandung unsur pedagang gerobak, pedagang kalengan, tentu berbeda dengan pasar tabung gas dan gas yang merupakan pekerjaan Pertamina sepenuhnya. Begitu juga minyak goreng, entah karena lobi asosiasi yang kuat, ternyata pungutan ekspor yang dikenakan kepada mereka dikompensasi dengan pengambilalihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh pemerintah yang ditambah dengan pemberian subsidi kepada rakyat yang tentunya tidak akan membuat harga berkurang. Bisa saja harga internasional minyak goreng akibat resesi menjadi menurun, tetapi pengambilalihan PPN oleh pemerintah dan subsidi jelas merupakan kebijakan yang merupakan policy induced distortion.

    Begitu banyak keberhasilan yang dicapai oleh pemerintahan SBY. Tetapi kecenderungan-kecenderungan peningkatan policy induced distortion dapat, bila tidak hati-hati, menjadi Achilles Heel Presiden SBY.

    Bila policy induced distortion dikikis habis, kemungkinan peningkatan pertumbuhan semakin tinggi, dan angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin juga semakin berkurang. Maka resesi Amerika Serikat, betapapun mengkhawatirkannya, dapat dihadapi dengan tingkat ketahanan yang lebih tinggi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus