Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekte sesat di Kenya yang membiarkan pengikutnya sengaja mati kelaparan sedang menjadi berita utama dunia. Polisi menemukan lusinan mayat setelah mengendus praktik aliran sesat yang dipimpin oleh Paul Mackenzie Nthenge, lalu mencari jejak para korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengaku seorang pendeta, Nthenge ditangkap atas tuduhan mendesak para pengikutnya agar mati kelaparan untuk “menemukan” Tuhan. Hingga saat ini, total mayat yang polisi temukan mencapai 90 orang, termasuk anak-anak. Mereka semua ditemukan meninggal dunia setelah menahan lapar dalam waktu yang lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah ini membuat masyarakat dunia terkejut dan geram. Tak hanya bertindak selaku pemimpin sekte sesat, Nthenge juga merupakan seorang pemilik Gereja Internasional “Good News”. Rumah ibadah itu kini tengah berada dalam proses penyelidikan.
Hutan Shakahola sedang disisir oleh polisi untuk mencari lebih banyak korban. Pada Selasa, 25 April 2023, polisi menggali kuburan massal di tanah hutan tersebut dan menemukan 10 mayat. Di penghujung hari, ditemukan kembali 7 mayat sehingga total keseluruhan menjadi 90 korban meninggal. Ada pula dua orang korban hidup yang ditemukan dalam kondisi kurus kering. Pemerintah Kenya mengatakan bahwa jumlah korban kemungkinan akan terus meningkat.
Sekte “Kelaparan” yang Mengejutkan Penduduk Kenya
Pemerintah Kenya mendapat informasi pada awal April tentang kuburan dangkal dengan mayat di hutan. Mereka memulai pencarian di Hutan Shakahola, dekat kota pesisir Malindi. Setelah lusinan mayat digali, penemuan jejak korban sekte sesat diperkirakan tidak akan segera berakhir. Mayat tersebut adalah orang-orang yang kabarnya merupakan pengikut aliran sesat Kristen. Mereka diberi tahu oleh sang pemimpin sekte, Paul Mackenzie Nthenge, bahwa akan masuk surga dan bertemu Tuhan jika membuat diri mereka sendiri kelaparan.
Nthenge kemudian menyerah kepada polisi setelah penggerebekan Shakahola. “Pembantaian Hutan Shakahola”, itulah julukan bagi peristiwa sekte sesat Kenya dan kematian yang diakibatkannya. Polisi menyatakan, jumlah korban yang mati kelaparan bakal terus meningkat karena masih banyak laporan orang hilang.
Beberapa anggota Gereja Internasional “Good News” lainnya disinyalir masih bersembunyi di semak-semak di sekitar Hutan Shakahola dan berisiko mati jika tidak segera ditemukan. Palang Merah Kenya sebelumnya menyebut bahwa 212 orang telah dilaporkan hilang kepada staf pendukung mereka di Malindi. Dua di antaranya sudah kembali bersama keluarga.
Hussein Khalid—Direktur Eksekutif Kelompok Hak Asasi HAKI Afrika yang pertama kali memberi petunjuk kepada polisi—mendesak pihak berwenang agar mengirim lebih banyak tim penyelamat untuk mencari korban sekte sesat yang masih bisa diselamatkan dari hutan. Sedikit saja terlambat, semakin banyak nyawa yang akan terenggut dari praktik aliran sesat Nthenge. Kejadian luar biasa ini membuat banyak pihak trauma.
Tim penyelamat menemukan kumpulan mayat yang saling menumpuk di dalam lubang dangkal. Satu liang kubur diisi hingga enam jenazah. Ada mayat lain yang ditinggalkan begitu saja di luar di tanah. Kabar baiknya, sebanyak 29 korban selamat juga sempat ditemukan dan telah dibawa ke rumah sakit.
Rumah Sakit Penuh setelah Temuan Mengerikan
Selagi tim evakuasi terus mencari korban selamat, kamar mayat mulai kehabisan ruang untuk menyimpan jenazah. Pihak berwenang di Rumah Sakit Umum Malindi memperingatkan bahwa mereka mulai kewalahan. Di saat kamar mayat rumah sakit hanya berkapasitas 40 jenazah, para pejabat lantas menghubungi Palang Merah Kenya untuk mendapatkan kontainer berpendingin.
Presiden Kenya William Ruto berjanji untuk menindak tegas gerakan keagamaan yang “tidak dapat diterima” di negaranya. Ruto menyamakan pendeta nakal seperti Nthenge dengan teroris yang menggunakan dalih agama atas kekejian mereka. Ia pun menginstruksikan badan-badan pemangku kebijakan untuk menangani masalah ini sampai ke akar masalah.
Pertanyaan yang Muncul atas Praktik Aliran Sesat di Kenya
Warga Kenya marah dan menuntut penjelasan terkait bagaimana sekte semacam itu bisa beroperasi tanpa terdeteksi lebih dini. Walau sebenarnya, Nthenge sendiri telah menarik perhatian polisi sejak enam tahun lalu. Pendeta yang biasa menginjil di siaran televisi itu pernah ditangkap pada 2017 atas tuduhan radikalisme. Nthenge memulai percakapan tentang kesia-siaan pendidikan dan berkata pada keluarga untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Alasannya karena pendidikan tidak diakui oleh Alkitab.
Nthenge kemudian baru ditangkap lagi bulan lalu setelah dua anak mati kelaparan dalam penjagaan orang tua mereka. Namun, ia bebas dengan jaminan 100.000 shilling Kenya (sekitar Rp1 juta). Berita itu telah menimbulkan sedikit keributan lantaran setelah dibebaskan, Nthenge tetap menjalankan penginjilan. Itu kemudian menjadi fokus masyarakat Kenya atas kelalaian yang telah terjadi. Informasi terkini, Nthenge akan disidang sebagai tersangka pada 2 Mei 2023.
Kenya memiliki sejarah yang meresahkan tentang pendeta gadungan dan sekte sesat. Insiden terbaru dari sekte agama yang meminta pengikutnya untuk bunuh diri telah memicu tuntutan atas kontrol yang lebih ketat terhadap golongan kepercayaan marginal di negara tersebut.
NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM