Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komisi Yudisial dianggap tak transparan dalam seleksi calon hakim agung tahun ini.
Dua mantan Ketua Komisi Yudisial ikut mengkritik panitia seleksi.
Komisi Yudisial kian dianggap tak bedaya menghadapi mafia hukum.
AUDIO siaran langsung seleksi calon hakim agung di kanal YouTube milik Komisi Yudisial itu mendadak hilang pada Selasa siang, 3 Agustus lalu. Acara yang ditayangkan secara langsung itu tengah menampilkan para komisioner mewawancarai lima kandidat: Aviantara, Dwiarso Budi Santiarto, Suradi, Jupriadi, dan Artha Theresia Silalahi.
Bukan karena gangguan teknis, apalagi alasan sinyal Internet yang buruk, ternyata panitia sengaja mematikan mikrofon. Peristiwa ini mendadak sontak mendapat reaksi keras dari sejumlah penonton, termasuk mantan Ketua Komisi Yudisial 2013-2015, Suparman Marzuki. “Seleksi itu mengabaikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi,” ujarnya.
Acara itu tengah dinanti banyak orang. Sejak Maret lalu, Komisi Yudisial menggodok 149 nama hakim yang mendaftar sebagai calon hakim Mahkamah Agung. Komisi Yudisial sedang mencari 13 kandidat untuk menggantikan hakim agung yang pensiun atau meninggal tahun ini. Dari jumlah pendaftar di awal, tinggal 24 kandidat yang lolos dan mengikuti seleksi wawancara.
Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, mengatakan kandidat terpilih bakal mengisi berbagai formasi. Sebanyak 8 hakim agung ditempatkan di kamar pidana, 2 orang di kamar perdata, 1 orang di kamar militer, dan 2 hakim agung di kamar tata usaha negara khusus pajak. “Formasi yang kami ajukan sesuai dengan kebutuhan,” tuturnya.
Artha Theresia Silalahi, Calon Hakim Agung , menjalani wawancara pada 3 Agustus 2021./Dok. Komisi Yudisial
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suparman merasa ragu seleksi kali ini akan menghasilkan sosok hakim agung yang ideal. Ia merasa heran atas aturan panitia yang sengaja mematikan suara saat klarifikasi pertanyaan mengenai rekam jejak dan integritas para calon. Menurut dia, perlakuan itu merupakan preseden buruk bagi prinsip keterbukaan. Ia dan mantan Ketua Komisi Yudisial periode 2005-2010, Busyro Muqoddas, melayangkan protes lewat surat tertulis terhadap seleksi tersebut.
Pada periode sebelumnya, ucap Suparman, sesi wawancara tertutup hanya dibuat untuk pertanyaan yang menyangkut moralitas seperti perselingkuhan. Klarifikasi ihwal rekam jejak dan integritas para kandidat dibuat terbuka agar diketahui publik secara luas. Suparman dan Busyro berpandangan, melacak integritas dan jejak putusan calon dalam menangani suatu perkara merupakan persoalan penting di tengah maraknya putusan hakim yang tidak berpihak pada upaya pemberantasan korupsi.
Protes senada juga disuarakan Koalisi Pemantau Peradilan. Koalisi ini terdiri atas sejumlah organisasi masyarakat sipil, yaitu Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia serta lembaga pemerhati hukum lain. Selain mengkritik proses seleksi yang dianggap tidak transparan, mereka menyoroti kinerja tim seleksi yang meloloskan sejumlah kandidat yang dianggap bermasalah.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan koalisi menemukan sejumlah catatan penting perihal rekam jejak para calon. Beberapa nama terindikasi pernah terlibat dengan sejumlah proyek pemerintah. Ada juga kandidat yang memiliki rekening gendut. “Mestinya semua itu diklarifikasi secara terbuka,” ucapnya.
Desakan ini memaksa Komisi Yudisial mengubah kebijakan. Pada hari seleksi wawancara berikutnya, panitia berjanji tidak lagi mematikan kamera dan mikrofon. Format acara yang sebelumnya tertutup akhirnya dibuat terbuka pada sesi wawancara pada hari-hari berikutnya.
Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, mengklaim tayangan wawancara pada hari pertama itu sudah mengikuti peraturan. Panitia sengaja mematikan mikrofon karena pertanyaan sensitif harus diperlakukan sebagai informasi rahasia. Saat itu, menurut dia, panitia tengah mewawancarai Artha Theresia Silalahi. “Ketika itu semua staf KY bahkan diminta meninggalkan ruangan,” ucapnya tanpa menjelaskan isi pertanyaan yang dimaksud.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FIGUR Artha Theresia Silalahi menjadi magnet pada hari pertama tahap seleksi wawancara calon hakim agung di Komisi Yudisial, Selasa, 3 Agustus lalu. Ia dianggap kandidat paling tajir. Ia juga istri advokat dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Hati Nurani Rakyat, Rufinus Hotmaulana Hutauruk.
Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta ini juga pernah mengikuti seleksi yang sama pada 2019, tapi gagal. Saat itu ia juga disorot karena laporan harta kekayaannya meroket hingga Rp 43 miliar pada 2018. Setahun sebelumnya, hartanya tercatat hanya Rp 416 juta. Pundi-pundinya bertambah menjadi Rp 46 miliar pada 2019, tapi menyusut menjadi Rp 43 miliar pada 2020.
Total kekayaan Theresia berbentuk 35 sertifikat tanah dan bangunan yang tersebar di Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Jawa Barat; dan Bojonegoro, Jawa Timur. Ia bahkan memiliki rumah di Glenferrie Road Hawthorn Victoria, Melbourne, Australia. Mobil miliknya ada delapan. Di antaranya Mercedes Benz seri E300, Toyota Alphard, dan Toyota Crown.
Dalam sesi wawancara seleksi pada 2019, Theresia mengaku harta tersebut berasal dari suaminya, Rufinus. “Suami sejak 20 tahun lalu bekerja sebagai advokat,” katanya kala itu. “Sebagai orang Batak yang langsung dari sana, harusnya itu dia punya aset. Suka sekali dia punya aset.”
Tempo berupaya menemui Theresia di Pengadilan Tinggi Jakarta, Jumat, 13 Agustus lalu. Marilana, seorang petugas keamanan, menyatakan Theresia tak terlihat di kantor beberapa hari terakhir.
Menurut Rufinus, harta tersebut merupakan harta bersama yang mereka kumpulkan sejak 30 tahun lalu sebagai pasangan suami-istri. Ia mengklaim pemasukan terbesar berasal dari penghasilannya sebagai penasihat hukum. “Itu fee yang saya peroleh sebagai pengacara,” tuturnya.
Wawancara terbuka calon Hakim Agung Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial, 3 Agustus 2021./Dok. Komisi Yudisial
Harta sebesar itu, menurut Rufinus, tergolong wajar untuk ukuran seorang advokat yang direkrut perusahaan besar. Ia mencontohkan honor yang diterima saat menangani sengketa bank swasta dengan pemilik hotel bintang lima.
Dari total aset sebesar Rp 2 triliun yang disengketakan, dia menambahkan, tim pengacara mendapatkan imbalan sekitar 10 persen atau Rp 200 miliar. Ia menegaskan, tak ada peran istrinya dalam perkara itu. “Tidak ada perkara yang ditangani oleh istri saya,” ujarnya.
Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Achmad Setyo Pudjoharsoyo juga salah satu kandidat yang menerima banyak sorotan. Ia diduga menguasai proyek pengadaan air mineral dan hewan kurban saat menjabat Sekretaris Mahkamah Agung. “Beliau juga pernah memvonis bebas pegawai negeri sipil pemilik rekening Rp 1,2 triliun yang terseret kasus bahan bakar minyak ilegal,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana.
Pudjoharsoyo mengklaim memasok air mineral atas permintaan koperasi pegawai. Nilainya pun hanya Rp 15 juta selama tiga bulan sekali. Ia juga menolak jika perkara hewan kurban dianggap sebagai konflik kepentingan. “Kurban itu masalah individual, bagian dari pelaksanaan anjuran agama. Tidak ada kaitannya dengan anggaran lembaga,” ucapnya.
Ia menjelaskan vonis bebas kepada PNS dalam perkara BBM ilegal sudah sesuai dengan hukum. Ia balik menuding jaksa tak bisa membuktikan kaitan uang Rp 1,2 triliun itu dengan tindak pidana. “Sementara mafia migas sebenarnya tidak pernah dikejar oleh jaksa.”
•••
KOALISI Pemantau Peradilan menilai seleksi calon hakim agung kali ini penuh kejanggalan. Sebagai panitia seleksi, Komisi Yudisial dianggap sangat tertutup. Komisi, misalnya, enggan mempublikasikan sebelas nama kandidat yang lulus seleksi tahap wawancara. Pola ini tak pernah ditemukan dalam periode sebelumnya. “Ketertutupan ini justru memancing kecurigaan,” kata Kurnia Ramadhana.
Keterbukaan ini, menurut Kurnia, diperlukan agar publik bisa bersama-sama mengecek rekam jejak para kandidat. Hasil ini kemudian juga bisa diserahkan ke DPR sebagai bahan uji kelayakan. “Seharusnya Komisi Yudisial tak bertindak kucing-kucingan dalam seleksi ini,” tuturnya.
Informasi ini makin ruwet karena DPR ternyata belum mengetahui siapa sebelas kandidat tersebut. Padahal Komisi Yudisial mengklaim sudah menyerahkan semua nama yang lulus seleksi wawancara sejak 9 Agustus lalu. “Kami belum menerima pelimpahan berkas,” kata anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani.
Seorang penegak hukum yang mengetahui jeroan Komisi Yudisial mengatakan lembaga ini sudah tak bertaji seperti saat awal berdiri. Salah satu penyebabnya adalah campur tangan partai politik kian kuat di lembaga itu. Kecurigaan lain, para pengurus Komisi Yudisial keder karena para hakim kerap “melawan” saat ditelisik. Contohnya, laporan Sarpin Rizaldi dan 64 hakim lain ke polisi karena merasa nama baik mereka dicemarkan oleh petinggi Komisi Yudisial pada 2015 dan 2018.
Koalisi Pemantau Peradilan menganggap seharusnya Komisi Yudisial memanfaatkan seleksi ini untuk meraih simpati publik. Sebab, Komisi Yudisial kerap disorot karena tak bisa menuntaskan persoalan mafia hukum di Tanah Air yang kian merajalela. Berbagai putusan janggal pun kerap muncul akhir-akhir ini. Misalnya, putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari dan taipan Joko S. Tjandra. Tak satu pun yang tuntas ditindaklanjuti KY.
Miko Ginting mengatakan lembaganya sudah bersikap independen saat menyeleksi para calon hakim agung. Ia berjanji Komisi Yudisial akan terus bekerja mengawasi para hakim. Soal nama calon hakim agung yang belum disetor ke DPR, ia mengaku tak paham. “Bisa jadi ada di sekretariat DPR dan belum diagendakan. Jadi para anggota belum dapat kabar,” ujarnya.
Bukti bahwa Komisi Yudisial bersikap obyektif, ucap dia, panitia hanya bisa mengajukan sebelas nama dari 13 nama yang diminta Mahkamah Agung. “Calon hakim agung kamar pajak tidak ada satu pun yang memenuhi kualifikasi,” tuturnya. Namun Miko tetap merahasiakan siapa saja kandidat yang lolos seleksi tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo