HUJAN rintik sepanjang Rabu sore pekan lalu itu belum juga reda ketika warga Paris melangkah keluar rumah, bersantai dan cuci mata. Trotoar Rue des Rennes tampak ramai, apalagi di depan Tati, toko pakaian dan alat rumah tangga. Mereka, sebagian anak-anak sekolah, berkerumun di sana tanpa sedikit pun curiga pada sebuah sedan BMW hitam yang datang meluncur dan berhenti. Dua pria bertampang Timur Tengah terlihat dalam mobil, seorang di antaranya menurunkan separuh kaca jendela lalu melemparkan sebuah tas metalik ke atas trotoar. Hanya setengah menit berlalu. Ledakan dahsyat pun menggelegar, sementara BMW sudah melesat ke arah Montparnasse. Jerit dan rintih membelah udara, orang-orang terbanting ke trotoar lalu tersiram pecahan kaca. "Darah menciprat ke mana-mana, sebuah mobil remuk di situ juga," tutur Annette Kahn yang berkantor persis di atas toko Tati. Polisi mencatat ledakan itu sebagai puncak gelombang teror yang melanda Paris sejak 8 September lalu. Lima orang tewas seketika, 53 luka-luka, 11 di antaranya terkena pecahan bom yang berkekuatan 2 kg. Selama 9 hari, Paris diguncang ledakan beruntun: di Balai Kota, pos polisi dekat katedral Notre Dame kafetaria di La Defense, restoran di Champs Elysees, dan terakhir Tati. Aksi teror itu seluruhnya menelan 8 korban jiwa, lebih dari 150 luka-luka. Ada 9 tersangka pelaku, 4 di antaranya bersaudara Abdallah, warga Libanon yang beragama Kristen Maronit. Mereka ini (Emille, Maurice, Robert, dan Joseph Abdallah) menuntut pembebasan George Ibrahim Abdallah, bahkan menetapkan batas waktu pembebasan akhir Agustus silam. Karena tuntutan tidak digubris, gelombang teror pun melanda Paris. Namun, ketiga bersaudara ini membantah. Pekan lalu, di Libanon, mereka mengadakan pertemuan pers dan menyatakan tidak tahu-menahu tentang teror yang tengah melanda Paris. Tapi mengapa George jadi begitu penting hingga orang-orang tak berdosa dikorbankan atas namanya? Inilah bagian gelap gulita yang belum jelas betul duduk perkaranya. George Abdallah, 33, tertangkap di Lyon, Oktober 1985, dalam sebuah aksi pengeboman. Tapi menurut sumber lain, ia ditahan karena urusan jual-beli senjata gelap. Sementara menunggu sidang pengadilan, kawan-kawannya menangkap atase kebudayaan Prancis di Tripoli, Libanon Utara. Dengan bantuan Aljazair, atase itu dibebaskan, dan sebagai imbalan George juga akan mendapat perlakuan yang sama. Tapi bukti-bukti yang kemudian ditemukan memberatkan George. Ia dituduh terlibat kasus pembunuhan atase militer AS dan diplomat Israel di Paris, 1982. Karena itu, tertutup peluang baginya untuk "dibarter", apalagi PM Jacques Chirac sudah bertekad bahwa "teroris mesti dihukum tanpa ampun." Drama pembantaian di Tati, misalnya, menyulutkan amarah dan dendam Chirac. Malapetaka ini langsung dilaporkan Chirac per telepon kepada Presiden Francois Mitterrand yang pekan lalu tengah berkunjung ke Indonesia. Dalam konperensi persnya di Jakarta, Mitterrand berkata, "Teroris mesti digilas "Ia kelihatan bersikap tabah, tapi sebenarnya Presiden Prancis itu merasa terpukul sekali. Tidak heran bila kepulangannya ke tanah air dipercepat. Setiba di Paris Mitterrand langsung berunding dengan Chirac. Kedua tokoh, yang semula tidak kompak kini tampak rukun. Dalam pidato lewat televisi, Chirac menegaskan, "Kita sedang perang dan Prancis tidak akan menyerah." PM Prancis ini menegaskan, teroris dan pihak-pihak yang memanfaatkan mereka akan dihukunn tanpa kecuali. Sekalipun begitu, pers tampaknya kecewa. Surat kabar berhaluan kiri, Liberation, berkomentar bahwa Prancis sudah terhunjam dalam kemelut. Harian berpengaruh Le Monde menyindir, "Pernyataan perang adalah satu hal, tapi mengetahui siapa musuh kita adalah hal lain yang berbeda." Kecaman ini ditujukan pada polisi dan tentara yang sampai saat terakhir belum juga berhasil menciduk satu teroris pun. Di samping mereka memang licin, setiap ledakan direncanakan sedemikian rupa hingga seakan mengejek pemerintah Prancis. Seorang pembantu Chirac berpendapat serangan teroris secara pribadi ditujukan pada tokoh Gaullist Chirac, dan dimaksudkan untuk merusak hubungannya dengan Mitterrand yang sosialis. Kecurigaan itu bukan tidak berdasar, apalagi kalau diingat ledakan pertama terjadi di lingkungan Balai Kota, kantor kedua bagi Chirac, sebab PM ini juga bertugas sebagai Wali Kota Paris. Teori lain menunjuk pada Perang Teluk, tepatnya Iran yang merasa dirugikan karena Prancis menjual senjata pada Irak. Masuk akal sekali jika Prancis lalu dijadikan bulan-bulanan teroris pro-Iran yang banyak berkeliaran di Paris. Di samping itu, pembunuhan terhadap atase militer Prancis, Kol. Christian Goutierre, 54, di Beirut Timur Kamis pekan lalu, telah lebih merumitkan masalah. Tapi PM Chirac tidak tinggal diam. Demi sekuriti, meski industri pariwisata akan terpukul, semua orang asing, kecuali warga MEE dan Swiss, diwajibkan membekali diri dengan visa Prancis. Seribu tentara dikirimkan ke perbatasan untuk mengawasi lalu lintas secara ketat. Pemerintah bahkan menawarkan hadiah 1 juta franc (US$ 150.000) bagi siapa saja yang bisa melacak jejak teroris. Terakhir Inggris meminjamkan pasukan khusus SAS yang terkenal piawai agar teroris bisa segera dibekuk batang lehernya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini