KETIKA dua belas menteri luar negeri Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) bertemu pekan lalu di Brussel, terungkaplah sikap separuh hati mereka untuk menghukum Afrika Selatan. Walau mereka dalam persidangan dua hari itu menelurkan keputusan melarang investasi baru serta impor besi dan baja. Menurut perhitungan, efek sanksi itu hanya bernilai US$ 500 juta -- setara dengan satu persen nilai ekspor negara rasialis itu. Padahal, sekiranya sidang sepakat untuk memboikot perdagangan batu bara, Afrika Selatan akan kehilangan US$ 1,3 milyar setahunnya. Di tengah-tengah desakan dunia, keputusan tersebut memang tidak seperti yang dibayangkan semula. Terutama bagi partai-partai sosialis anggota MEE, yang mengharapkan sedikit sensasi dari pertemuan tadi. Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl secara terbuka meragukan keberhasilan tindakan sanksi apa pun terhadap Afrika Selatan. amun, mereka menyetujui paket sanksi terbatas demi menjaga persatuan negara-negara Eropa -- pernyataan bersayap untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka. Menurut sumber-sumber yang mengikuti persidangan, hanya Irlandia dan Denmark yang gencar menyokong sanksi keras. Kedua negara ini memang tidak mempunyai ikatan perdaanan denan Afrika Selatan. Kendati begitu, Jepang, mitra dagangyang menguasai 10 persen impor Afrika Selatan, ikut pula memamerkan "solidaritas" dengan mengumumkan serangkaian tindakan pelarangan serupa rekan-rekannya di Eropa. Di Amerika Serikat, Presiden Reagan tampaknya siap memveto semua keputusan Kongres yang menyinggung soal tindakan ekonomi kepada Afrika Selatan. Sikap mendua negara-negara industri Eropa Barat terlihat kembali ketika mayoritas Majelis Umum PBB (126 lawan 0) menyetujui resolusi sanksi ekonomi terhadap Afrika Selatan, akhir pekan lalu. Dua puluh empat wakil negara-negara tersebut memilih untuk abstain. Sementara itu, di Afrika Selatan, Partai Nasional (127 kursi di parlemen) di bawah pimpinan Perdana Menteri P.W. Botha mempertahankan mayoritas suara pada pemilihan umum khusus warga kulit putih di daerah pemilihan Kliprivier, Provinsi Natal, Kamis pekan lalu. Keberhasilan ini memadamkan keinginan oposan sesama kulit putih dari Partai Korservatif (18 kursi) dan Herstigte Nasionale Party (1 kursi), yang mencoba menanamkan gagasan berbagi kekuasaan dengan kaum mayoritas kulit hitam. Karena itu, kuat dugaan, rezim Botha akan mempercepat pemilu nasional sebelum tahun 1987 berakhir guna mengukukuhkan kembali legitimasi kekuasaan kaum kulit putih. Dari London dikabarkan, pemimpin buangan Oliver Tambo dari Kongres Nasional Afrika (ANC) mendapat kesempatan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Inggris Geofrey Howe dan Asisten Menlu AS untuk Urusan Afrika Chester A. Crocker secara terpisah, pekan lampau. Inilah pertemuannya pertama dengan pejabat tertinggi dua negara yang banyak menyokong Afrika Selatan. Terbetik berita adanya keinginan Thatcher untuk ingin bertemu pula dengan Tambo. Tambo agaknya tidak usah berharap banyak dari pertemuan tersebut. Kedua negara adidaya tersebut tidak akan begitu mudah mengubah kebijaksanaan mereka terhadap Afrika Selatan, walau Tambo mengumbar sikap merendah sembari menjanjikan akan mengurangi agitasi kekerasan kelompoknya. James R. Lampian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini