DEVALUASI, kata seorang teman, membingungkan karena ini soal ekonomi. Artinya, hanya bisa dipahami para ekonom. Tapi seorang teman lain mengatakan bahwa devaluasi adalah soal yang pelik karena ini soal politik. Agak pusing saya untuk mengerti mana yang benar. Ada seorang orang muda bernama David Alan Stockman. Cerdas, ambisius, tahan kerja keras, punya banyak pintu -- barangkali karena ia hidup di Amerika Serikat. Dan ia punya ide yang diperjuangkannya dengan sengit. Umurnya baru 31 tahun, ketika pemuda tampan dengan kaca mata besar dan rambut panjang seperti Pangeran Valiant ini terpilih jadi wakil rakyat. Partainya Republik. Pandangannya konservatif, dalam arti: dia tak suka pemerintah terlalu banyak turun tangan, membantu dan mengurus tetek bengek. Sudah lama memang Stockman yakin: semakin pemerintah tidak ikut campur, semakin baik keadaan bagi rakyat. Biarkan pasar bebas bekerja. Biarkan orang banyak menyelesaikan sendiri problem kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Sebab, terbukti, kata Stockman, jika pemerintah yang mencoba bikin beres, hasilnya mencong: anggaran menggunung, sebagian hanya untuk membiayai birokrat yang harus bekerja -- sementara si miskin, yang harus ditolong, tak akan pernah bisa bangun sendiri. Mereka ketagihan bantuan. Pandangan seperti ini cocok di hati seorang calon presiden yang bernama Ronald Reagan. Juga cocok di hati para pemilih, yang sudah capek kena pajak (di saat ekonomi sedang lembek) untuk membiayai pemerintahan yang besar. Maka, ketika Reagan terpilih, presiden baru itu ingin mengangkat David yang berusia 35 tahun jadi menteri energi. Stockman menolak. Ia lebih suka jadi direktur manajemen dan budget. Baginya, tempat ini adalah "mata jarum" pemerintahan. Semua rencana pemerintahan harus melaluinya. Dan jadilah Stockman duduk di situ. Di "mata jarum" itulah, ia menjalankan gagasannya. Dia simak tiap departemen untuk menemukan anggaran apa yang harus dipotong. Baginya, inilah yang ia sebut "Revolusi Reagan": sebuah administrasi dengan birokrasi yang ramping, tidak perlu biaya yang bongsor. Sudah tentu ia membuat marah banyak pihak. Menteri Luar Negeri menentang karena bantuan luar negeri dikurangi. Para senator yang datang mewakili daerah miskin berang karena beberapa program sosial diciutkan. "Saya pikir Tuan cemerlang," kata seorang dari mereka, "Tapi saya pikir Tuan juga kejam." Stockman memang mcnjawab bahwa usulnya tidak "diukir pada batu" dan ia akar menyambut "ide-ide yang lebih unggul" Tapi tahukah dia bahwa anggaran sebuah pemerintahan, pada akhirnya, tergantung pandangan dan hasrat yang dominan dalam proses pengambilan keputusan? Presiden Reagan tak suka membiayai bantuan hukum untuk orang miskin yang dananya kecil, tapi ia senang bila anggaran untuk militer yang sudah segajah tambah diperbesar. Maka yang penting ternyata bukan cuma bagaimana memperkecil budget. Yang penting ialah memilih mana yang harus "berkorban" dan mana yang tidak perlu "berkorban". Pilihan itu, akhirnya, dilakukan melalu suatu proses politik. Di negeri yang tak punya banyak burung beo, misalnya AS proses politik itu adalah proses tengkar dan tawar menawar, antarpelbagai keinginan dan kepentingan. Soalnya semakin tidak sederhana, jika bukan kepentingan umum yang jadi pusat perhatian, melainkan kepentingan kalangan ini dan kalangan itu, masing-masing terpisah, bermacam-macam. Dan Stockman haru menghadapi yang ruwet itu. Akhirnya, anak muda pintar dan tak menyelesaikan studinya di Harvard ini tak tahan. Dia mengundurkan diri. Dia membisu untuk beberapa lama, kemudian, di bulan Mei 1986, terbit bukunya: sebuah uraian tentang pengalamannya semasa jadi pembantu dekat Presiden Reagan. Dia merasa "Revolusi Reagan" telah gagal. Anggaran dan aturan pemerintah tak dapat dikesampingkan. Kabinet Reagan enggan mengorbankan ini dan itu. Defisit pun membubung, dan pemerintah meminjam uang seperti orang yang sejuta kali kalah Porkas. Stockman, yang kecewa, menamakan bukunya The Triumph of Politics. Politik telah menang. Tapi kapan sebenarnya politik tidur dan kalah? Kepentingan umum telah tersingkir oleh kepentingan-kepentingan khusus. Tapi bagaimana seharusnya "kepentingan umum" bisa tampil dalam proses pengambilan keputusan? Tak mudah menjawabnya. Juga di dalam sebuah tindakan devaluasi -- ketika ada pihak yang harus "berkorban" dan ada pihak yang tidak harus "berkorban", ketika impor kancil untuk A harus dikekang (demi neraca pembayaran), tapi impor gajah untuk B dibiarkan (demi pembangunan). Kepentingan umum? Atau putusan sewenang-wenang? Saya tidak tahu. Saya memang ingin tahu, tapi belakangan ini saya tak tahu bagaimana untuk tahu. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini