Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang, dengan atau tanpa Saddam

Menjelang pemilihan anggota Kongres, invasi ke Irak dan penempatan pasukan di sana menjadi konsumsi politik. Saat yang tepat untuk meninggalkan Irak masih diperdebatkan.

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK itu, untuk beberapa hari Kapten John Grauer, 23 tahun, tak melepaskan kaca mata hitamnya. Kepada majalah Newsweek, ia melukiskan suasana pada 26 Juli, di barak tentara Amerika, di Bagdad. Mula-mula, suasana agak kacau: semua orang bergegas menelepon ke rumah masing-masing. Ia menyaksikan begitu banyak kawannya berteriak marah. Sebagian lainnya mencoba tidur berhari-hari, seolah-olah kabar itu mimpi buruk belaka.

Grauer sendiri, setelah menelepon istri dan dua putrinya di Alaska sana, selalu mencari tempat sepi agar ia bisa sesenggukan tanpa terlihat. Hari itu, John Grauer dan teman-temannya dari batalion infanteri 172 4-23 mendengar pengumuman: rencana pulang kampung 2 Agustus batal; diundur menjadi ”suatu hari” pada November, mungkin juga lebih lama. Artinya, hari-harinya akan diisi dengan patroli di daerah Irak paling barat, di Provinsi Al-Anbar: dari Mosul hingga Tall Afar. Juga di Bagdad.

Artinya, ia akan terpanggang di dalam kendaraan baja bersuhu 53 derajat Celsius. Di samping tiap-tiap serdadu, di mana saja dan kapan saja, mengenakan rompi antipeluru 9,5 kilogram dan helm baja 1,5 kilogram.

Ironisnya, semua orang seakan mengamini ia dan kawan-kawan tinggal lebih lama di sana. Dan mungkin inilah ciri khas dunia setelah serangan teror ke menara kembar WTC, New York, 11 September 2001. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, Rabu pekan lalu, tanpa ragu menyalahkan invasi yang kemudian menenggelamkan rezim Saddam Hussein, sekaligus meminta Amerika Serikat bertahan untuk menyelesaikan kekacauan. Ia telah mendengar para pemimpin Timur Tengah memandang invasi pada 2003 itu sebagai malapetaka, dan Amerika tak boleh pergi sebelum keamanan membaik.

Di mata Kofi Annan, mengaitkan gaya kepemimpinan Saddam Hussein yang diktatorial dengan serangan 11 September itu mengada-ada. Tapi Presiden AS George W. Bush masih melihatnya sebagai pertempuran si baik lawan si jahat, dan itu harus berakhir dengan kemenangan di pihak Amerika. ”Apa pun kesalahan yang terjadi,” katanya di Kantor Oval di Washington DC, ”tak ada kesalahan yang lebih besar dari menarik mundur. Dan dengan cara itu para teroris tidak akan membiarkan kita dalam damai. Mereka akan terus mengikuti kita. Keamanan kita sangat bergantung pada hasil pertempuran di jalan-jalan Kota Bagdad,” ucapnya dalam peringatan 11 September di New York.

Kita susah melupakan kalimat penutup Bush setelah invasi: dunia akan lebih baik tanpa Saddam Hussein. Tapi, paling tidak sekarang, tiga tahun setelah invasi, ”dunia yang lebih baik tanpa Saddam” masih merupakan cita-cita. Bagdad arena pertikaian raksasa Syiah-Sunni, pro-Saddam-propemerintah baru, dan masih banyak lagi aktor lainnya. Kamar-kamar mayat di Bagdad menyimpan jauh lebih banyak jenazah warga negeri itu dibanding masa lalu. Bahkan, menurut Departemen Kesehatan Irak, jumlah mayat pada bulan Agustus meledak tiga kali lipat dibanding bulan sebelumnya: dari 550 menjadi 1.536 jenazah. Banyak di antaranya dengan tangan-kaki terikat. Ya, hasil eksekusi tak resmi di jalan-jalan.

Invasi ke Irak yang kontroversial (tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB), juga penempatan pasukan Sekutu di sana, pada gilirannya juga menjadi konsumsi politik. Sersan Brian Patron, rekan satu barak John Grauer, merasa yakin bahwa penundaan kepulangannya adalah bagian dari strategi untuk menghadapi pemilihan anggota Kongres, majelis permusyawaratan, 7 November. Seperti diketahui, serangan Partai Demokrat terhadap kebijakan luar negeri Bush, terutama penempatan pasukan di Irak, meningkat tajam akhir-akhir ini.

”Presiden harusnya malu menggunakan hari renungan nasional (11 September) untuk memperoleh dukungan terhadap perang di Irak,” kata Senator Edward M. Kennedy. Sedangkan Bush sendiri berkepentingan membuktikan bahwa pasukan AS melakukan sesuatu yang bermakna di sana. Dan ini berarti: memuncaknya tekanan terhadap para serdadu Amerika di Irak.

Pagi itu, 12 September 2001, warga Amerika menyaksikan perubahan besar. Mereka melihat menara kembar luruh menjadi puing, Pentagon terbakar, dan sebuah tanah lapang di Pennsylvania menjadi kuburan. Dua pesawat penumpang menghantam dua menara itu, sebuah jatuh di Pennsylvania. Hampir 3.000 orang tewas, yang luka-luka dua kali lipat. Hari itu, mereka menangkap simbol negara yang kemudian jadi pahlawan: Presiden George W. Bush. Di lain pihak, masyarakat Amerika juga melihat musuhnya: kelompok Al-Qaidah. Kontroversi tentang keabsahan cerita ini masih diperdebatkan, tapi kelompok yang selama ini tak banyak dikenal menjadi pembicaraan semua.

Hari itu Bush menyatakan Amerika dalam keadaan perang, seraya mengeluarkan doktrinnya: ia tak akan membedakan teroris dengan negara yang menampungnya. Kita tahu, Afganistan menjadi sasaran utama. Dan serangan Amerika akhirnya menewaskan lebih banyak daripada serangan 11 September itu. Tapi, waktu itu, dalam pertemuan di Camp David, seorang neokonservatif angkat bicara. Paul Wolfowitz, saat itu Wakil Menteri Pertahanan, sangat gigih menganjurkan supaya Amerika menyerang Irak. Saat itu Wolfowitz mencoba menguraikan keterlibatan Bagdad terhadap peristiwa 11 September.

Kini Presiden Bush telah mengakui tak ada hubungan serangan 11 September dengan Saddam Hussein. Dan ia mempertahankan penempatan pasukan AS di sana mati-matian. Tapi Kofi Annan membaca keadaan dengan cermat. ”Ini berarti saat ini AS berada di posisi yang serba membingungkan dan serba salah. Posisi ini sangat sulit bagi AS, karena tidak bisa keluar dari Irak, juga tidak bisa tinggal terlalu lama. Jika AS memang harus pergi, waktunya harus tepat dan diatur sedemikian rupa sehingga tak menimbulkan gejolak kekerasan yang lebih parah di kawasan itu,” katanya.

Idrus F. Shahab (Reuters, Economist, CSMonitor, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus