Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

IMF, World Bank, Singapura, dan Kita

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahrir

  • Penasihat Ekonomi Presiden.

    PERTEMUAN tahunan IMF dan World Bank kali ini berlangsung di Singapura. Biasanya pertemuan berlangsung di Washington, DC, tetapi sekali tiga tahun ada kebiasaan melaksanakan pertemuan di luar Washington, DC. Pada 2006 ini Singapura bekerja keras untuk menerima kedatangan 16 ribu lebih anggota delegasi dari hampir 200 negara di dunia. Apa yang menarik dari pertemuan ini? Apa sesungguhnya manfaat pertemuan ini bagi kita? Apa kaitan antara rencana demonstrasi LSM sedunia menentang pertemuan itu dan ”ideologi” anti-IMF?

    Joseph Stiglitz, pemenang Nobel, amat terkenal karena bukunya, Globalization and Its Discontents, terjual 1 juta kopi. Buku ini nyaris menjadi ”buku wajib” bagi penentang IMF dan World Bank, serta kalangan nasionalis. Kini Stiglitz menerbitkan buku baru berjudul Making Globalization Work. Di sini Stiglitz, yang pernah menjadi chief economist di World Bank hingga awal 2000, mengungkapkan berbagai usulan perubahan yang bersifat reformasi, yang menyangkut pula badan seperti IMF dan World Bank. Apa arti kedua buku Stiglitz itu bagi kita?

    Stiglitz menunjukkan bahwa globalisasi adalah sesuatu yang niscaya. Ditentang dengan cara apa pun, globalisasi itu ada bersama kita. Yang dilakukan Stiglitz dengan buku terbarunya adalah bagaimana globalisasi bisa menguntungkan rakyat kecil, yang merupakan mayoritas penduduk dunia, dan bukan para kapitalis besar yang menguasai sebagian besar aset dan likuiditas dunia. Bagi kita, pertemuan IMF dan World Bank ini mau tidak mau mengingatkan kembali pada krisis dahsyat yang kita alami pada 1997 dan 1998.

    Semua kisah tentang peran asing, tidak hanya IMF dan World Bank, tetapi juga negara (nation state), harus kita hubungkan dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto (1966-1998) yang mempunyai ciri mampu menjaga stabilitas politik dan stabilitas ekonomi untuk kurun waktu amat panjang. Yang tidak kalah penting adalah bahwa pada tahun-tahun terakhirnya, pemerintahan Soeharto membawa kita kepada krisis terparah. Ekonom Paul Krugman menyebut kehancuran ekonomi Indonesia sebagai kontraksi ekonomi yang terberat yang dialami sebuah negara setelah Perang Dunia II (1998 kita mengalami pertumbuhan negatif minus 13,1 persen).

    Di sini ada simplifikasi dari pihak yang menentang peran IMF dan World Bank, yang menganggap krisis hanyalah buatan IMF dan World Bank dan bukan kesalahan mantan presiden Soeharto. Ada kebenaran tentang peranan IMF dan World Bank. Dari buku Stiglitz yang terakhir, saya akan mengutip agak panjang pandangannya tentang Indonesia (halaman 243 dari Making Globalization Work). Dia menyatakan, Indonesia adalah contoh konkret tentang kerja IMF yang sangat merugikan rakyat. Bantuan IMF dan World Bank, dan ADB (Asian Development Bank) sebanyak US$ 22 miliar, dianggap oleh IMF sebagai upaya menyelamatkan Indonesia (bail out), padahal bila dilihat lebih dalam lagi, sebetulnya yang diselamatkan adalah bank-bank asing.

    Sejauh mana kreditor Barat dan bukan Indonesia yang diuntungkan menjadi jelas ketika IMF dengan tegas mengurangi subsidi pangan dan BBM kepada kaum miskin dengan berargumen bahwa tidak cukup uang untuk membantu kaum miskin Indonesia. Padahal, biaya subsidi BBM dan subsidi pangan itu sangat sedikit dibanding miliaran dolar yang dipakai untuk membayar kembali kreditor bank-bank asing. Penolakan ini terjadi setelah pengangguran meningkat berlipat ganda, upah riil menurun terus, yang semuanya merupakan hasil kebijakan IMF.

    Kini, di dalam negeri, karena begitu banyak akibat buruk kebijakan IMF pada Indonesia, ada kekuatan yang meminta pengampunan utang. Bahkan gempa-tsunami pada Desember 2004 hanya memberikan penundaan satu tahun dari pembayaran utang sebesar US$ 3 miliar yang jatuh tempo pada 2005. Pihak Indonesia sendiri telah mengambil sikap mempercepat pembayaran utang kepada IMF, sehingga dalam kurun dua tahun tidak ada lagi utang Indonesia kepada IMF. Tentang permintaan pengampunan utang? Agaknya kita tidak menempuh jalur tersebut, kendati pembenaran yang diungkapkan Stiglitz mempunyai dasar argumen yang kuat.

    Dengan mengutip pandangan Stiglitz yang panjang ini, apakah kemudian dengan serta-merta kita menyimpulkan bahwa kehancuran ekonomi kita sepenuhnya ulah IMF? Apakah krisis kita akan terjadi bilamana KKN tidak merajalela seperti di masa Soeharto? Bukankah krisis terjadi karena seluruh penempatan personalia eselon-eselon pemerintahan dan militer ditentukan oleh seorang bernama Soeharto, semata-mata, dan tidak ada nama lain yang bisa menjadi faktor pengimbang?

    Sementara setiap rencana undang-undang pemerintahan Presiden Yudhoyono hampir selalu dihadang oleh parlemen, di masa pemerintahan Presiden Soeharto setiap RUU APBN selalu disahkan tanpa perubahan titik ataupun koma! Apakah stabilitas politik itu, yang berlangsung amat panjang, dapat memberantas ”high cost economy”? Bisa dipastikan bahwa high cost economy justru semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pula praktek-praktek KKN yang menguatkan posisi ekonomi keluarga Soeharto hingga generasi ketiga. Bagaimana dengan demokrasi? Apakah penting demokratisasi ini bagi IMF dan World Bank? Ada beberapa alasan mempertanyakan hal itu.

    Pertama, seminar yang diselenggarakan oleh IMF dan World Bank sebelum pertemuan tahunan, yang antara lain menampilkan dua pembicara dari Indonesia, Dr Boediono dan Dr Mari Pangestu, sesungguhnya amat menonjolkan dua negara, yaitu Cina dan India. Seminar akan dibuka pertemuan pleno dengan judul: Opening and Reforming the Financial Sectors in China and India: Next Steps and Effects on the International Financial System. Bahwa tokoh-tokoh ”berat” seperti Lawrence Summers, mantan Presiden Universitas Harvard dan mantan Menteri Keuangan, dan Stanley Fischer, mantan Guru Besar MIT dan mantan orang nomor dua di IMF, berbicara, menunjukkan ”warna seminar” yang memang amat dipengaruhi oleh pertumbuhan Cina dan India, yang akhir-akhir ini begitu dominan dibahas oleh World Bank dan IMF. Jelas di sini tidak menjadi soal, apakah Cina (jelas tidak demokratis) atau India (demokratis dengan sistem peradilan yang relatif lebih baik dari kita), pihak World Bank dan IMF amat berkepentingan tentang sistem finansial kedua negara tersebut, yang mempunyai akibat pada stabilitas keuangan internasional.

    Kedua, demokratisasi bagi IMF dan World Bank, setidak-tidaknya dilihat dari acara-acara di seminar, dikategorikan sebagai kegiatan ”civil society organization”. Sejak awal kita tahu bahwa ”global civil society” amat penting bagi proses demokratisasi, tetapi jelas itu bukan satu-satunya faktor yang membuat demokratisasi berjalan. Tetapi, dengan adanya kategori ”civil society”, pihak IMF dan World Bank menganggap mereka telah mengakomodasi demokratisasi, walaupun itu berbeda dengan sikap pro atau anti-demokratisasi.

    Singapura akan ramai dengan 16 ribu lebih orang dengan berbagai macam seminar, pertemuan, lobi-lobi. Di sini barangkali persoalan muncul. Bilamana pihak World Bank dan IMF memang mengedepankan peran ”civil society”, kenapa Singapura sama sekali tidak bisa ”ditekan” oleh IMF dan World Bank untuk mengakomodasi aktivitas civil society yang tidak tertampung pada acara resmi? Pengertian civil society justru adalah pengertian yang tidak semata bersifat formal, seperti hadir pada seminar, tetapi juga dibolehkannya aktivitas apa pun, tentunya tanpa kekerasan, yang mereka ingin laksanakan untuk mengekspresikan sikap mereka. Mereka memerlukan Batam karena Singapura tidak bersahabat dengan aktivitas mereka.

    Tapi, apa hal konkret yang bisa diharapkan dari pertemuan tahunan IMF dan World Bank itu bagi kita?

    Pertama, kita bisa menjadikan seluruh proses pertemuan, berikut kegiatan di Batam, sebagai upaya ”stock opname” dalam memposisikan diri kita pada badan-badan multilateral—tidak terbatas semata-mata pada IMF dan World Bank.

    Kedua, kita harus mampu melihat bahwa stabilitas keuangan dunia sesungguhnya didasari oleh berbagai arus ketidakadilan yang konkret. Beban utang tidak selesai dengan proses percepatan pembayaran utang pada IMF semata, karena utang luar negeri kita masih terus meningkat, khususnya karena kita semakin memperbesar peran surat utang negara (SUN) yang semakin diminati pihak asing.

    Ketiga, stabilitas keuangan dunia tidaklah tecermin semata-mata dari monitoring neraca pembayaran luar negeri. Harus diingat bahwa neraca perdagangan hanyalah satu komponen dari hubungan kita dengan dunia, sementara arus hubungan melalui neraca jasa-jasa dan neraca modal semakin sulit dimonitor. Setiap hari hampir US$ 2 triliun uang berpindah tangan dari satu negara ke negara lain. Dari jumlah itu, hanya 10-15 persen yang bisa dijelaskan dengan arus ekspor dan impor. Dengan perkataan lain, kita harus jauh lebih berhati-hati menyikapi manajemen utang kita lengkap dengan instrumen kebijakan.

    Saya khawatir bahwa market monitoring dan market surveillance manajemen utang kita belum terkoordinasi secara baik. Misalnya, strategi portfolio di bank-bank pemerintah mengenai SUN belum jelas arahnya. Apakah SUN merupakan bagian dari investment account, ataukah merupakan bagian dari trading account? Ini berimplikasi luas pada evaluasi penggunaan apa yang disebut ”market to market valuation”, yang mempunyai efek pada profit dan loss dari bank-bank pemerintah. Tanpa strategi portfolio yang jelas, bayangkan apa yang bisa terjadi bila tiba-tiba pihak keuangan dunia melepas SUN kita! Inilah yang menyebabkan Stiglitz menganggap perlu adanya reformasi ”Global Reserve System”. Bisakah kita mengharapkan hal itu terjadi pada pertemuan IMF dan World Bank? Agaknya tidak! Konsekuensinya, perlu meningkatkan koordinasi yang lebih baik antara Bank Indonesia dan pemerintah.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus