Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang Saudara di Ujung Jalan

Menteri Perindustrian Libanon ditembak mati. Meski belum ada bukti, banyak yang menuding Suriah di balik ini. Perang saudara mulai mengancam.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Lapangan Martir, pusat Kota Beirut, ribuan orang berkumpul dengan hati yang hangus. Teriakan dan isak tangis mengiringi prosesi penghormatan terakhir jenazah Menteri Perindustrian Libanon Pierre Amin Gemayel, yang disemayamkan di Katedral Santo George Maronit, Kamis pekan silam. Di Lapangan Martir, yang bertetangga dengan katedral itu, foto wajah pria 34 tahun itu tampak di antara bendera Libanon dan lautan massa.

”Mereka tidak akan menjatuhkan semangat hidup kami dengan kesengsaraan dan kematian,” kata Walid Jumblatt, pemimpin kelompok Druze, dari balik kaca antipeluru dalam upacara pemakaman. Jumblatt orang yang sudah meramalkan krisis bakal melanda Libanon, ada pembunuhan tokoh-tokohnya. Dan pada hari pemakaman Pierre Gemayel itu ia menegaskan: ”Persatuan nasional lebih kuat ketimbang senjata mereka dan terorisme.”

Gemayel, tokoh Kristen Maronit, ditembak mati setelah keluar dari gereja di pinggiran Beirut, Selasa pekan lalu. Dia mati pada hari yang sama dengan saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui pembentukan pengadilan untuk mengungkap pembunuhan eks Perdana Menteri Rafiq Hariri. Pengadilan dengan mayoritas hakim internasional. Rafiq Hariri dibunuh dengan bom bunuh diri pada 14 Februari 2005.

Gemayel yang anti-Suriah itu pergi manakala Libanon pascaperang sibuk dengan urusan politik. Saat itu pemimpin koalisi mayoritas parlemen, Saad Hariri, anak Rafiq, baru mendukung model pemerintahan nasional bersatu. Dia menerima formula yang disodorkan Perdana Menteri Fouad Siniora dua pekan silam: suatu pemerintahan nasional dengan 30 menteri—sembilan pro-Suriah (dikenal sebagai kelompok Koalisi 8 Maret), dan 19 menteri anti-Suriah (kelompok Kekuatan 14 Maret). Dua posisi lain akan diisi orang-orang independen dengan ketentuan: tidak terkait partai mana pun, tidak memiliki hak suara dalam keputusan besar seperti pelucutan senjata Hizbullah.

Libanon sepeninggal Gemayel adalah negeri yang baru saja terlepas dari perang dengan Israel dan sedang berusaha menghindari perang saudara. Ya, Libanon yang mencoba bangkit dari reruntuhan perang Hizbullah vs Israel—kini masing-masing tentara sudah ditarik dari kawasan selatan Libanon dan tentara perdamaian di bawah PBB mengisi daerah yang mereka berdua tinggalkan.

Itulah Libanon yang telah memiliki agenda penyelesaian masalah. Rencana pengadilan atas pembunuhan Rafiq Hariri sudah semakin jelas. Sedangkan pembentukan pemerintahan nasional bersatu, yang diharapkan mampu mengatasi ancaman konflik sektarian, sudah dirumuskan. Sementara itu, jadwal pemilihan umum presiden—untuk menggantikan Presiden Emile Lahoud yang pro-Suriah—sudah dipertimbangkan matang-matang: musim gugur 2007, September tahun depan.

Suriah mungkin dirugikan dengan perkembangan ini, tapi sejauh ini tiada yang bisa memastikan keterlibatannya. Yang diketahui hanya hampir 30 tahun pasukan Suriah pernah bercokol di bumi Libanon. Dan kelompok-kelompok anti-Suriah pun langsung mencium dan menuding: intelijen Suriah dan kelompok dukungan Suriah—terutama Hizbullah—terlibat pembunuhan Gemayel. Suriah diduga juga terlibat dalam pembunuhan Hariri dan selalu memberikan dukungan persenjataan serta keuangan bagi Hizbullah itu. Pendek kata, tetangga itu tidak akan suka melihat Libanon stabil.

Apalagi, sebelum kematian Gemayel, setelah pembunuhan Hariri, terjadi lima kali usaha pembunuhan dengan bom mobil terhadap para tokoh anti-Suriah; tiga mati dan dua selamat. Mereka adalah wartawan Samir Kassir, politisi George Hawi, wartawan Gibran Tueni. Sedangkan Menteri Pertahanan Elias Murr selamat dari bom mobil, dan wartawan perempuan May Chidiac kehilangan tangan dan kaki. Semua tudingan, tentu saja, dibantah pihak Suriah, dan mereka balik menuding Israel dan Amerika. Keduanya sengaja memancing di air keruh.

Entah apakah semua itu disponsori Suriah atau pihak yang ingin menyudutkan Suriah. Yang terang, keadaan ini memerosok-kan Libanon semakin dalam. Ada kekhawatiran luas, Libanon akan kembali jatuh ke dalam perang saudara seperti pada 1875-1990. Apalagi, sejarah menunjukkan: Bashir Gemayel, juga paman Pierre Gemayel, dibunuh pada 1982 sembilan hari sebelum penobatannya sebagai Presiden Libanon. Dan sejak itu api perang saudara di tanah tersebut semakin besar.

Ya, kematian Gemayel telah membuka kembali luka terdalam di Libanon: konflik sektarian. Gemayel adalah keluarga Kristen Maronit paling disegani dan telah lama terlibat dalam politik di Libanon. Kakeknya, Pierre Gemayel, adalah pendiri Partai Kataeb atau Falangis pada 1936. Partai tersebut sangat ”kanan” dan meniru struktur Nazi. Falangis sangat menentang kedekatan Libanon dengan dunia Arab dan menolak pengungsi Palestina di Libanon. Selain itu, Falangis mendapat dukungan penuh dari Israel dan Gemayel tua sangat dekat dengan para agen rahasia Israel. Kakek Gemayel, yang meninggal pada 1984, lolos dari beberapa kali usaha pembunuhan.

Gemayel muda terbukti jauh lebih moderat ketimbang kakeknya dan sangat mementingkan persatuan Libanon. Justru karena itulah, pembunuhannya makin membangkitkan kondisi saling mencurigai antara pihak yang pro dan yang anti-Suriah di Libanon. Apalagi kematian Gemayel juga menguak rasa sakit keluarga Hariri, keluarga Sunni yang juga terkenal moderat. ”Orang-orang moderat yang berpihak pada persatuan Libanon menjadi sasaran pembunuhan, jadi siapa pun di balik aksi ini adalah pihak yang tidak menginginkan Libanon stabil,” demikianlah anggapan publik.

Semua hal seolah-olah mendukung asumsi itu. Minggu dua pekan silam, Sekretaris Jenderal Hizbullah Syeikh Hassan Nasrallah mengancam akan melakukan demonstrasi damai—seharusnya berlangsung Kamis lalu, tapi batal karena pembunuhan Gemayel. Hizbullah, selain menolak pembentukan pengadilan Hariri dengan hakim-hakim internasional, juga tidak setuju dengan komposisi kabinet pemerintahan nasional bersatu.

Selain itu, kabinet Siniora juga sedang goyah. Seluruh menteri Syiah mengundurkan diri dua pekan lalu setelah Hizbullah menuduh Siniora didukung Israel dan Amerika dalam perang di musim panas lalu. Tanpa menteri-menteri dari kelompok Syiah—mayoritas warga di Libanon—bisa dikatakan legitimasi pemerintah Siniora lemah. Dan kini, setelah kematian Gemayel, keputusan apa pun yang diambil kabinet tidak akan memenuhi kuorum.

Kini kecemasan akan perang saudara menyebar. Setelah pembunuhan Gemayel, perlahan-lahan sejumlah warga Beirut saat ini mulai meninggalkan kota. Mereka takut kerusuhan politik itu berkepanjangan, meluas. Tapi beberapa tokoh langsung menangkap ini sebagai peringatan, dan berusaha mendinginkan suasana.

”Kami tidak menginginkan reaksi keras dan balas dendam,” ujar Amin Gemayel, ayah korban. Sementara itu, Hizbullah berjanji tidak akan mengerahkan massa untuk berdemonstrasi. Ya, Libanon untuk Libanon, bukan untuk para tetangganya dan yang adikuasa.

Bina Bektiati (Al Jazeera, Daily Star, Guardian, The Economist, ICG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus