Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Chatib Basri
People who intend only to seek their own benefit are led by an invisible hand to serve public interest which was no part of their intention. I say that there is a reverse invisible hand: People who intend to serve only the public interest are led by an invisible hand to serve private interests which was not part of their intention. (Friedman, 1993)
Manusia tampaknya memang jadi lebih gesit ketika ia memihak kepentingan pribadi. Itu sebabnya Adam Smith, bapak ilmu ekonomi, percaya: bila tiap individu memperbaiki dirinya sendiri, maka—tanpa perlu direncanakan—akan terbentuk satu kumpulan individu yang baik, yang pada gilirannya akan melahirkan masyarakat yang lebih baik pula. Dan dunia pun mencatat: bukan Korea Utara, tapi Korea Selatan, bukan Uni Soviet, tapi Jepang. Bukan China, India atau Vietnam di bawah ekonomi komando, tapi China, India dan Vietnam di bawah ekonomi pasar yang bergerak begitu gesit dan sejahtera.
Kita tentu bisa berdebat panjang dalam soal itu, karena tentunya argumennya tidaklah sesederhana itu. Ada kompleksitas dari berbagai bukti anekdotal itu. Namun, satu hal bisa dicatat bahwa pasar memang punya keluwesan yang lebih besar ketimbang birokrasi pemerintahan. Milton Friedman, misalnya, pernah menulis: birokrasi pemerintahan tak punya mekanisme untuk menghentikan eksperimen yang tidak baik. Lebih jauh lagi dengan cerdas ia menulis: mereka yang kerap kali mengatasnamakan kepentingan publik akan dibawa oleh invisible hand untuk membela kepentingan pribadi.
Dan kita punya daftar yang tak kurang panjang untuk ini. Kita bisa melihat bagaimana proteksi diberikan untuk melindungi pengusaha yang dekat dengan kekuasaan. Kita mencatat bagaimana monopoli diberikan kepada pemburu rente atas nama kepentingan publik. Ketika melihat bagaimana aturan regulasi yang berbelit-belit akhirnya berakhir kepada ”pasar pelicin prosedur birokrasi”.
Milton Friedman memang menjengkelkan. Ironisnya, argumen yang disampaikannya kerap memiliki dasar logika yang kuat, walau tentunya tetap terbuka untuk diperdebatkan. Dua pekan lalu, guru besar, pelopor Chicago School, dan pemenang Nobel ekonomi untuk bidang ekonomi moneter dari Universitas Chicago ini meninggal dalam usia 94 tahun. Apa yang bisa dikenang dari salah satu raja pemikir yang oleh mereka yang membencinya disebut ”kaum reaksioner” ini?
Friedman memang sebuah sosok yang penuh warna. Gary Becker, guru besar dan pemenang Nobel ekonomi dari Universitas Chicago, mengenang hari pertama kuliahnya di Chicago: Friedman—yang mengajarnya—mengajukan pertanyaan. Becker menjawab, dan Friedman menukas: Anda tak menjawab pertanyaan saya, Anda hanya memperkuat pertanyaan itu. Intinya, Friedman mengatakan bahwa yang penting adalah ide dan argumentasi, bukan sekadar menguatkan keyakinan terhadap apa yang sudah kita percayai.
George Schultz, seorang guru besar ekonomi dari Universitas Chicago, juga bercerita bagaimana diskusi di Quadragle Club di Universitas Chicago begitu hangat dan kerap didominasi oleh Friedman. Semua orang senang berargumentasi secara kritis terhadap Friedman, terutama ketika Friedman tidak ada di sana. Friedman memang dikenal sebagai seorang yang amat kuat dalam logika dan argumentasi. Itu mungkin sebabnya orang senang berdebat dengannya. Tentu banyak peristiwa anekdotal tentang ekonom yang lahir pada 31 Juli 1912 di Brooklyn N.Y. ini. Tetapi yang jauh lebih penting adalah jejak pemikirannya. Apa yang bisa dikenang dari orang ini? Saya kira ada beberapa pemikirannya yang kemudian berkembang dan pantas kita catat di sini.
Kekuatan pasar dan mekanisme transmisi. Friedman menunjukkan bahwa voluntary exchange (pertukaran sukarela) memungkinkan kerja sama dari jutaan individu dalam produksi barang dan jasa. Friedman menggambarkannya dalam pasar pensil. Tak ada seorang pun yang membayangkan bahwa proses pembuatan pensil membutuhkan kerja sama dalam jumlah besar orang. Pemotong kayu membutuhkan gergaji, truk dan pengungkit untuk merobohkan pohon. Semuanya membutuhkan keterampilan, sementara graphite core-nya harus didatangkan dari tempat lain—mungkin negeri lain. Yang luar biasa, semua itu dilakukan tanpa butuh sebuah koordinasi negara secara khusus. Tidak dibutuhkan biro pemerintah untuk mempelajari berapa pensil dibutuhkan. Juga tidak dibutuhkan peraturan berantai untuk menjalankan proses produksi. Semua digerakkan dalam ekonomi pasar dengan mekanisme harga.
Penghilangan diskiriminasi. Pasar yang kerap dituduh diskriminatif ternyata menurut Friedman justru bersikap anti-diskriminasi. Friedman menulisnya dengan baik: tak ada seorang pembeli roti pun tahu, apakah gandum yang digunakan untuk membuat roti itu ditumbuk oleh seorang komunis, Republikan, konstitusionalis, fasis, orang kulit putih atau hitam. Ini menunjukkan bagaimana pasar bersifat impersonal. Individu yang akan melakukan diskriminasi sebenarnya menghukum dirinya sendiri, karena ia membatasi pilihannya akibat tak mau membeli atau menggunakan produk yang diproduksi oleh satu kelompok, aliran politik, ras, gender, atau agama tertentu. Implikasinya, pasokan berkurang, harga akan naik. Inilah hukuman pasar bagi mereka yang diskriminatif.
Keberagaman tanpa kekacauan. Salah satu keunggulan dari pasar adalah kemampuannya membuat sebuah persetujuan tanpa konsensus politik. Dalam pasar politik, pilihan praktis tidak selalu tersedia. Pemilihan umum tidak dapat dilakukan setiap hari. Kita memilih bukan untuk satu kebijakan tertentu tetapi untuk sebuah partai, atau paket program, dan jika satu paket berhasil menarik 51 persen, seluruh negara terikat pada hal itu, bahkan juga untuk mereka yang tidak menyetujuinya.
Masalah akibat kekuasaan pemerintah yang berlebihan.
Peran pemerintah yang terbatas menjadi perlu karena sistem pasar lebih efisien dalam menyediakan barang dan jasa dibandingkan dalam sistem politik lain. Ketika pemerintah mengambil alih fungsi aktivitas ekonomi, ada kecenderungan bahwa itu berjalan lebih atas dasar kepentingan self-interest dari mereka yang menjalankannya ketimbang manfaat bagi mereka yang seharusnya memperoleh manfaat. Indonesia punya daftar yang panjang untuk soal ini.
Equality. Salah satu kritik yang kerap diajukan kepada kapitalisme adalah soal equality. Ada tuduhan bahwa dalam ekonomi pasar terdapat inequality yang lebih besar. Friedman memberikan argumen: benar, bahwa di dalam sistem pasar, pendapatan amat tersebar tetapi sebagian besar pendapatan dialokasikan untuk jasa manusia ketimbang jasa pemilikan. Selain itu, studi empiris juga membuktikan bahwa perbedaan pendapatan di Amerika Serikat ternyata sama buruknya dengan yang terjadi di Rusia, bahkan lebih buruk. Selain itu ada argumen—klasik—kaum libertarian: yang lebih penting adalah persamaan dalam kesempatan dan bukan kesamaan dalam hasil.
Argumen Friedman yang amat memikat ini tentunya amat terbuka untuk diperdebatkan. Pasar tentunya tak sepenuhnya sempurna dan bebas dari cela. Argumen Friedman bahwa pasar tidak diskriminatif sebenarnya memiliki persoalan. Harga, pada dirinya, adalah sesuatu yang diskriminatif. Ia berpihak kepada mereka yang mampu menerima harga tertentu. Itu sebabnya, kapitalisme pun seperti cenderung untuk terus-menerus mengesahkan keserakahan.
Dalam soal kebebasan, kompleksitas persoalannya juga tak sesederhana bayangan kita. Kebebasan haruslah dilihat dari dua hal: proses dan kesempatan. Ketidakbebasan dapat terjadi karena terhalangnya aktivitas ekonomi. Contoh yang paling sederhana adalah tidak adanya hak politik masyarakat untuk melakukan fungsinya sebagai individu. Pandangan yang menghubungkan proses dengan kebebasan ini tampaknya banyak dipengaruhi oleh pemikiran libertarian, yang memberikan bobot yang besar sekali pada prosedur yang memungkinkan adanya kebebasan dalam memilih atau melakukan tindakan. Di sisi lain, pembahasan kebebasan tidak bisa lepas dari kesempatan yang ada. Tanpa adanya, atau kurangnya kesempatan—misalnya kapabilitas untuk terhindar dari kelaparan dan kematian—maka proses peningkatan kapabilitas tidak akan tercapai.
Satu kritik Amartya Sen bagi pendekatan libertarian yang banyak dikaitkan dengan pemikiran Robert Nozick: libertarian hanya memfokuskan diri pada soal kesamaan dalam hak dan lebih mementingkan proses. Di sini libertarian telah melupakan soal ”ketidakberuntungan” orang akibat kekurangan yang sistematis dari kesempatan yang ada. Memang ada dilema di sini, kesamaan dalam hak (equality in rights) akan menghasilkan ketidaksamaan dalam hasil (inequality in outcome) dan sebaliknya. Jika kita menginginkan satu pendapatan yang merata, maka tidak terhindari harus ada pelanggaran atas kesamaan hak. Sebaliknya jika kita menjamin adanya kesamaan hak, maka tidak dapat terhindarkan adanya ketidak samaan dalam hasil.
Namun, lepas dari perdebatan yang terus berlangsung dalam soal equality ini dan juga berbagai kritik terhadap libertarian, tidak dapat dimungkiri bahwa pemikiran pasar, yang di abad ke-21 ini dimotori salah satunya oleh Milton Friedman, telah berkembang begitu pesat dan mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi dan politik di banyak negara. Tak pelak lagi pemenang Nobel ekonomi tahun 1976 ini merupakan salah seorang yang amat berpengaruh dalam pemikiran ekonomi kontemporer hingga kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo