Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Komputer PMB tidak jujur?

Orangtua murid di DKI Jakarta banyak yang menyalahkan sistem komputer yang katanya tak adil dalam PMB. tapi adakah cara baru, sementara daya tampung sekolah negeri memang tak sebanding dengan yang mau masuk sekolah.

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOHAMAD Hidayat, 43 tahun, merasa putus asa. Putri sulungnya yang menjadi juara ke-3 di sebuah SMP negeri di Jakarta, dengan nilai EBTA (evaluasi belajar tahap akhir) rata-rata 7,5, dan nilai rata-rata rapornya 8, ternyata nilai tes masuk ke SMA negeri yang dipilihnya, cuma mencapai 4,4. Ia kemudian hanya tercatat sebagai "cadangan" dengan nomor urut 52 di SMA itu. Bila saja pekan ini di SMA tersebut ada sejumlah calon siswa yang diterima tidak muncul mendaftar, barangkali siswa-siswa cadangan itu punya harapan. Bila sampai 30 Juli nanti ternyata tak ada calon siswa yang diterima mengundurkan diri, apa boleh buat, pilih saja SMA swasta -- kalau dompet tebal. Dan di DKI Jakarta lulusan SD yang mau masuk SMP negeri, dan lulusan SMTP yang mau masuk SMA negeri yang dalam pengumuman penerimaan murid baru (PMB) akhir bulan lalu masuk golongan "cadangan" jumlahnya puluhan ribu. Ini bisa dilihat dari perbandingan peserta tes masuk SMP dan SMA dan daya tampungnya. Hanya sekitar 60% lulusan SD bisa diterima di SMP negeri dan hanya sekitar 49% lulusan SMTP yang bisa masuk SMA negeri. Berarti lebih dari 45 ribu lulusan SD harus mencari SMP swasta, dan lebih dari 31 ribu pemegang surat tanda lulus SMTP harus pula mencari SMA partikulir. Keresahan menunggu tempat kosong, bagi calon yang termasuk "cadangan" itu sudah tiga tahun belakangan ini bercampur dengan ketidakpuasan atas sistem seleksi yang memakai komputer. Seperti Mohamad Hidayat itu misalnya, heran, bagaimana anaknya yang juara hanya meraih nilai tes di bawah angka 5. Ia, wajar memang kalau kemudian menilai sistem komputer kurang adil. Karena sistem seleksi dengan alat itu melulu mempertimbangkan nilai tes, dan mengabaikan prestasi sehari-hari. Bahkan Boediman Hardjomarsono, ketua Tim PMB DKI Jakarta sendiri mengakui, "komputer tak secara jujur menilai kemampuan calon murid". Agaknya di sini komputer jadi kambing hitam. Padahal yang sebenarnya harus dituding ialah sistem yang semata mempertimbangkan nilai tes itu yang tidak adil. Tapi bukannya tanpa alasan bila Kantor Wilayah P8K DKI Jakarta tetap menggunakan komputer. "Dalam soal ketelitian komputer lebih unggul," tutur Boediman. "Lagi pula secara otomatis dan cepat, langsung diperoleh ranking calon murid yang diterima, yang cadangan lengkap dengan nilai tesnya." Walhasil tawar-menawar seperti di zaman lampau, terang-terangan maupun di bawah meja, antara orangtua murid dan pihak sekolah, bisa dihindarkan. Hasil konkret komputer yang dibagikan kepada peserta tes masuk SMP dan SMA yang berbentuk kartu kecil, yang mencatat prestasi tes murid bersangkutan, diumumkan terbuka. Juga dengan demikian, kata Boediman pula, membersihkan calo-calo yang dulu biasa berkeliaran menawarkan jasa. Dengan komputer pula hak anak guru dan anak jenderal dan anak penjual sayur, sama. Pokoknya tak ada prioritas-prioritasan. Memang apa boleh buat bila kelemahan sistem ini tetap saja ada. Selain yang telah disebutkan, juga para peserta tes ternyata banyak yang entah gugup atau memang tidak tahu, salah mengisi lembar jawaban. Menurut ketua TIM PMB DKI Jakarta, banyak yang salah menulis kode rayon, nomor tes terlupakan, "jadi apa yang mau diproses komputer?" katanya. Bayangkan bila yang mengisi prosedur dengan salah itu ternyata siswa yang pintar, yang menjawab semua soal tes dengan betul. Komputer, toh, tak akan peduli. Bila kode-kode lembar jawaban salah atau kosong, ya, lembar itu akan dimasukkan dalam golongan yang tidak lulus. Ada pula soal lain yang banyak diributkan para orangtua. Ada peserta tes yang cuma mendapat angka 5 tapi masuk golongan diterima, ada yang nilainya 6,5 tapi hanya masuk golongan cadangan. Dengan sistem rayon itu memang kemungkinan itu bisa terjadi. Sebab, bila sebuah SMP atau SMA kebetulan peserta tes masuknya rata-rata mendapat nilai tinggi dan daya tampung sekolah tersebut kecil, bisa saja nilai tingggi hanya termasuk cadangan. Sebaliknya, di sekolah yang nilai peserta tes rata-rata rendah, dan daya tampung sekolah itu agak besar, ya, tentu saja angka 5 bisa jadi termasuk yang diterima.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus