MOHAMAD Hidayat, 43 tahun, merasa putus asa. Putri sulungnya
yang menjadi juara ke-3 di sebuah SMP negeri di Jakarta, dengan
nilai EBTA (evaluasi belajar tahap akhir) rata-rata 7,5, dan
nilai rata-rata rapornya 8, ternyata nilai tes masuk ke SMA
negeri yang dipilihnya, cuma mencapai 4,4. Ia kemudian hanya
tercatat sebagai "cadangan" dengan nomor urut 52 di SMA itu.
Bila saja pekan ini di SMA tersebut ada sejumlah calon siswa
yang diterima tidak muncul mendaftar, barangkali siswa-siswa
cadangan itu punya harapan. Bila sampai 30 Juli nanti ternyata
tak ada calon siswa yang diterima mengundurkan diri, apa boleh
buat, pilih saja SMA swasta -- kalau dompet tebal.
Dan di DKI Jakarta lulusan SD yang mau masuk SMP negeri, dan
lulusan SMTP yang mau masuk SMA negeri yang dalam pengumuman
penerimaan murid baru (PMB) akhir bulan lalu masuk golongan
"cadangan" jumlahnya puluhan ribu. Ini bisa dilihat dari
perbandingan peserta tes masuk SMP dan SMA dan daya tampungnya.
Hanya sekitar 60% lulusan SD bisa diterima di SMP negeri dan
hanya sekitar 49% lulusan SMTP yang bisa masuk SMA negeri.
Berarti lebih dari 45 ribu lulusan SD harus mencari SMP swasta,
dan lebih dari 31 ribu pemegang surat tanda lulus SMTP harus
pula mencari SMA partikulir.
Keresahan menunggu tempat kosong, bagi calon yang termasuk
"cadangan" itu sudah tiga tahun belakangan ini bercampur dengan
ketidakpuasan atas sistem seleksi yang memakai komputer. Seperti
Mohamad Hidayat itu misalnya, heran, bagaimana anaknya yang
juara hanya meraih nilai tes di bawah angka 5. Ia, wajar memang
kalau kemudian menilai sistem komputer kurang adil. Karena
sistem seleksi dengan alat itu melulu mempertimbangkan nilai
tes, dan mengabaikan prestasi sehari-hari. Bahkan Boediman
Hardjomarsono, ketua Tim PMB DKI Jakarta sendiri mengakui,
"komputer tak secara jujur menilai kemampuan calon murid".
Agaknya di sini komputer jadi kambing hitam. Padahal yang
sebenarnya harus dituding ialah sistem yang semata
mempertimbangkan nilai tes itu yang tidak adil. Tapi bukannya
tanpa alasan bila Kantor Wilayah P8K DKI Jakarta tetap
menggunakan komputer.
"Dalam soal ketelitian komputer lebih unggul," tutur Boediman.
"Lagi pula secara otomatis dan cepat, langsung diperoleh ranking
calon murid yang diterima, yang cadangan lengkap dengan nilai
tesnya." Walhasil tawar-menawar seperti di zaman lampau,
terang-terangan maupun di bawah meja, antara orangtua murid dan
pihak sekolah, bisa dihindarkan. Hasil konkret komputer yang
dibagikan kepada peserta tes masuk SMP dan SMA yang berbentuk
kartu kecil, yang mencatat prestasi tes murid bersangkutan,
diumumkan terbuka. Juga dengan demikian, kata Boediman pula,
membersihkan calo-calo yang dulu biasa berkeliaran menawarkan
jasa. Dengan komputer pula hak anak guru dan anak jenderal dan
anak penjual sayur, sama. Pokoknya tak ada
prioritas-prioritasan.
Memang apa boleh buat bila kelemahan sistem ini tetap saja ada.
Selain yang telah disebutkan, juga para peserta tes ternyata
banyak yang entah gugup atau memang tidak tahu, salah mengisi
lembar jawaban. Menurut ketua TIM PMB DKI Jakarta, banyak yang
salah menulis kode rayon, nomor tes terlupakan, "jadi apa yang
mau diproses komputer?" katanya. Bayangkan bila yang mengisi
prosedur dengan salah itu ternyata siswa yang pintar, yang
menjawab semua soal tes dengan betul. Komputer, toh, tak akan
peduli. Bila kode-kode lembar jawaban salah atau kosong, ya,
lembar itu akan dimasukkan dalam golongan yang tidak lulus.
Ada pula soal lain yang banyak diributkan para orangtua. Ada
peserta tes yang cuma mendapat angka 5 tapi masuk golongan
diterima, ada yang nilainya 6,5 tapi hanya masuk golongan
cadangan. Dengan sistem rayon itu memang kemungkinan itu bisa
terjadi. Sebab, bila sebuah SMP atau SMA kebetulan peserta tes
masuknya rata-rata mendapat nilai tinggi dan daya tampung
sekolah tersebut kecil, bisa saja nilai tingggi hanya termasuk
cadangan. Sebaliknya, di sekolah yang nilai peserta tes
rata-rata rendah, dan daya tampung sekolah itu agak besar, ya,
tentu saja angka 5 bisa jadi termasuk yang diterima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini