SIDON dan Beirut dilanda pemogokan total pekan silam. Kejadian
yang tidak lagi menarik di negeri yang makin hancur itu,
dilancarkan oleh golongan kiri terhadap campur tangan militer
Suriah atas pertentangan dalam negeri Libanon. Laporan-laporan
dari berbagai pihak mengakui masuknya sejumlah besar pasukan
kavaleri dan infanteri Suriah ke dalam wilayah Libanon sejak
awal pekan ini. Sasaran utama pasukan itu adalah desa Kobayat
dan Andkit yang dikepung rapat oleh Tentara Arab Libanon yang
berhaluan kiri. Dalam waktu singkat, tanpa pertempuran, komandan
pasukan Tentara Arab Libanon di dua desa itu menyerahkan
kekuasaan kepada pasukan-pasukan Suriah.
Di Damaskus, Suriah mengakui adanya penyerbuan pasukan ke dalam
Libanon. "Itu kami lakukan karena permintaan Libanon sendiri",
kata satu sumber militer di ibu kota Suriah. Para pengamat
politik di Beirut cendrung untuk menyebut golongan kanan sebagai
pihak yang mengundang tentara Suriah. Dugaan ini bukannya tidak
berdasar, terutama oleh kenyataan bahwa pasukan-pasukan kanan
makin lama makin terjepit. Dan dalam perjalanannya ke dalam
wilayah Libanon, tentara Suriah itu melucuti sejumlah besar
pasukan-pasukan Palestina yang selama ini memang berpihak pada
golongan kiri.
Akan halnya Presiden terpilih Libanon, Sarkis, tak satu
pernyataan pun ia keluarkan terhadap invasi pasukan-pasukan
Suriah itu. Kuat dugaan bahwa ia sengaja diam untuk kemudian
menggunakan keadaan itu bagi menyatukan pihak-pihak yang
bertentangan di Libanon. Hingga kini Sarkis -- yang berhasrat
menjadi Presiden bagi semua pihak di Libanon -- tidak bisa
berbuat banyak lantaran Presiden Franjieh tidak rela menyerahkan
kekuasaan kepresidenan.
Akibat ketidak-pastian pemerintahan Libanon itulah yang makin
memperkalut suasana. Pertempuran berlangsung makin seru,
kehancuran melanda seluruh negeri dan kematian di mana-mana.
Laporan para wartawan dari Beirut menyebutkan bahwa setiap
harinya pukul rata 65 orang mati terbunuh di ibu kota Libanon
itu. Sejak usaha kudeta Jende is Ahdab dilancarkan tanggal 11
Maret yang lalu, angka kematian di Libanon sudah melampaui 5
ribu jiwa. Kematian yang makin menjadi-jadi itu kemudian juga
memupuk dendam yang hebat, sehingga aksi bunuh membunuh di
Libanon dilukiskan oleh seorang wartawan sebagai "telah
melampaui kekejaman Nazi Jerman,'
Tragedi yang melanda Libanon ini menarik perhatian berbagai
pihak. Negara-negara Arab sejak lama berusaha untuk mengatasi
pertumpahan darah itu. Tapi sebelum bersepakat dalam mengatasi
keributan berdarah di Libanon, pertikaian antara negara Arab
sendiri terlebih dahulu harus diatasi. Mesir yang ingin
memberikan jasa-jasa baiknya dalam soal Libanon ini telah
berkali-kali mendekati Suriah -- yang mempunyai lebih 20 ribu
tentara di Libanon, dalam pakaian resmi maupun menyamar sebagai
gerilya Palestina -- hingga kini belum berhasil. Setiap Kairo
mengulurkan tangan, Damaskus selalu membangkit-bangkit soal
lama, yakni kesepakatan Mesir-Israel dalam soal pisah pasukan
selepas perang Yom Kipur tahun 1973.
Berembuk Dengan Kairo
Arab Saudi dan Kuweit juga tidak tinggal diam. Dengan
mengandalkan kekayaan minyak mereka -- yang amat dibutuhkan oleh
Suriah dalam bentuk bantuan -- kedua negara Arab yang kaya itu
ada membujuk Damaskus untuk berembuk dengan Kairo. Libya yang
berseteru dengan Mesir kurang senang dengan prakarsa Saudi dan
Kuweit itu. Lantas saja Gaddafi mengirim Perdana Menteri
Abdessalam Jalluod ke Damaskus. Dengan kekayaannya yang juga
datang dari tamban, minyak, konon Libya juga bersedia
memberikan bantuan kepada Suriah.
Tidak ,ada kemajuan, tidak ada campur tangan positif dari pihak
Arab. Tanggal-22 Mei yang lalu, Presiden Perancis, Giscard
D'Estaing mengumumkan kesediaannya mengirim pasukan pendamai ke
Libanon. Dengan cepat golongan kiri menolak. Bahkan mereka
mengingatkan Perancis--sebagai bekas penjajah Libanon -- akan
bom waktu yang mereka tinggalkan dulu yang kini meledak sebagai
perang saudara. "Perang di Libanon ini bukan perang agama. Ini
masaalah sosial yang dulu diatur seenaknya oleh penjajah", kata
seorang tokoh kiri Libanon. Perancis yang beragama Kristen,
ketika berkuasa di Libanon, kabarnya hanya memberi hati dan
kesempatan pada golongan Kristen dan membiarkan golongan Islam
dalam keadaan amat terkebelakang. "Kalau Perancis masuk kembali
ke mari, tentu mereka hanya akan melanjutkan politik pilih
kasihnya dahulu itu", kata seorang pembantu dekat Kamal Jumblat
tokoh terkemuka golongan kiri. Tapi tawaran Perancis itu masih
belum ditarik. Ketika berada di Amerika Serikat pekan silam,
Presiden Giscard masih lagi mengulangi tawaran tersebut. Di
Aljir, Yasser Arafat, pemimpin PLO, malahan berbicara mengenai
adanya pasukan gabungan Amerika-Perancis yang kini siap mendarat
di Libanon.
Dalam keadaan seperti itulah Suriah mengambil keputusan untuk
mengirim lebih banyak pasukan ke Libanon. Kamal Jumblat juga
tidak senang terhadap invasi ini. Katanya lewat radio Beirut
pekan silam: "Serbuan pasukan Suriah itu adalah hasil
persekongkolan Suriah, Amerika dan Israel untuk membentuk
negara-negara kecil di Libanon. Ini adalah Balkanisasi baru".
Pierre Gemayel, pemimpin golongan kanan nampaknya juga tidak
terlalu percaya pada Suriah yang pada dasarnya juga kiri, pekan
silam mendesak Amerika dan Uni Soviet untuk secara bersama
campur tangan di Libanon. "Soviet dan Amerika lebih bertanggung
jawab atas Libanon dari pada negara-negara Arab yang kini
meninggalkan kami", kata Gemayel.
Ketika penyerbuan pasukan kavaleri dan infantri Suriah ke
Libanon pekan silam itu terjadi, Perdana Menteri Soviet, Alexey
Kosyigin sedang berada di Damaskus. Pembesar Kremlin itu tidak
mengeluarkan pernyataan apa pun mengenai kejadian tersebut. Para
pengamat politik di Timur Tengah cenderung untuk menilai
kebungkaman Kosyigin ini sebagai akibat posisinya yang sulit.
Karena Suriah yang mendukung golongan kanan di Libanon, golongan
kiri di sana berpaling ke Irak. Kini timbul ketegangan antara
Irak dengan Suriah. Kedua negara Arab berhaluan kiri ini adalah
"langganan tetap" Kremlin yang amat penting di Timur Tengah
setelah Mesir lebih mendekat pada Amerika. Keadaan menjadi makin
sulit bagi Kosyigin oleh kenyataan bahwa juga gerilyawan
Palestina kini makin menjauh dari Damaskus. Sebuah sumber
malahan menyebut adanya aksi pentngkapan oleh tentara Suriah
terhadap sejumlah pemimpin Palestina di dalam wilayah Suriah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini