Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang terus

Pertempuran libanon makin seru. menurut wartawan tiap hari 65 orang mati terbunuh. dilukiskan melampaui kejaman nazi jerman. negara arab mengatasi dengan perundingan melalui negara yang bersengketa. (ln)

12 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDON dan Beirut dilanda pemogokan total pekan silam. Kejadian yang tidak lagi menarik di negeri yang makin hancur itu, dilancarkan oleh golongan kiri terhadap campur tangan militer Suriah atas pertentangan dalam negeri Libanon. Laporan-laporan dari berbagai pihak mengakui masuknya sejumlah besar pasukan kavaleri dan infanteri Suriah ke dalam wilayah Libanon sejak awal pekan ini. Sasaran utama pasukan itu adalah desa Kobayat dan Andkit yang dikepung rapat oleh Tentara Arab Libanon yang berhaluan kiri. Dalam waktu singkat, tanpa pertempuran, komandan pasukan Tentara Arab Libanon di dua desa itu menyerahkan kekuasaan kepada pasukan-pasukan Suriah. Di Damaskus, Suriah mengakui adanya penyerbuan pasukan ke dalam Libanon. "Itu kami lakukan karena permintaan Libanon sendiri", kata satu sumber militer di ibu kota Suriah. Para pengamat politik di Beirut cendrung untuk menyebut golongan kanan sebagai pihak yang mengundang tentara Suriah. Dugaan ini bukannya tidak berdasar, terutama oleh kenyataan bahwa pasukan-pasukan kanan makin lama makin terjepit. Dan dalam perjalanannya ke dalam wilayah Libanon, tentara Suriah itu melucuti sejumlah besar pasukan-pasukan Palestina yang selama ini memang berpihak pada golongan kiri. Akan halnya Presiden terpilih Libanon, Sarkis, tak satu pernyataan pun ia keluarkan terhadap invasi pasukan-pasukan Suriah itu. Kuat dugaan bahwa ia sengaja diam untuk kemudian menggunakan keadaan itu bagi menyatukan pihak-pihak yang bertentangan di Libanon. Hingga kini Sarkis -- yang berhasrat menjadi Presiden bagi semua pihak di Libanon -- tidak bisa berbuat banyak lantaran Presiden Franjieh tidak rela menyerahkan kekuasaan kepresidenan. Akibat ketidak-pastian pemerintahan Libanon itulah yang makin memperkalut suasana. Pertempuran berlangsung makin seru, kehancuran melanda seluruh negeri dan kematian di mana-mana. Laporan para wartawan dari Beirut menyebutkan bahwa setiap harinya pukul rata 65 orang mati terbunuh di ibu kota Libanon itu. Sejak usaha kudeta Jende is Ahdab dilancarkan tanggal 11 Maret yang lalu, angka kematian di Libanon sudah melampaui 5 ribu jiwa. Kematian yang makin menjadi-jadi itu kemudian juga memupuk dendam yang hebat, sehingga aksi bunuh membunuh di Libanon dilukiskan oleh seorang wartawan sebagai "telah melampaui kekejaman Nazi Jerman,' Tragedi yang melanda Libanon ini menarik perhatian berbagai pihak. Negara-negara Arab sejak lama berusaha untuk mengatasi pertumpahan darah itu. Tapi sebelum bersepakat dalam mengatasi keributan berdarah di Libanon, pertikaian antara negara Arab sendiri terlebih dahulu harus diatasi. Mesir yang ingin memberikan jasa-jasa baiknya dalam soal Libanon ini telah berkali-kali mendekati Suriah -- yang mempunyai lebih 20 ribu tentara di Libanon, dalam pakaian resmi maupun menyamar sebagai gerilya Palestina -- hingga kini belum berhasil. Setiap Kairo mengulurkan tangan, Damaskus selalu membangkit-bangkit soal lama, yakni kesepakatan Mesir-Israel dalam soal pisah pasukan selepas perang Yom Kipur tahun 1973. Berembuk Dengan Kairo Arab Saudi dan Kuweit juga tidak tinggal diam. Dengan mengandalkan kekayaan minyak mereka -- yang amat dibutuhkan oleh Suriah dalam bentuk bantuan -- kedua negara Arab yang kaya itu ada membujuk Damaskus untuk berembuk dengan Kairo. Libya yang berseteru dengan Mesir kurang senang dengan prakarsa Saudi dan Kuweit itu. Lantas saja Gaddafi mengirim Perdana Menteri Abdessalam Jalluod ke Damaskus. Dengan kekayaannya yang juga datang dari tamban, minyak, konon Libya juga bersedia memberikan bantuan kepada Suriah. Tidak ,ada kemajuan, tidak ada campur tangan positif dari pihak Arab. Tanggal-22 Mei yang lalu, Presiden Perancis, Giscard D'Estaing mengumumkan kesediaannya mengirim pasukan pendamai ke Libanon. Dengan cepat golongan kiri menolak. Bahkan mereka mengingatkan Perancis--sebagai bekas penjajah Libanon -- akan bom waktu yang mereka tinggalkan dulu yang kini meledak sebagai perang saudara. "Perang di Libanon ini bukan perang agama. Ini masaalah sosial yang dulu diatur seenaknya oleh penjajah", kata seorang tokoh kiri Libanon. Perancis yang beragama Kristen, ketika berkuasa di Libanon, kabarnya hanya memberi hati dan kesempatan pada golongan Kristen dan membiarkan golongan Islam dalam keadaan amat terkebelakang. "Kalau Perancis masuk kembali ke mari, tentu mereka hanya akan melanjutkan politik pilih kasihnya dahulu itu", kata seorang pembantu dekat Kamal Jumblat tokoh terkemuka golongan kiri. Tapi tawaran Perancis itu masih belum ditarik. Ketika berada di Amerika Serikat pekan silam, Presiden Giscard masih lagi mengulangi tawaran tersebut. Di Aljir, Yasser Arafat, pemimpin PLO, malahan berbicara mengenai adanya pasukan gabungan Amerika-Perancis yang kini siap mendarat di Libanon. Dalam keadaan seperti itulah Suriah mengambil keputusan untuk mengirim lebih banyak pasukan ke Libanon. Kamal Jumblat juga tidak senang terhadap invasi ini. Katanya lewat radio Beirut pekan silam: "Serbuan pasukan Suriah itu adalah hasil persekongkolan Suriah, Amerika dan Israel untuk membentuk negara-negara kecil di Libanon. Ini adalah Balkanisasi baru". Pierre Gemayel, pemimpin golongan kanan nampaknya juga tidak terlalu percaya pada Suriah yang pada dasarnya juga kiri, pekan silam mendesak Amerika dan Uni Soviet untuk secara bersama campur tangan di Libanon. "Soviet dan Amerika lebih bertanggung jawab atas Libanon dari pada negara-negara Arab yang kini meninggalkan kami", kata Gemayel. Ketika penyerbuan pasukan kavaleri dan infantri Suriah ke Libanon pekan silam itu terjadi, Perdana Menteri Soviet, Alexey Kosyigin sedang berada di Damaskus. Pembesar Kremlin itu tidak mengeluarkan pernyataan apa pun mengenai kejadian tersebut. Para pengamat politik di Timur Tengah cenderung untuk menilai kebungkaman Kosyigin ini sebagai akibat posisinya yang sulit. Karena Suriah yang mendukung golongan kanan di Libanon, golongan kiri di sana berpaling ke Irak. Kini timbul ketegangan antara Irak dengan Suriah. Kedua negara Arab berhaluan kiri ini adalah "langganan tetap" Kremlin yang amat penting di Timur Tengah setelah Mesir lebih mendekat pada Amerika. Keadaan menjadi makin sulit bagi Kosyigin oleh kenyataan bahwa juga gerilyawan Palestina kini makin menjauh dari Damaskus. Sebuah sumber malahan menyebut adanya aksi pentngkapan oleh tentara Suriah terhadap sejumlah pemimpin Palestina di dalam wilayah Suriah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus