Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Panggilan Telepon Terakhir Wanchalerm

Aktivis prodemokrasi Wanchalerm Satsaksit diculik kelompok bersenjata di Phnom Penh. Dicari pemerintah Thailand sejak 2014.

20 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Wanchalerm Satsaksit diculik tiga pria bersenjata di Phnom Penh.

  • Pemerintah Thailand dua kali meminta pemulangan Wanchalearm.

  • Lebih dari 104 pengkritik pemerintah Thailand menjadi eksil, sebagian ditemukan tewas.

WANCHALERM Satsaksit sedang mencari makanan di deretan toko di depan apartemennya, kondominium Mekong Gardens, Distrik Chroy Changvar, Phnom Penh, Kamboja, Kamis sore, 4 Juni lalu. Ia berbincang melalui telepon dengan Sitanan Satsaksit, kakak perempuannya yang berada di tanah kelahirannya, Thailand.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sitanan rutin menelepon Wanchalerm, aktivis pengkritik pemerintah Thailand yang mengasingkan diri ke Kamboja sejak 2014. Hal yang dibicarakan adalah kegiatan sehari-hari, termasuk bisnis yang digeluti Wanchalerm. “Saya mengatakan kepadanya untuk berhenti membicarakan politik dan hanya berfokus pada bisnis,” kata Sitanan seperti dilansir BenarNews.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wanchalerm memang menekuni bisnis, tapi tak sepenuhnya mengikuti saran kakaknya. Sehari sebelumnya, dia mengunggah video di Facebook yang mengkritik pemerintah Thailand di bawah Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha. Prayut adalah jenderal militer yang mengkudeta pemerintah Perdana Menteri Yingluck Shinawatra pada 2014.

Di akhir pembicaraan, pada pukul 17.45, Sitanan sempat mendengar keributan dari ujung telepon. Ada sejumlah teriakan berbahasa Kamboja yang ia dengar sebelum akhirnya sambungan terputus. Kata-kata terakhir adiknya yang sempat dia dengar adalah “saya tidak bisa bernapas”.

Suara ribut itu sebenarnya datang dari tiga orang bersenjata yang mendekati Wanchalerm dan menculiknya. Menurut saksi mata, Wanchalerm dipaksa masuk ke mobil Toyota Highlander hitam. Polisi yang berada tak jauh dari tempat itu melihat kejadian tersebut, tapi tak berani membantu karena penculiknya bersenjata api.

Rekaman kamera pengawas (CCTV) di sekitar tempat itu, yang diperoleh media Thailand Prachatai, memperlihatkan sebuah mobil hitam melaju keluar dari kondominium Mekong Gardens. Itulah terakhir kalinya Wanchalerm terlihat. Setelah itu, nasibnya menjadi misteri. Kepolisian Kamboja mengatakan pelat nomor polisi yang dipakai mobil penculik itu palsu.

Sitanan mendesak pemerintah dan organisasi internasional membantu menyelidiki hilangnya Wanchalerm. “Kami tidak punya dendam terhadap mereka yang melakukan kejahatan ini. Kami berdoa agar mereka segera membebaskannya,” ucapnya seperti dilansir Bangkok Post. Sejumlah aktivis berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Kamboja di Bangkok sehari setelah penculikan dan berlanjut pada beberapa hari berikutnya.

Lembaga-lembaga internasional, seperti Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penghilangan Paksa, mendesak pemerintah Kamboja menemukan Wanchalerm. Direktur di Kantor Sekretariat Jenderal Amnesty International, David Griffiths, mendesak Kamboja menyelidiki kasus ini. “Ini bukan pertama kalinya warga Thailand menghilang setelah menyampaikan pendapat politiknya,” ujarnya.

Direktur Asia Human Right Watch (HRW) Brad Adams juga mendesak pemerintah Kamboja segera bertindak untuk menemukan Wanchalerm serta memastikan keamanan dan keselamatannya. Lebih dari dua pekan telah berlalu sejak penculikan terjadi, tapi nasib Wanchalerm masih gelap. “Kami khawatir dia telah terbunuh,” kata Adams kepada Tempo, Rabu, 16 Juni lalu.

Dalam kasus penculikan ini, banyak mata tertuju ke Thailand. Sebab, selain Wanchalerm berkewarganegaraan Thailand, aktivitas politiknya di masa lalu patut dicurigai menjadi motif penculikannya. “Dia menentang rezim militer dan menjadi pendukung Thaksin selama bertahun-tahun,” tutur Adams. HRW juga menegaskan, ini bukan kasus pertama pengkritik vokal pemerintah dan warga Thailand di pengasingan menghilang.

Di depan parlemen pada 10 Juni lalu, Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai mengatakan Wanchalerm tidak terlalu penting dalam urusan internasional dan keamanan sehingga seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman bagi negara ini. Menurut dia, Kamboja juga sedang menyelidiki masalah ini dan yang bisa dilakukan Thailand adalah meminta negara itu menindaklanjuti kasus tersebut. “Kami tidak dapat berspekulasi tentang keberadaannya sampai menerima jawaban (dari Kamboja),” ucapnya.

Wanchalerm, yang lahir di Provinsi Ubon Ratchathani 37 tahun lalu, aktif di sejumlah organisasi. Ia bekerja di Rainbow Sky Alliance of Thailand, organisasi yang bergerak di bidang HIV. Ia juga aktif dalam gerakan anti-junta militer United Front for Democracy Against Dictatorship, yang juga dikenal sebagai kelompok “Kaus Merah”, dan anggota Institut Pemuda Pheu Thai, lembaga yang berafiliasi dengan partai oposisi besutan Thaksin Shinawatra, Pheu Thai.

Pelarian Wanchalerm bermula dari protes anti-pemerintah antara November 2013 dan Mei 2014 yang berujung pada krisis politik Thailand di bawah Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, yang juga petinggi Partai Pheu Thai. Jenderal Prayut Chan-o-cha, pemimpin militer saat itu, melakukan kudeta. Yingluck diadili dengan dakwaan korupsi, tapi dia mengikuti jejak kakaknya, Thaksin Shinawatra, mengasingkan diri ke luar negeri pada 2017. Thaksin kini banyak berada di Dubai, Uni Emirat Arab, sementara Yingluck dilaporkan mendapat kewarganegaraan Serbia.

Kudeta itu memicu protes anti-junta dan penangkapan. Sejumlah aktivis memilih eksil ke negara tetangga, seperti Laos, Vietnam, Kamboja, dan Malaysia. Wanchalerm mengasingkan diri ke Phnom Penh. Pemerintah Thailand mengeluarkan perintah penangkapan terhadapnya karena ia tidak memenuhi panggilan pengadilan dalam kasus penghinaan kerajaan (lesse majeste).

Sejak kudeta itu, otoritas Thailand secara agresif mengejar para aktivis prodemokrasi yang mengungsi ke negara-negara tetangga. Pemerintah telah berulang kali menuntut agar Laos, Vietnam, dan Kamboja menyerahkan para aktivis tersebut.

Menurut organisasi Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand, setidaknya 104 pendukung Thaksin dan pengkritik junta militer telah melarikan diri. Sebagian dari mereka menghilang tanpa ketahuan nasibnya. HRW mengidentifikasi tiga orang yang hilang di Laos, yaitu Itthipol Sukpaen, Wuthipong Kachathamakul, dan Surachai Danwattananusorn, yang ditemukan tewas di Sungai Mekong.

Pada Juni 2018, Thailand mengeluarkan surat perintah penangkapan lagi terhadap Wanchalerm atas tuduhan melanggar Undang-Undang Kejahatan Terkait dengan Komputer karena mengelola laman Facebook “Saya pasti akan menerima 100 juta dari Thaksin”, yang materinya berupa kritik terhadap pemerintah Thailand. Saat itu, polisi senior Thailand berjanji membawa Wanchalerm pulang dengan berbagai cara.

Menurut HRW, dalam enam tahun terakhir, Kamboja dan Thailand telah bekerja sama erat untuk mengganggu, menangkap secara sewenang-wenang, dan secara paksa memulangkan para pelarian. Wanchalerm sebelumnya mengaku sesekali diawasi oleh pejabat Thailand di Kamboja. Di tengah upaya pemerintah Thailand memulangkannya itulah penculikan terjadi.

Menghilangnya Wanchalerm dan sejumlah aktivis anti-pemerintah Thailand lain juga menimbulkan protes di dalam negeri, termasuk demonstrasi ke Kedutaan Besar Kamboja di Bangkok. Komisi Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan akan segera meminta keterangan dari Kementerian Luar Negeri soal tindakan pemerintah dalam kasus ini.

Direktur Eksekutif Forum Asia Shamini Darshni Kaliemuthu menyatakan upaya penghilangan aktivis seperti yang menimpa Wanchalerm itulah yang ditentang para pembela hak asasi di kawasan ini. Ichal Supriadi, Sekretaris Jenderal Jaringan Demokrasi Asia, menambahkan, “Jika Thailand ingin membangun kepercayaan publik, mereka harus berkomitmen untuk memastikan kembalinya Wanchalerm dengan aman dan para pembela hak asasi lainnya yang hilang.”

ABDUL MANAN (BANGKOK POST, VOA KHMER, KAOSOD)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus