Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Benarkah Obat dari Tanaman Herbal Halmahera Mampu Menghambat Virus Covid-19?

Senyawa aktif buah golobe serta daun pangi dan bintang laut merah. Berpotensi menghambat pertumbuhan virus corona.

20 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Senyawa aktif yang dikandung dalam buah khas dari Halmahera yang bernama golobe diklaim penemunya mampu menghambat virus HIV hingga 94 persen dan lebih baik dari obat antiretroviral lamivudine.

  • Peneliti Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makariwo Halmahera berhasil menemukan senyawa aktif di dalam bintang laut merah yang berpotensi menghambat pertumbuhan virus SARS-CoV-2 yang memicu pandemi Covid-19.

  • Tiga suplemen obat temuan Arend Laurance Mapanawang dari STIKESMAH di Toledo, Halmahera Utara, Maluku Utara itu termasuk dalam penerima dana Riset Inovatif Produktif dalam program Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19.

AREND Laurence Mapanawang tersenyum tipis saat membaca salinan surat Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM). Melalui surat itu, AIPI memohon pendapat dan saran Badan POM mengenai klaim Arend yang menemukan senyawa-senyawa aktif dari tumbuhan herbal dan biota laut yang berpotensi menghambat pertumbuhan virus pemicu Coronavirus Disease 2019. “Saya senang jika penelitian saya diusulkan sebagai suplemen obat penghambat virus Covid-19,” kata Arend pada Ahad, 14 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua pekan sebelumnya, Arend, yang merupakan pendiri dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makariwo Halmahera di Toledo, Halmahera Utara, Maluku Utara, mendatangi kantor AIPI di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Kepada sejumlah anggota AIPI dari lintas komisi, Arend mempresentasikan temuannya berupa senyawa aktif 2-piperidinone dari Protoreaster nodosus—bintang laut merah yang banyak hidup di perairan pesisir Halmahera. “Kandungan  piperidinone di bintang laut merah mencapai 27,24 persen, paling tinggi dari senyawa lain,” ujar peraih gelar doktor bidang farmakologi molekuler dan kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 2015 itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senyawa organik piperidinone, Arend menjelaskan, sudah digunakan oleh perusahaan farmasi dan bahan kimia sebagai bahan awal obat karena memiliki sifat farmakologis beragam, seperti antikejang, antimikroba, antijamur, antimikrobakteri, antivirus, dan antikanker. Arend pun menyitir hasil riset Anushka C. Galasiti Kankanamalage dari Wichita State University, Amerika Serikat, tentang potensi piperidinone dalam menghambat virus sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) yang dipublikasikan di European Journal of Medical Chemistry pada 2018.

Arend mengatakan virus MERS satu keluarga dengan virus penyebab Covid-19, sama-sama virus corona. Itu sebabnya ia mengusulkan piperidinone sebagai obat penghambat virus SARS-CoV-2. Usul Arend itu disambut Toeti Heraty Noerhadi Roosseno, Anggota Kehormatan AIPI, yang mengikuti pemaparan Arend. Toeti menyatakan mendukung peneliti Indonesia yang mengkaji masalah pandemi Covid-19. “Riset Arend mengembangkan suplemen obat untuk orang sakit. Sedangkan vaksin diberikan ke orang sehat agar tak tertular virus, tapi berapa juta orang yang harus divaksinasi?” tutur guru besar luar biasa filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu.

dr Arend Laurence Mapanawang menunjukan bintang laut di perairan pesisir Halmahera, Maluku Utara./Dokumentasi Pribadi

Menurut Toeti, obat yang hendak dikembangkan Arend berbasis biota laut dan tanaman herbal yang tergolong keanekaragaman hayati. Indonesia, kata dia, unggul dalam keanekaragaman hayati, termasuk obat tradisional dan herbal, tapi tenggelam oleh pabrik farmasi. “Penelitian Arend mesti dipromosikan, tapi tak boleh gegabah. Harus disahkan oleh yang berwenang. Maka AIPI menghubungi Badan POM untuk menanyakan benarkah senyawa itu berpotensi menghambat virus Covid-19,” ucap pemilik Biro Oktroi Roosseno, firma hukum pertama Indonesia yang menangani hak atas kekayaan intelektual sejak 1951, itu.

Sebelum meneliti suplemen obat yang mengandung senyawa dari bintang laut merah itu, Arend mengembangkan suplemen obat berbasis daun pangi (Pangium edule Reinw.)—di daerah lain dikenal dengan nama keluak atau kepayang—dan buah golobe Halmahera (Hornstedtia alliacea). Ketiga suplemen obat berbentuk simplisia yang dikemas dalam kapsul dan telah diproduksi oleh PT Halmahera Mandiri Sejati itu masuk daftar penerima dana Riset Inovatif Produktif dalam program Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 yang diluncurkan Kementerian Riset dan Teknologi-Badan Riset dan Inovasi Nasional pada 20 Mei lalu.

Suplemen bermerek dagang Herbalove berbasis buah golobe yang dinamai Golarend, Arend menjelaskan, merupakan obat penghambat virus imunodefisiensi  manusia (HIV) layaknya obat antiretroviral lamivudine. Arend mengatakan antioksidan dalam buah golobe, berdasarkan konsentrasi IC50, diketahui mencapai 6,54 nanogram per milimeter. “Jadi masuk kategori sangat tinggi dan sangat baik sebagai penghambat virus RNA seperti hepatitis, influenza, coronavirus, dan HIV,” ujarnya.

Menurut Arend, mekanisme Herbalove Golarend sebagai anti-HIV terbagi dalam dua jalur. Yang pertama sebagai penghambat virus melalui senyawa hydroxymethyl dan diacetylpyridine. Yang kedua sebagai anti-peradangan melalui senyawa yang dominan alpha humulene. “Sementara obat antiretroviral seperti lamivudine mekanisme kerjanya hanya jalur antivirus dengan senyawa utama piperidinone,” kata Arend.

Arend menyebutkan Herbalove Golarend juga tidak memberikan efek samping bagi tubuh lantaran antioksidan non-enzimatiknya mencapai 800 bagian per sejuta. “Saat diujikan pada HIV, daya hambat virusnya mencapai 94 persen dan mampu menghapus virus dari 8 juta virus menjadi sekitar 8.000 virus,” ucapnya.

Ia menyodorkan bukti bahwa Herbalove sudah mengobati puluhan pasien HIV/AIDS di Tobelo. “Sejumlah pasien mengalami perubahan kesehatan yang signifikan. Misalnya berat badannya kembali normal menjadi 64 kilogram dari sebelumnya cuma 38 kilogram,” tuturnya.

 


 

“Kandungan piperidinone di bintang laut merah mencapai 27,24 persen, paling tinggi dari senyawa lain,”

 


 

Arend mengatakan hasil riset senyawa aktif pada puluhan jenis tanaman herbal selama lima tahun ini telah dipublikasikan di banyak jurnal, seperti International Journal of Health Medicine and Current Research dan International Journal of Pharmacy Review & Research. Uji perbandingan senyawa dan uji praklinis pun, dia melanjutkan, dilakukan di sepuluh laboratorium. Di antaranya di laboratorium Pusat Penelitian Nanoteknologi dan Rekayasa Inovatif Universitas Pattimura, Fakultas Farmasi UGM, PT Sucofindo; dan Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Menurut Arend, masuknya penelitiannya dalam Konsorsium Riset dan Inovasi menunjukkan pemerintah menganggap inovasi obat herbal patut dikembangkan.

Danang Ardiyanto, peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, mengaku tahu temuan Arend dari berita media online. “Saya belum membaca hasil penelitiannya di publikasi ilmiah atau jurnal,” kata Danang menjawab surat elektronik Tempo, Rabu, 17 Juni lalu. Menurut dia, untuk menjadi obat penghambat HIV, sebuah hasil riset membutuhkan proses panjang, dari standardisasi bahan baku, standardisasi ekstrak atau senyawa aktif, uji praklinis pada hewan laboratorium, hingga uji klinis pada manusia.

Menurut Danang, hingga kini belum cukup bukti ilmiah yang mendukung penggunaan obat herbal untuk mengatasi HIV ataupun meredakan infeksi. “Penggunaan herbal untuk HIV sejauh ini hanya sebatas buat meningkatkan kesehatan tubuh secara menyeluruh atau meningkatkan kualitas hidup,” ucapnya. Ia pun ragu terhadap klaim Arend bahwa Herbalove Golarend mampu menghambat pertumbuhan berbagai virus, seperti HIV dan SARS-CoV-2. “Virus banyak sekali variasinya. Beda virus beda sifatnya. Jangankan beda virus, virus yang sama, misalnya virus corona, memiliki banyak strain karena sifat virus yang mudah bermutasi,” ujar Danang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Budhy Nurgianto dari Halmahera berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus