Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perdamaian lewat tokyo?

Pm muangthai chatichai choonhavan berkunjung ke jepang. chatichai mengusulkan kepada pm jepang toshiki kaifu agar pemerintah jepang mengatur pertemuan antara pangeran sihanouk & hun sen di tokyo.

21 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada angin tak ada hujan, tiba-tiba PM Muangthai Chatichai, dalam kunjungan ke Jepang dua pekan lalu, mendemonstrasikan jurus baru pemecahan Kamboja. Persisnya, dalam pertemuan dengan PM Jepang Toshiki Kaifu Sabtu 7 April, Chatichai mengusulkan kepada PM Kaifu agar Pemerintah Jepang mengatur pertemuan antara Pangeran Shianouk dan PM Hun Sen di Tokyo. Itulah usul baru Chatichai untuk mendamaikan faksi-faksi yang bertempur di Kamboja. Jurus Chatichai tak cuma itu. Dua hari kemudian, dalam konperensi pers Senin pekan lalu, Chatichai mengimbau agar secepatnya Jepang membuka lagi bantuan ekonomi buat Vietnam. Ini agak mengejutkan khalayak Jepang. Soalnya, sebelumnya Pemerintah Muangthai selalu mengatakan bahwa bantuan bagi Vietnam hanya layak diberikan setelah ada penyelesaian masalah Kamboja. "Kinilah saatnya memberikan kembali bantuan ekonomi di bidang pertanian dan industri-industri berskala kecil, untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat Vietnam," kata Chatichai. Sejak akhir 1978, ketika Vietnam mulai invasi ke Kamboja, Pemerintah Jepang memang menghentikan bantuan ekonominya kepada Vietnam. Kecuali bantuan kemanusiaan, antara lain bantuan buat korban bencana alam bernilai US$ 760 ribu, dan bantuan obat-obatan kepada rumah sakit 260 juta yen. Yang menarik, Jepang tak langsung menjawab "ya" atau "tidak". Menurut seorang pejabat di Departemen Luar Negeri, ide Chatichai diterima sebagai usul yang baik. Tapi untuk segera bertindak, tampaknya Jepang sungkan dengan negara-negara ASEAN yang lain, yang selama ini terlibat usaha pemecahan masalah Kamboja. "Pokoknya, Jepang tak bisa maju sendiri untuk mewujudkan pertemuan tersebut," kata pejabat itu. "Perlu persetujuan Pangeran Sihanouk maupun PM Hun Sen sendiri, begitu pula pendapat negara-negara lain, setidaknya negara-negara ASEAN, RRC, AS, dan Prancis. Kini, pihak Departemen Luar Negeri Jepang sedang memikirkan caranya," tambah pejabat itu kepada TEMPO di Tokyo. Tokyo, menurut pejabat itu pula, rupanya juga ingin mendapat "nama" dengan menyelenggarakan pertemuan Sihanouk-Hun Sen. Asalkan, itu tadi, ada persetujuan negara-negara lain. Lain soalnya dengan imbauan bantuan ekonomi. Sejauh ini, Pemerintah Jepang tetap mau mempertahankan kebijaksanaan lama, yakni tak akan mengirimkan bantuan ekonomi sebelum perdamaian terwujud. Sebelum sebuah pemerintahan demokratik, lewat pemilihan atau lewat cara lain, berdiri di Kamboja. Tapi, tampaknya, Pemerintah Jepang cukup besar rasa sungkannya terhadap negara-negara ASEAN yang lain. Seorang pengamat politik yang tak mau dikutip namanya tak melihat, "betapa tak enaknya Pemerintah Indonesia dengan cara PM Chatichai tersebut." Sang pengamat ini menduga, Muangthai ingin berada di depan di antara ASEAN dalam hal penyelesaian masalah Kamboja. Sedangkan soal usulan bantuan ekonomi kepada Vietnam, itu tampak erat berkaitan dengan gagasan PM Chatichai yang mau menjadikan kawasan Indocina dari "medan perang" menjadi "medan dagang". Tujuannya, agar terbentuk suatu kawasan ekonomibersama di Indocina. Dan arah perkembangan itu tak sulit ditebak: keuntungan buat Muangthai. Sebelum ini, Jepang menyerahkan sepenuhnya masalah Kamboja kepada negara-negara ASEAN. Dengan kata lain, selama ini Jepang berdiri di belakang. Adakah kini Toshiki Kaifu, yang tak lama lagi akan berkeliling ASEAN, mengubah sikap? Adakah perjalanannya nanti, yang di minggu pertama Mei akan tiba di Jakarta, memang antara lain akan memintakan izin Pertemuan Tokyo tentang Kamboja, misalnya? Yang jelas, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas menyatakan belum menerima laporan resmi tentang usul Chatichai kepada Perdana Menteri Jepang Toshiki Kaifu. "Bisa jadi itu masih merupakan ulasan pers," kata Alatas kepada wartawan TEMPO Liston Siregar, akhir pekan lalu. Namun, tentang aktivitas Muangthai, Alatas mengatakan, "Itu wajar karena Muangthai punya kepentingan langsung dengan penyelesaian Kamboja." Dan hal itu dipandang baik-baik saja karena bisa "merupakan usaha tambahan" buat penyelesaian Kamboja. Yang jelas, kata Alatas, "aktifnya Muangthai sudah kita setujui karena negara itu letaknya dekat dengan Kamboja." Apa pun komentar di luar kedua pihak, usulan Chatichai maupun tanggapan Jepang sedikit mengubah suasana sekitar upaya mencari jalan damai buat Kamboja, sementara perang masih terus berlangsung. Kabar terakhir yang dipantau dari Bangkok menceritakan, kota-kota kecil di kawasan Kamboja bagian barat mulai berjatuhan ke tangan pihak Khmer Merah dan kelompok Son Sann. Ini, kata radio Khmer Merah, berkat bantuan persenjataan yang baru datang dari Cina. Sebaliknya, beberapa kota besar, termasuk Batambang, justru mulai dikuasai sepenuhnya oleh tentara Hun Sen. Tampaknya, menjelang musim kemarau, perang akan surut karena keadaan tak menguntungkan bagi pihak gerilyawan. Biasanya, di musim kemarau, pihak gerilyawan bersembunyi dan menahan diri untuk menyerang. Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus