MELEWATI gerbang penjara Cipinang yang terbuka, A.M. Fatwa tersenyum lebar. Meski rambutnya sudah beruban, badannya masih tegap. Sambil menjinjing tas kulit, antara lain berisi obat hepatitis, ia menyelinap ke Toyota Corolla yang menunggunya. Itulah menit pertama ''pelepasan'' bekas staf pribadi Ali Sadikin ini ke luar penjara. Andi Mappetahang Fatwa, terhukum 18 tahun kasus subversi Lembaran Putih Tanjungpriok, mulai Kamis siang pekan lalu memperoleh ''cuti'', bekerja di luar kantor, setelah melewati separuh masa hukuman. Bekas pejabat Pemda DKI yang tak gemar membaca ini kini ngantor di penerbit PT Pustaka Antara, sebagai konsultan. Tiap pagi, sebelum pukul delapan, Fatwa masih dalam seragam biru narapidana dijemput sopir Pustaka. Sebelum pukul lima, ia harus dikembalikan ke Cipinang. Bagi Fatwa, memang tak ada pantangan yang ketat. Ia cuma dilarang keluyuran dan tak boleh berbicara dengan wartawan. Begitulah hari-hari yang bakal dilewatkan bekas Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 ini, sampai masa hukumannya selesai.Penantian Fatwa, kini 53 tahun, tampaknya tak akan sepanjang sisa hukumannya. Asimilasi ini, menurut sumber TEMPO, hanya langkah awal beroleh cuti yang lebih longgar: pembebasan bersyarat. Dan permohonan untuk itu kini sedang diproses. Jika tak ada aral, empat bulan lagi sudah cukup untuk memperoleh pembebasan. Bisa jadi, imbalan bebas bersyarat tak akan sulit buat Fatwa. Sejak beberapa tahun silam, kata sumber TEMPO, ia rajin menjalin korespondensi dengan beberapa pejabat Pemerintah. Di antaranya, ia memuji sukses Pemerintah mengegolkan UU Peradilan Agama dan meningkatkan jumlah jemaah haji. Ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri dua tahun lalu, bekas aktivis HMI ini mengirimkan telegram dukungan kepada Habibie. Bahkan, ia sudah mengirimkan aplikasi keanggotaan. Kendati ''lamaran''-nya belum disambut, sikap ini bukan tak mungkin bakal mempercantik rapornya. Kalau itu terjadi, Fatwa mungkin menjadi pembuka pintu penjara pertama bagi terpidana politik lainnya. Antrean berikutnya adalah H.M. Sanusi, bekas Menteri Pertekstilan dan Kerajinan Rakyat. Ia divonis 19 tahun karena, menurut pengadilan, dianggap terlibat dalam peledakan kantor BCA di Jakarta sembilan tahun lalu. Kakek 71 tahun ini akan bekerja di Optic Kasoem. ''Izin asimilasinya sudah masuk tahap akhir,'' kata sumber TEMPO. Penanda tangan Petisi 50 ini, dikabarkan, sudah mendapatkan lampu hijau beroleh amnesti. Berikutnya adalah Abdul Qadir Djaelani, bekas dosen Pendidikan Tinggi Dakwah Islam, Jakarta. Mubalig yang ceramahnya sering dianggap menggebu-gebu itu dihukum 18 tahun. Ia dituduh terlibat dalam pengeboman BCA. Kini, Djaelani tinggal menunggu pembebasan bersyarat. Yang juga menunggu adalah Tashrif Tuasikal, tertuduh pelaku utama pengeboman BCA.Peringanan hukuman ini bisa ditafsirkan sagai ''rekonsiliasi politik''? Menteri Kehakiman Oetojo Oesman membantah. Izin asimilasi Fatwa, katanya, diberikan karena masa hukumannya sudah jatuhtempo. ''Tak ada yang istimewa,'' ujarnya. Tentang amnesti untuk Sanusi? ''Itu hak prerogatif presiden,'' katanya.Dwi Setyo Irwanto dan Andi Reza (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini