Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa peringatan pembantaian terhadap etnis minoritas Rohingya oleh tentara Myanmar telah memasuki tahun ketiga. Kejadian pada 2017 tersebut telah mendorong eksodus massal warga etnis Rohingya ke Bangladesh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati sudah tiga tahun berlalu, prospek bagi hampir satu juta pengungsi etnis Rohingya itu tampaknya masih suram. Mereka tinggal di tenda-tenda bambu dan plastik di kamp-kamp pengungsian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah etnis Rohingya menunggu di ruangan setelah menjalani pemeriksaan kesehatan dan identifikasi di tempat penampungan sementara di bekas kantor Imigrasi Punteuet, Blang Mangat, Lhokseumawe, Aceh, Jumat 26 Juni 2020. Hasil identifikasi dan pemeriksaan tes diagnosa cepat (rapid test) COVID-19 menyatakan sebanyak 99 orang etnis Rohingya dinyatakan non reaktif. ANTARA FOTO/Rahmad
Upaya untuk melakukan repatriasi atau pemulangan para pengungsi itu sudah dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada 2018 dan 2019. Namun dua-duanya gagal karena para pengungsi menolak pulang ke Myanmar. Mereka masih waswas bakal kembali meletup tindak kekerasan terhadap mereka.
Dalam upaya mengubah nasib ke yang lebih baik, beberapa pengungsi ada yang memilih jalan menyelundup menggunakan perahu ke kawasan Asia Tenggara. Dalam beberapa tahun terakhir, puluhan orang tewas dalam upaya mereka mengadu nasib itu karena kapal reyot mereka yang penuh sesak terbalik di tengah laut atau kekurangan bahan makan selama dalam perjalanan.
Mereka yang ingin menyelinap ilegal akan semakin susah karena negara-negara seperti Malaysia sudah menutup pintu-pintu perbatasan mereka. Malaysia juga mengancam akan memutar balik perahu-perahu pembawa imigran ilegal etnis Rohingya, balik lagi. Malaysia beralasan ingin melindungi lapangan kerja dan SDM mereka di tengah lockdown virus corona.
“Saya hanya berdoa dan berharap agar suatu hari keluarga saya akan menetap di negara Barat”, kata Mohammed Nur, yang tinggal di kamp pengungsi di distrik Cox’s Bazar, Bangladesh, yang bertetangga dengan Myanmar.
Beberapa pengungsi etnis Rohingya bergantung pada harapan opsi ketiga, yakni ditempatkan ke sebuah negara maju. Nur, masuk dalam daftar segelintir pengungsi Rohingya dalam program ini.
Sayang, Bangladesh yang selama berpuluh tahun membuka pintu bagi pengungsi etnis Rohingya, memutuskan mengakhiri program ini pada 2019. Keputusan itu diambil di tengah kekhawatiran Bangladesh bakal menjadi penghubung bagi para pengungsi yang ingin pindah ke negara-negara Barat.
“Umur saya sekarang 29 tahun, tetapi saya memutuskan belum menikah karena saya tidak ingin menambah jumlah keluarga,” kata Nur.
Keberlangsungan program penempatan para pengungsi Rohingya ke negara-negara Barat sepenuhnya bergantung pada Bangladesh. Komisi Bangladesh untuk pengungsi mengatakan fokus pihaknya adalah repatriasi, namun pihaknya siap bekerja sama menempatkan para pengungsi itu ke negara-negara lain jika pemerintahannya memutuskan melanjutkan program itu.
“Jika keputusan diambil pemerintah, kami siap melaksanakannya”, kata Mahbub Alam Talukder dari Komisi Bangladesh untuk pengungsi Rohingya.
Kementerian Luar Negeri Bangladesh dan Kementerian Dalam Negeri belum mau berkomentar soal ini.
Terhitung sejak 2006 - 2010, program penempatan pengungsi Rohingya ke negara maju telah mengirimkan sekitar 920 warga etnis Rohingya ke negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat.
FARID NURHAKIM | REUTERS