Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan pemerintah soal aborsi mengundang pro dan kontra, termasuk di kalangan lembaga negara. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 itu memiliki banyak kelemahan yang bisa diselewengkan pihak yang tak bertanggung jawab. Sekretaris KPAI Erlinda menjelaskan sikap lembaganya kepada Febriyan, Yuliawati, dan fotografer Aditia Noviansyah dari Tempo dalam sebuah wawancara, Jumat pekan lalu.
Bagaimana sikap KPAI soal peraturan aborsi ini?
Kami menolak aborsi dengan alasan apa pun. Sejak dalam kandungan, hak-hak anak tidak boleh dilanggar. Anak dari hasil perbuatan apa pun memiliki hak untuk hidup.
Pemerintah hanya membolehkan aborsi dalam kasus darurat medis dan kasus pemerkosaan.…
Aborsi dengan alasan untuk keselamatan nyawa ibu pun harus diatur dengan syarat ketat dan ada konfirmasi dari pihak dokter. Begitu pula kasus pemerkosaan. Aturannya harus dikaji ulang. Dalam mengkaji ulang aturan itu, harus melibatkan banyak pihak, termasuk KPAI.
Memangnya KPAI selama ini tak dilibatkan?
Tidak.
Kalau peraturan ini dikaji ulang, apa yang harus diperbaiki?
Dalam peraturan ini banyak celah yang bisa disalahgunakan. Misalnya soal siapa yang bertanggung jawab menyatakan seseorang diperkosa atau tidak. Ukurannya apa saja sehingga seseorang bisa disebut korban pemerkosaan.
Jadi harus ada aturan yang lebih jelas dan mengikat secara pidana jika ada pihak yang ternyata melakukan kebohongan. Juga harus diatur siapa yang berwenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan aborsi.
Kebohongan seperti apa yang Anda maksudkan?
Ambil contoh bila ada pasangan yang melakukan hubungan di luar nikah hingga hamil. Tapi, karena ego orang tua yang tak mau menikahkan mereka, pasangan itu malah dipaksa melakukan aborsi. Kami tak mau peraturan ini diselewengkan oleh orang tua yang pola pikirnya malu punya anak hamil di luar nikah atau oleh mereka yang terlibat bisnis prostitusi.
Pernah ada kasus seperti itu?
Kami pernah mendampingi seorang anak yang dihamili pacarnya. Tapi orang tua anak itu tak mau menerima kenyataan. Anaknya pun dipaksa melakukan aborsi. Itu dilakukan di rumah sakit besar, bukan rumah sakit kecil atau klinik ilegal. Usia kandungannya sudah lebih dari tiga bulan. Padahal itu sangat berbahaya bagi si "ibu".
Laporan seperti ini banyak diterima KPAI?
Kalau laporan resmi dan tertulis tidak banyak. Tapi laporan melalui telepon atau orang datang untuk curhat ke sini banyak. Menurut data yang kami peroleh dari Yayasan Kita dan Buah Hati saja, anak sekolah menengah pertama yang melakukan hubungan suami-istri mencapai 67 persen. Persoalannya, korban seperti itu kan tidak mau diekspos.
Dalam kasus pemerkosaan, bisa saja sang ibu tak mampu mengasuh anak yang tak dia inginkan. Kalau tak dilakukan aborsi, bagaimana solusinya?
Salah satu solusinya: anak-anak yang lahir dari pemerkosaan itu harus langsung jadi anak negara dan dilindungi negara. Untuk menampung mereka, Kementerian Sosial sudah punya Rumah Perlindungan Trauma Center. Ada juga Rumah Perlindungan Sosial Anak. Itu ada di 28 daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo