Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Profil Myanmar, negara yang terletak paling utara di ASEAN

Profil Myanmar yang merupakan negara kawasan Asia Tenggara yang terletak di utara sebagai anggota ASEAN.

6 Maret 2024 | 11.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Myanmar/Unsplash

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Myanmar terletak di kawasan Asia Tenggara dan termasuk ke dalam negara berkembang. Memiliki beragam etnis, bahasa, dan agama, masyarakat Myanmar menggunakan bahasa persatuan Burmese dan mata uang resmi bernama Kyat Myanmar (MMK). 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikenal sebagai negara dengan letak geografisnya yang strategis, Myanmar telah menjadi anggota ASEAN sejak 23 Juli 1997, sekaligus bertepatan dengan ulang tahun ASEAN yang ke-30. Berikut ini adalah profil Myanmar, mulai dari letak geografis, sejarah, dan sistem pemerintahannya. 

Letak Geografis Myanmar 

Myanmar menjadi negara yang terletak paling utara di ASEAN. Secara geografis, Myanmar berbatasan dengan Bangladesh dan India di barat laut, Cina di timur laut, Laos dan Thailand di timur dan tenggara, serta Laut Andaman dan Teluk Benggala di selatan dan barat daya. Saat ini jumlah penduduk di Myanmar mencapai 55,8 juta jiwa dengan ibu kota negara yang berada di Nay Pyi Taw. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Letaknya yang berbatasan langsung dengan 5 negara berbeda membuat Myanmar memiliki wilayah yang strategis. Luas wilayah Myanmar sebesar 676.576 km2, lebih luas dari Pulau Kalimantan (539.460 km2). 

Sejarah Negara Myanmar 

Myanmar memiliki sejarah yang panjang untuk mencapai kemerdekaannya. Bahkan, sebelumnya negara ini tidak disebut sebagai Myanmar, melainkan Burma. 

Mengutip dari jurnal Promedia (Public Relation dan Media Komunikasi), Sejarah Myanmar dahulu bernama Burma dimulai dari peradaban di lembah Irawaddy Burma yang berusia sekitar 3.500 tahun. Di masa itu, para penduduk di Burma bercocok tanam dan beternak. Hingga pada abad keempat, Burma mulai mengadopsi pola Buddha Theravada dari India Selatan. Hal ini berdampak hingga saat ini, di mana 90% penduduk di Myanmar menganut ajaran Buddha. 

Pada abad ke sembilan, penduduk Burma yang disebut sebagai kaum Bamar mendirikan kerajaan Pagan, yang kemudian mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Raja Anawrahta. Rakyat di masa ini berhasil membangun ribuan pagoda, biara, perpustakaan, sekolahan, sampai infrastruktur seperti mengolah sumber daya air yang dimanfaatkan untuk pertanian.

Sayangnya, kerajaan Pagan harus mengalami masa keruntuhannya karena tidak dapat mengolah sumber daya yang ada. Selain itu, pergantian pemimpin membuat pemerintahan menjadi tidak stabil. Hingga di abad ke-16, Burma disatukan kembali oleh Bayinnaung, seorang raja yang berjasa besar untuk mempersatukan Burma, Thailand, dan Laos. 

Di abad ke-18, Burma harus mengalami penjajahan yang dilakukan oleh Inggris. Perlawanan yang dilakukan oleh kaum Bamar harus menelan kenyataan pahit sebab Inggris menghancurkan seluruh desa di Burma. Pada Perang Dunia II, di tahun 1939 Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Inggris di Burma. Peristiwa ini tidak lepas dari peran Aung San, seorang pemuda asal Burma yang mendapatkan pelatihan militer Jepang dari Kolonel Suzuki. 

Di tahun 1941, dibentuk Burma Independence Army (BIA) di Thailand yang mendukung kekuatan militer Jepang di Burma. Mulanya, BIA diterima dengan baik oleh kaum Bamar, hingga akhirnya mereka sadar bahwa ini hanyalah taktik Jepang untuk kembali menjajah Burma. Pemberontakkan pun terjadi, hingga akhirnya Jepang membubarkan BIA untuk mencegah munculnya gerakan anti-Jepang. 

Kemudian di tahun 1960, diadakan pemilu sebab Jenderal Ne Win bergerak untuk menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa pada saat itu, yakni Perdana menteri U Nu. Pemilu dilakukan dengan tujuan untuk menegakkan demokrasi, yakni mengembalikan kekuasaan pemerintahan ke pihak sipil. Pesta demokrasi tersebut dimenangkan oleh U Nu, sehingga perebutan kekuasaan antara politisi dan militer pun kembali terjadi. 

Pada akhirnya, Perdana Menteri U Nu berhasil digulingkan dan membuat Burma memiliki sistem pemerintahan yang militeristik. Sayangnya, rezi militer ini gagal dalam memimpin Burma hingga membuat rakyat kecewa dan memberontak. Tingkat kriminalitas pun meningkat, sebab pemerintah gagal untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi rakyatnya. Di bulan Juli 1988, Ne Win mengumumkan pengunduran dirinya dan digantikan oleh Jenderal Sein Lwin. Pergantian tokoh presiden ini tidak dapat memuaskan rakyat Burma, sehingga perlawanan tetap terjadi di mana-mana. Kudeta dan pelanggaran HAM berat kembali terjadi meskipun Presiden sudah berulang kali berganti. 

Setelah masa pemerintahan Sein Lwin berhasil digulingkan, posisi pemimpin nomor satu di negara itu digantikan oleh Dr. Maung Maung, yang kemudian sebulan kemudian kembali terjadi kudeta, dan digantikan oleh Jenderal Saw Maung. Saw Maung mendirikan pemerintahan baru yaitu State Law and Order Restoration Committee (SLORC), dan mengganti nama Burma menjadi Myanmar. 

Sepanjang tahun 1990-an gencatan senjata antara pemerintah dan pemberontak telah terjadi berulang kali di Myanmar hingga menewaskan jutaan warga sipil. Sejak kemerdekaannya di tahun 1948, sistem pemerintahan Myanmar masih jatuh ke tangan junta militer. 

Sistem Pemerintahan Myanmar 

Negara yang terletak di ujung utara ASEAN ini menganut sistem pemerintahan presidensial. Presidensial adalah sistem pemerintahan di mana kepala negara berperan sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Namun menurut sejarahnya pemerintahan di Myanmar selalu mengalami kudeta. 

Sebelumnya, pejabat presiden di Myanmar dalam melaksanakan tugasnya akan dibantu oleh dua wakil presiden. Peraturan ini kemudian diubah pada tahun 2016, presiden membentuk jabatan Kanselir Negara yang setara dengan Perdana Menteri. 

Tamara Pramesti Adha Cahyani

Dini Diah

Dini Diah

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus