Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keheningan pecah di ruang sidang International Convention Center, Durban, Afrika Selatan, pekan lalu. Hujan interupsi mewarnai persidangan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-17 itu. Suasana memanas, berlawanan dengan suhu Durban di musim dingin yang sejuk.
Persidangan kian panas ketika memasuki perundingan ihwal masa depan Protokol Kyoto. Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat beserta sekutunya dan negara-negara berkembang tak terelakkan. Negara berkembang dipelopori Brasil, Afrika Selatan, India, dan Cina, yang terkenal dengan kelompok BASIC. "Rapat untuk materi yang alot berlangsung dari siang sampai pukul tiga dinihari," kata koordinator juru runding delegasi Indonesia, Tazwin Hanif, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Menurut Tazwin, perundingan berlangsung alot karena finalisasi keputusan tidak diambil dengan suara terbanyak, melainkan melalui konsensus dari 194 negara peserta. Saking panasnya, kata dia, panitia tak mengizinkan peninjau dari lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan masuk ke persidangan pada Selasa pekan lalu. Mereka hanya bisa memantau dari luar gedung. "Padahal, pada hari sebelumnya, semua peninjau dibebaskan memasuki lokasi sidang," kata Sri Ranti dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang ikut dalam konferensi.
Protokol Kyoto merupakan hasil kesepakatan konferensi di Kyoto, Jepang, pada 1997. Protokol itu mewajibkan negara maju, yang disebut Annex I, menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 5,2 persen dari level yang ada pada 1990. Harapannya, suhu bumi tidak naik lebih dari 2 derajat Celsius. Hanya Amerika dan Kazakstan yang tidak meratifikasinya.
Masa berlaku Protokol Kyoto akan habis pada 2012. Negara berkembang mengusulkan pembuatan komitmen kedua dalam Protokol Kyoto untuk melanjutkan berbagai usaha demi kelestarian bumi hingga 2020. Namun Amerika dan sejumlah negara maju berkukuh membentuk kesepakatan baru dengan meninggalkan Protokol Kyoto pada 2013. Alasannya, Protokol Kyoto sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Emisi meningkat hingga 46 persen dibanding pada 1990. Amerika dan Australia serta Cina, sebagai negara industri baru, memancarkan emisi karbon dioksida (CO2) per kapita hampir tiga kali lipat.
Negara maju menganggap Protokol Kyoto memberatkan. Amerika memilih tidak meratifikasi aturan itu dan Kanada berniat mencabut keikutsertaannya. Jepang, Australia, dan Rusia juga sepakat tidak melanjutkan Protokol Kyoto pada putaran kedua. "Mereka merasa tanpa keterlibatan negara berkembang tidak akan efektif. Toh, separuh emisi dunia juga disumbang negara berkembang, seperti Cina," kata Tazwin.
Ia mengatakan negara maju menuding negara berkembang telah menyumbang emisi hampir setara dengan emisi negara maju. Cina, misalnya, kini menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dengan 7,03 persen, sedangkan India menyumbang 1,74 persen. Negara maju, tutur Tazwin, menggunakan alasan ini untuk mendesak negara berkembang ikut memangkas emisi agar beban negara maju berkurang.
Keuangan dan bisnis menjadi hal utama di balik penentangan terhadap Protokol Kyoto tahap kedua. Negara maju akan terbebani dengan komitmen lanjutan itu. Kolapsnya Protokol Kyoto dapat menyulut perang dagang yang akan menghantam Eropa, yang sedang berjuang mengatasi krisis, dan memperburuk kemiskinan global.
Bekas Duta Besar Australia untuk Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT), Alan Oxley, mengatakan target yang mengikat ini juga akan menimbulkan pembalasan melalui perdagangan global. Tanda-tanda awal sudah terlihat, di antaranya pembatasan impor. "Akan muncul sanksi perdagangan karena beberapa negara masih ingin menerapkan langkah-langkah domestik mahal untuk mengurangi emisi," kata dia.
Ia mengatakan, mengurangi pertumbuhan ekonomi untuk membayar biaya pengurangan emisi adalah strategi pemiskinan. Selain itu, negara maju harus menyiapkan dana bantuan yang tak sedikit untuk perubahan iklim. Komitmen bantuan hingga 2012 mencapai US$ 30 miliar atau setara dengan Rp 270 triliun. Sedangkan komitmen bantuan hingga 2020 mencapai US$ 100 miliar (sekitar Rp 900 triliun). Bantuan ini untuk program adaptasi dan mitigasi bagi negara miskin yang mungkin terkena dampak perubahan iklim.
Amerika mendapat tekanan politik dari dalam negerinya agar menolak rencana negara berkembang itu. Juru runding Amerika, Todd Stern, mengatakan negaranya tak sepakat melanjutkan Protokol Kyoto. Amerika lebih memilih melanjutkan Kesepakatan Cancun, yang lebih fleksibel karena tak secara langsung memberikan komitmen tegas kepada negara maju. "Tujuan akhirnya adalah mengambil tindakan untuk mengurangi emisi," kata Stern.
Negara maju berupaya melobi negara berkembang untuk tak melanjutkan Protokol Kyoto. Mereka juga mulai merangkul negara-negara kecil untuk mendukung rencananya. "Sejumlah negara kecil, seperti Bahama, Jamaika, dan Fiji, telah mendukung rencana pembentukan kesepakatan baru," kata Sri Ranti kepada Tempo.
Adapun lembaga pegiat lingkungan, seperti Climate Justice Network, Friend of the Earth International, Jubile South, dan PACJA, cenderung mendukung putaran kedua protokol itu. "Sedangkan Climate Action Network mendorong dibentuknya treaty baru," tutur Sri.
Kelompok BASIC merapatkan barisan menghadapi serangan negara kaya. Kepala delegasi Cina, Xie Zhenhua, menolak ajakan negara maju. Alasannya, meski Cina menjadi penyumbang emisi terbesar, sekitar 128 juta penduduknya masih berpenghasilan di bawah US$ 1 per hari. "Perbaikan ekonomi masih menjadi perhatian kami." Dalam konferensi tingkat tinggi sebelumnya, Beijing menyatakan siap mengurangi emisi 40-45 persen pada 2020.
Sebagai tuan rumah, Afrika Selatan meminta negara maju melanjutkan Protokol Kyoto. Juru bicara juru runding Afrika Selatan, Seyi Nafo, mengatakan negara maju menjadi penyumbang terbesar polusi yang menyeret negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim. Negara maju harus mengurangi emisi gas rumah kaca setidaknya 40 persen selama periode komitmen kedua pada 2013-2017 dan 95 persen pada 2050. "Itu kontribusi yang adil dan tepat," kata Nafo.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon meminta ada terobosan di tengah perbedaan politik, krisis keuangan, serta prioritas negara kaya dan miskin. "Ini akan sulit jika mengedepankan kepentingan masing-masing. Masa depan planet ini yang menjadi taruhan."
Eko Ari, Sapto Yunus (AP, Guardian, Xinhua, The Australian)
Dari Kyoto hingga Cancun
Desember 1997, Kyoto, Jepang
Protokol Kyoto diterima. Negara maju mengurangi 5,2 persen emisi gas rumah kaca hingga 2012. Pengurangan emisi hingga 2010 sekitar 29 persen. Uni Eropa wajib mengurangi emisi 8 persen, Amerika 7 persen, sedangkan Kanada, Hungaria, Jepang, dan Polandia 6 persen. Kroasia menurunkan 5 persen. Negara berkembang tidak berkewajiban mengurangi emisi.
Desember 2007, Bali, Indonesia
Negara-negara peserta menerima Bali Road Map, yang meliputi rencana aksi Bali, berisi proses baru yang komprehensif untuk menjalankan implementasi Protokol Kyoto hingga 2012. Topik perundingan antara lain adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, pengurangan emisi, pengembangan dan pemanfaatan teknologi hijau, pendanaan untuk mitigasi, serta menyepakati target waktu pelaksanaan pada 2009. Semua negara peserta menyadari perlunya pengurangan emisi global 25-40 persen setelah 2012.
Desember 2009, Kopenhagen, Denmark
Peserta menyepakati pembatasan peningkatan temperatur rata-rata global untuk jangka panjang tak lebih dari 2 derajat Celsius pada 2015. Pembatasan kenaikan suhu hingga di bawah 1,5 derajat. Negara maju mendanai kegiatan adaptasi US$ 30 miliar untuk periode 2010-2012 dan untuk memobilisasi pembiayaan jangka panjang US$ 100 miliar lebih pada 2020.
Desember 2010, Cancun, Meksiko
Kesepakatan Cancun diterima. Isinya: meningkatkan pembiayaan jangka panjang bagi negara berkembang serta mendirikan Dana Iklim Hijau untuk mendukung proyek, program, dan kegiatan di negara berkembang. Soal pendanaan, meneruskan komitmen di Kopenhagen.
Eko Ari (berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo