Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Proyek multi juta dolar kartu identitas elektronik atau e-KTP yang baru menjelang pemilihan di Afganistan telah membangkitkan kembali permusuhan etnis antara Pashtun dan Tajik, serta meningkatkan ketegangan politik di tengah negara ini menghadapi serangan Taliban bertubi-tubi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perselisihan tersebut membahas nama kebangsaan yang akan dicantumkan pada e-KTP. Sejumlah tokoh terkemuka dari beberapa kelompok etnis menolak istilah Afghanistan dicantumkan dalam kolom etnis. Mereka beralasan, Afganistan merujuk pada etnis Pashtun, sementara negara itu terdiri dari beberapa etnis.
Baca: Batas Akhir Pengungsi Afganistan di Pakistan Habis, Nasib Mereka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Ashraf Ghani beretnis Pasthun dan gubernur di provinsi utara beretnis Tajik. Alhasil muncul kontraversi ketegangan antar politisi tentang nama kebangsaan yang harus dicantumkan di KTP mereka.
Politisi dari kelompok etnis utama Afghanistan mendesak negara harus dicatat sebagai Afghanistan. Tapi itu adalah istilah yang dulu digunakan untuk merujuk pada orang-orang Pashtun, dan anggota kelompok etnis lain keberatan dengan penggunaannya.
"Etnisitas kami adalah identitas kami dan kartu identitas dengan nama Afghan di atasnya, tidak akan pernah bisa diterima oleh kami. Tidak ada kompromi, "kata Farhad Sediqi, anggota parlemen Tajik yang vokal.
"Kami lebih memilih untuk memiliki 'Republik Islam Afghanistan' pada kartu identitas dan itu mencakup semuanya," ujarnya.
Baca: Serangan Hotel di Afganistan, 100 Sandera Dibebaskan
Presiden Ashraf Ghani akhirnya menunda peluncuran kartu tersebut dan meminta sebuah solusi.
Tapi kemarahan para anggota parlemen berubah menjadi barbar dan saling ancam.
Seorang anggota parlemen Pashtun, Saheb Khan, memperingatkan majelis tersebut bahwa dia akan siap mempertarukhkan nyawanya untuk melawan siapa pun yang tidak menerima kata Afghanistan di kartu identitas.
"Saya akan mempertahankan setetes darah terakhir saya identitas saya yang Afghanistan dan harus disertakan dalam dokumen tersebut," ujarnya seperti dikutip dari Reuters, 8 Februari 2018.
Anggota parlemen Hazara Mohammad Akbari mengatakan penggunaan kata Afghanistan adalah pemaksaan yang tidak adil terhadap orang-orang non-Pashtun.
"Ini adalah negara kita semua, tidak hanya orang Pashtun," kata Akbari.
Perselisihan tersebut telah memicu beberapa demonstrasi kaum etnis Pashtun di Kabul untuk meminta pemerintah agar tidak tunduk pada tuntutan kelompok lain.
Baca: Taliban Serang Markas Militer Afganistan, 140 Prajurit Tewas
Tidak ada sensus yang telah dilakukan di Afghanistan selama beberapa dekade. Etnis Pashtun adalah mayoritas di Afghanistan dengan populasinya 43 persen, diikuti oleh Tajik sebesar 27 persen, Uzbek 9 persen, Hazara 8 persen, Aimaq 4 persen, Turkmen 3 persen dan etnis 5 persen.
Kisruh ini bermula ketika Presiden Ghani mengeluarkan dekrit tahun lalu mengenai amandemen undang-undang untuk memasukkan kewarganegaraan, etnisitas dan agama ke dalam KTP namun parlemen menolaknya. Berbagai amandemen telah melayang sejak saat itu namun kebuntuan terus berlanjut.
Mantan raja Afghanistan adalah Pashtun, seperti pendahulu Ghani, Hamid Karzai. Tapi etnis Tajik mendapatkan jabatan kuat di pemerintahan, militer dan keamanan setelah penggulingan Taliban Pashtun pada tahun 2001.
Pemerintah yang memerintah saat ini muncul dari kesepakatan pembagian kekuasaan yang diperantarai Amerika Serikat setelah pemilihan 2014 yang diperselisihkan saat Ghani dan saingan utamanya, Abdullah Abdullah, yang mendapat dukungan dari Tajik, mengklaim kemenangan di tengah tuduhan kecurangan di kedua belah pihak.
Situasi ini memunculkan kenangan akan perang saudara pada 1990-an tentang etnis yang menewaskan lebih dari 100.000 orang.
KTP yang dinamai e-Tazkira, dipandang sebagai langkah penting untuk menghindari kecurangan dalam pemilihan parlemen tahun ini, dan pemilihan presiden Afganistan tahun depan.