BENDERA dan panji-panji Front Demokratik Nasional (NDF) berkibar penuh, membuka jalan bagi iring-iringan peti jenazah Rolando Olalia melewati jalan-jalan di Manila, Kamis pekan silam. Enam ratus ribu massa membentuk pawai sepanjang 30 km, ikut mengantar keperglan preslden serikat buruh militan Kilusang Mayo Uno (KMU) dan ketua Partido ng Bayan (PNB) itu. "Hidup Tentara Rakyat Baru (NPA)," teriak para pengantar berulang kali sambil mengacung-acungkan poster bertuliskan menuntut pengunduran diri Menteri Pertahanan Enrile. Olalia, yang tewas terbunuh bersama sopirnya, 13 November lalu, itu telah menjadi martir bagi kelompok-kelompok kiri, terutama kaum komunis (TEMPO, 22 NOvember). Hingga awal pekan ini belum jelas siapa pelaku pembunuhan tersebut. Namun aksi unjuk rasa terbesar sesudah pemakaman Almarhum Benigno Aquino itu jelas ditujukan kepada Enrile. Bagi mereka, Enrile adalah penyebab kematian Olalia. Begitu juga dengan penangkapan bekas ketua partai komunis, Rodolfo Salas, September lalu. Kesemuanya itu merupakan bagian darl rencana kelompok Enrile mengacaukan perundingan perdamaian, kata Satur Ocampo dan Antonio Zumel, anggota perunding kelompok komunis, ketika menghadiri upacara pemakaman Olalia, Kamis pekan silam. Di dalam anggapan mereka berkembang pemikiran bahwa Presiden Aquino sesungguhnya "korban permainan kaum kanan." Seperti sejarah mencatat, Cory naik berkat dukungan rakyat serta ulama. Menghadapi kelompok militer yang juga memberikan dukungan terhadap revolusi damai, Cory dianggap terlalu banyak memberikan "konsesi", sementara di kalangan kaum militer sendiri timbul perpecahan. Di satu pihak muncul kelompok-kelompok yang menghendaki sikap keras melawan agitasi komunis, dan di sisi lain ada kelompok yang menghendaki jalan perundingan. Kelompok aliran keras ini muncul dengan tokoh Juan Ponce Enrile sebagai pemimpinnya. Namun, di balik sikap kerasnya tersembunyi motivasi pribadi Enrile menggugat kebijaksanaan Cory dalam menghadapi komunis. Dengan cara demikian, beberapa pengamat politik beranggapan, Enrile mencoba mencari dukungan massa, terutama untuk melicinkan jalannya menuju Istana Malacanang. Yang pasti, Enrile mendapat cukup jaminan dukungan dari kalangan AFP, terutama dari kelompok perwira muda yang bernaung di bawah payung RAM. Dari jajaran angkatan bersenjata Filipina (AFP), mereka muncul sebagai kelompok perwira cemerlang, andal, dan, menurut beberapa pengamat, "paling berambisi". Kendati bukan pasukan komando, sejak dibentuk Maret 1985 mereka cepat menonjol. Terkenal sebagai RAM (Reform the Armed Forces Movement), kelompok ini -- dengan segala risiko -- menggalang aksi reformasi, sebagai protes terhadap korupsi yang menggerogou tubuh AFP selama Marcos berkuasa. Inti RAM adalah pasukan kawal bekas menteri pertahanan Juan Ponce Enrile, dengan Enrile sebagai pemimpin dan pelindung mereka. Ketika revolusi damai berkibar-kibar Februari silam, RAM melejit sebagai bintang. Namun, citra ini cepat memudar, terutama ketika plot God Save the Queen dapat digagalkan awal November lampau. Banyak pengamat menghubungkan manuver politik Enrile dengan plot ini yang, kabarnya, direncanakan oleh RAM dengan Kolonel Gregory "Gringo" Honasan sebagai tokoh utama, di samping dua tokoh lain, Kolonel Rex Robles dan Kolonel Eduardo "Red" Kapunan. Ada kekhawatiran bahwa Enrile sendiri pada akhirnya tidak mampu mengendalikan mereka. "Mereka begitu gegabah dan aresif," kata seorang perwira senior yang tidak mau disebut namanya. "Saya khawatir, mereka tidak bisa dikontrol." Adapun plot God Save the Queen seperti yang banyak diberitakan surat kabar terbitan Manila -- bertujuan melancarkan operasi pembedahan agar lembaga politik tetap sehat. Menurut perancangnya, yang diduga RAM, operasi tersebut diperlukan untuk membuang kanker yang menggerogoti kabinet Cory. Dan kanker itu berasal dari segelintir menteri berhaluan kiri, yang bersikap lunak terhadap pemberontak komunis. Kolonel Gregory Honasan dalam wawancara khusus dengan Daily Express menyatakan bahwa ia tidak tahu-menahu akan plot God Save the Queen. "Semestinya yang mengetahui operasi semacam itu Manila Medical Ccnter (Pusat Kesehatan Manila)," ucap Honasan bergurau. Menurut Letjen (purnawirawan) Rafael Ileto, yang waktu itu masih menjabat deputi menteri pertahanan, Honasan mengeluh pada soal desas-desus plot, apalagi RAM dituduh sebagai biangnya. Bahkan Enrile sendiri berkomentar"Kasihan Honasan." Enrile memastikan bahwa baik desas-desus maupun plot itu sendiri bukan berasal dari kamp Aguinaldo, markas besar AFP. Tapi semua bantahan tidak menolong. Citra RAM telanjur rusak. Ahli politik terkemuka dari Universitas Filipina, Carolina Hernandez, menuding RAM yang katanya, "Berusaha merebut kekuasaan." Kata Hernandez lebih lanjut, "Kecuali mereka sinting, usaha kudeta itu -- kalau memang benar ada -- semestinya tidak mereka lakukan." Tapi ia mengakui tindak-tanduk RAM sulit diramalkan. Seorang kolumnis, Belinda Olivares Cunanan, mempertanyakan, "Seberapa kuat RAM itu?" Dengan berbagai keterangan dari sumber di luar dan di dalam AFP, ia sampai pada kesimpulan: RAM tidak sekompak dulu. Kelompok RAM di tubuh angkatan udara tampak agak menjauhkan diri. Mungkin karena Kepala Staf AU Antonio Sotelo memihak Cory. Sekalipun begitu, menarik dicatat bahwa aksi protes militer di kamp Sergio Osmena, di Cebu City, Sabtu lalu, menggunakan helikopter untuk menyebarkan pamflet. Mereka dipimpin Letnan Kolonel Tiburcio Fusillero, seorang anggota RAM. Aksi serupa di kamp Rafael Rodriguez, Butuan, Mindanao, juga digerakkan oleh anggota RAM lainnya, Kolonel Ruben Cabagnot. Pada pokoknya, mereka menyuarakan tuntutan senada dengan bekas Menteri Pertahanan Enrile. Dan ketika Enrile menyerahkan surat pengunduran diri Ahad kemarin, sumber-sumber tertentu mengatakan, "Sebaiknya ditunggu bagaimana reaksi dari Cagayan." Mereka menduga orang-orang RAM dari Cagayan akan meletuskan "ledakan" lain di daerah kelahiran Enrile itu. Pada saat berdirinya, RAM berkekuatan 700-800 perwira, sebagian berasal dari Akademi Militer Filipina angkatan 1971. Menurut beberapa perkiraan, kekuatan mereka saat ini sekitar 70 persen dari 3.000 perwira lulusan Akademi Militer Filipina. Ada lagi yang menaksir, jumlah mereka sekitar 40 persen dari 16.000 perwira AFP yang masih aktif. "Dalam lingkungan yang terbatas, mereka ini cemerlang, sok -- tipe klasik para kolonel yang berambisi mengambil alih kekuasaan," begitu komentar seorang diplomat Barat di Manila. Konon, dulu mereka merencanakan kudeta terhadap Marcos dan jika berhasil, akan membentuk junta militer yang, tentu saja, dipimpin oleh siapa lagi kalau bukan Enrile. Seorang tokoh dari kalangan dalam Istana Malacanang pernah berkata, "Kalau cuma Enrile perkara gampang." Tapi kolonel-kolonel itu "membuat segalanya menjadi sulit." Ironisnya, sekalipun Cory meladeni keinginan kelompok militer beraliran keras ini, mereka sendiri sebenarnya tidak mampu menghadapi langsung pihak komunis. Seperti kata menteri pertahanan yang baru, Rafael Ileto kepada TEMPO, "Terus terang, miiiter tidak terlalu siap menghadapi komunis. Di samping dana yang kurang memadai, sikap mental (mereka) juga tidak terlalu menunjang." (Lihat Kalau Kita Sampai Kehilangan Cory). Pengakuan tersebut memang mencerminkan kenyataan sebenarnya. Bahkan seorang jenderal berbintang dua, panglima daerah militer, yang enggan disebut namanya, harus berpikir keras sebelum memerintahkan prajuritnya berpatroli ke kawasan yang dianggap kantung gerilyawan NPA, sayap militer Partai Komunis Filipina. Setiap perintahnya sama saja dengan mengharuskan para prajuritnya menanggung sendiri biaya perawatan luka-lukanya. Sedangkan pihak keluarga mereka yang gugur tidak mendapat santunan yang layak. "Gaji seorang bintara cuma 900-1.000 peso per bulan. Sudah termasuk segala macam tunjangan," kata jenderal ini. Jumlah itu jika dikurskan dengan mata uang rupiah tak lebih dari Rp 70.000. Menyedihkan, memang. James R. Lapian, Laporan Isma Sawitri (Manila)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini