Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setidaknya ada 1.135 tindakan rasis terhadap orang Asia di Amerika Serikat.
Ada empat laporan rasisme terhadap orang Indonesia di Philadelphia.
Diprediksi meningkat menjelang pemilihan Presiden Amerika pada 3 November mendatang.
RANIA, remaja asal Indonesia, setiap hari naik angkutan umum ke tempat kerjanya di sebuah toko kecil di pusat Kota Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Aktivitas itu terhenti sejak 1 April lalu, setelah Gubernur Pennsylvania Tom Wolf mengeluarkan kebijakan “tetap di rumah” bagi 12,8 juta penduduknya untuk mencegah penularan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat berada di bus atau subway itulah Rania mengaku kerap mendapat cemoohan. Selain menghadapi sikap yang tak bersahabat, ia diolok-olok dengan perkataan: “Kembali ke negaramu!” Biasanya, perempuan 17 tahun itu tak mengacuhkannya. Kalau yang mengganggu anak muda berkelompok dan Rania satu-satunya orang Asia, dia memilih menghindar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rania tak selalu memberi tahu ibunya, Indah Nuritasari, tentang apa yang ia alami. “Dia bilang, ‘Mama akan nangis kalau aku ceritakan tiap hari’,” kata Indah, menirukan jawaban anaknya, kepada Tempo, Rabu, 15 April lalu. Peristiwa yang tergolong ujaran kebencian bernada rasial itu, Indah menambahkan, masih terus terjadi. Korbannya memang bukan hanya orang Indonesia, tapi orang Asia pada umumnya.
Apa yang menimpa Rania merupakan kabar yang kerap terdengar sejak wabah corona melanda Negeri Abang Sam. Korbannya umumnya orang Asia. Menurut laporan yang masuk ke STOP AAPI HATE—pusat pengaduan mengenai ujaran kebencian terhadap orang Asia-Amerika Pasifik—sejak 19 Maret hingga 1 April lalu, setidaknya ada 1.135 aduan semacam itu. Pusat pengaduan ini dibentuk oleh Asian Pacific Policy and Planning Council, Chinese for Affirmative Action, dan Departemen Studi Asia-Amerika San Francisco University.
Suasana pembagian makanan di kawasan permukiman padat penduduk di tengah pandemi Covid-19 di New York, 15 April 2020./Reuters/Eduardo Munoz
Menurut data pusat pengaduan itu, korban perempuan mengalami perundungan lebih banyak daripada laki-laki. Selain orang dewasa, anak-anak menjadi korban, yaitu sekitar 6 persen. Meskipun pemerintah Pennsylvania menetapkan kebijakan “tetap di rumah”, jumlah insiden yang bernada diskriminatif tetap tinggi dan banyak terjadi di toko bahan makanan, apotek, serta retail besar yang masih buka.
Covid-19, penyakit yang awalnya menyebar dari Wuhan, Cina, sampai 17 April lalu telah menginfeksi 636.917 orang di Amerika Serikat dan menewaskan 28.586 orang. Dengan angka ini, Amerika menjadi negara dengan korban terbanyak, bahkan melebihi Cina, yang memiliki jumlah kasus 82.367 dan 3.342 orang meninggal. Di Philadelphia, jumlah kasus mencapai 7.121 dan 131 orang meninggal.
Belum ada data pasti mengenai jumlah orang Indonesia di Philadelphia yang mengalami perlakuan rasis seperti itu. Ada kasus yang masuk ke kepolisian, tapi banyak yang tidak dilaporkan. “Kalau kasus yang menimpa orang Indonesia, ada empat laporan dari polisi sejak sebulan lalu,” tutur Pastor Theny Landena, pemimpin Gereja Kristen Indonesia (ICC) Philadelphia, kepada Tempo, Rabu, 15 April lalu. Ia juga anggota Komite Penasihat Asia-Amerika Kepolisian Philadelphia.
Menurut Theny, dari laporan yang ia terima dari kepolisian, kasus rasisme terhadap orang Indonesia biasanya berupa kata-kata. “Sewaktu turun dari subway, ada yang menyumpahinya dengan mengatakan ‘pembawa virus’, ‘pembuat susah’, ‘keluar dari negeri ini!’. Ada juga orang Indonesia yang diludahi sesaat setelah turun dari subway. Tentu saja mereka menangis-nangis mendengar seperti itu,” ucapnya.
Melihat laporan di kepolisian, Theny mengatakan yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang punya penampilan fisik mirip dengan orang Cina: berkulit kuning atau bermata sipit. Orang Indonesia di Philadelphia yang menjadi korban rata-rata berkulit kuning. “Ini bukan sepenuhnya xenofobia. Ini lebih tepatnya Sinofobia,” kata Theny.
Meskipun begitu, kasus semacam ini juga dialami orang Asia lain yang berkulit berwarna. Theny sendiri pernah mengalaminya. Sekitar pertengahan Maret lalu, ia bersama dua rekannya hendak mengikuti sebuah pertemuan. “Saat menuju pintu masuk ruang pertemuan itu, tiba-tiba ada yang berteriak dari arah belakang, ‘Corona! Corona!’,” ujarnya. “Padahal saya kan berkulit lebih gelap.”
Pengalaman lain terjadi pada pekan kedua April lalu. Saat itu, Theny mengenakan masker dan berjalan kaki untuk menyelesaikan urusan umatnya. Di jalan, ia berpapasan dengan perempuan yang membawa anjing. Saat berada dalam jarak dekat, tiba-tiba perempuan itu berbicara dengan nada keras ke arahnya, “Saya tidak menggunakan masker saya. Itu tidak adil.” Theny sendiri tak terlalu mengerti apa keberatan perempuan itu terhadap dia.
Pemerintah dan Dewan Kota Philadelphia bereaksi atas meningkatnya rasisme terhadap orang Asia, komunitas yang jumlahnya sekitar 8 persen populasi kota itu. Pada 7 April lalu, mereka merilis pernyataan keprihatinan. “Anggota Dewan Kota Philadelphia mengeluarkan pernyataan ini untuk mengutuk retorika rasis dan xenofobia terhadap komunitas Asia dan Asia-Amerika di tengah munculnya Covid-19,” demikian pernyataan yang ditandatangani 16 anggota Dewan itu.
Pernyataan itu juga mengutip sikap pemerintah federal di bawah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dinilai memicu sentimen rasial. Misalnya, pada 7 Maret lalu, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menggunakan istilah “virus corona Cina” dalam wawancara yang disiarkan televisi. Hal ini memicu banyak anggota Kongres mulai menggunakan istilah tersebut. Pada 16 Maret, Trump juga menggunakan istilah “virus Cina” dalam sebuah rapat umum.
Menurut Theny, Pemerintah Kota Philadelphia mengundang tokoh masyarakat untuk membahas masalah ini pada akhir Maret lalu. Seusai pertemuan itu, pemerintah mengeluarkan selebaran. “Tindakan rasial dan diskriminasi terhadap komunitas apa pun adalah ilegal dan tidak boleh dibiarkan di Philadelphia,” demikian bunyi selebaran itu. Pemerintah mendesak warga yang menjadi korban kejahatan apa pun menghubungi nomor darurat 911. Kalau ada kejahatan rasial, mereka diminta menghubungi Komisi Hubungan Masyarakat Philadelphia.
Meski ada kasus bernada rasisme seperti itu di sana, tidak ada laporan ke Kedutaan Besar RI di Washington, DC. “Laporan terkait dengan masalah Covid-19 yang berhubungan dengan perbuatan tidak menyenangkan, bisa dikatakan tidak ada laporan secara resmi,” kata Brigadir Jenderal Ary Laksamana Widjaja, Atase Kepolisian Kedutaan Besar RI, kepada Tempo, Kamis, 16 April lalu.
Kedutaan membawahkan lima konsulat jenderal yang tersebar di seluruh Amerika: Chicago, Houston, Los Angeles, New York, dan San Francisco. “Kami melakukan pemantauan dari kantong-kantong masyarakat Indonesia dan mereka menyampaikan hal itu,” tutur Ary. Dalam konferensi video melalui aplikasi Zoom pada 5 April lalu itulah ia mendengar informasi tentang orang Indonesia yang diolok-olok atau diludahi. “Perlakuan itu dikaitkan dengan virus dari Wuhan, Cina. Orang-orang itu dianggap sebagai penyebar virus,” ucapnya.
Ary belum tahu persis mengapa ada laporan seperti ini di Philadelphia tapi belum mendengar dari kota lain. Menurut Ary, jumlah warga Indonesia di Amerika lebih dari 24 ribu orang. Salah satu konsentrasi terbesar memang di Philadelphia, yang jumlahnya ditaksir lebih dari 6.000 orang.
Orang Indonesia banyak tinggal di bagian selatan, yang penduduknya lebih padat dan harga sewa tempat tinggalnya relatif lebih murah. “Daerahnya dikenal agak rawan,” kata Ary. Pekerjaan orang-orang Indonesia di sana beragam. Ada yang punya restoran, bekerja di rumah makan atau pabrik, dan menjadi sopir taksi online.
Dalam konferensi video pada 5 April lalu, Ary juga memberikan sejumlah tip aman, seperti menghindari kerumunan bila merasa tak nyaman, tidak bepergian sendirian, dan tak membawa banyak uang tunai kalau pergi ke toko. “Kalau ditodong, lebih baik tidak usah mempertahankannya. Serahkan saja. Orang di sini membawa senjata api. Daripada melawan dan jadi korban,” ujarnya.
Ikhsan Darmawan, warga Indonesia di Kota Kent, Ohio, mengaku belum mendengar ada kasus rasisme di daerahnya. “Saya belum pernah mengalaminya. Sejauh ini belum dengar juga di daerah sini,” ucap mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan doktoral itu kepada Tempo, Rabu, 15 April lalu. “Apalagi sekarang ada perintah tinggal di rumah saja.”
Gubernur Ohio Mike DeWine mengeluarkan perintah “tetap di rumah” pada 22 Maret lalu. Sampai 17 April lalu, ada 2.902 kasus dan 81 orang meninggal akibat corona di negara bagian ini. Kini, Ikhsan hanya ke luar rumah untuk membeli bahan kebutuhan pokok. Restoran boleh buka, tapi hanya untuk pengantaran. Toko bahan makanan masih buka, tapi membatasi jumlah orang yang belanja agar tetap bisa menerapkan jarak aman.
Kent bukan kota yang berpenduduk padat. Menurut data 2018, populasinya 29 ribu jiwa. Adapun total penduduk Negara Bagian Ohio 11,6 juta jiwa. “Di Ohio, kota yang padat di antaranya Columbus dan Cleveland. Biasanya sedikit-banyak ada kaitan antara kepadatan penduduk dan kemungkinan terjadi rasisme. Lebih rentan tepatnya,” tutur Ikhsan.
Cynthia Choi dari Chinese for Affirmative Action mengungkapkan, laporan yang dibuat lembaganya memang mencatat ada kenaikan angka rasisme, khususnya terhadap orang Cina setelah terjadi wabah. “Ada peningkatan rasisme anti-Asia karena mereka menyalahkan Cina dan pemerintah Cina. Itu rasis karena orang Cina-Amerika bukan pemerintah Cina dan tidak boleh disalahkan,” katanya kepada Tempo, Jumat, 17 April lalu. “Sekarang semua orang Asia menjadi sasaran. Bukan hanya orang Cina.”
Berdasarkan data STOP AAPI HATE, yang cukup banyak mengadukan perlakuan rasis atau diskriminatif adalah orang Korea (15 persen), Vietnam (7 persen), Filipina (7 persen), Jepang (5 persen), Taiwan (5 persen), dan Cina (40 persen). Bentuk tindakan yang paling banyak adalah serangan secara verbal, yaitu hampir 70 persen. Ada juga serangan fisik, seperti berbatuk ke arah korban, yakni kurang dari 10 persen.
Dalam laporan itu, misalnya, diceritakan ada perempuan di toko kelontong yang meludahi orang Asia yang juga berbelanja di sana. Perempuan itu menyebutkan virus corona adalah kesalahan mereka. Ada juga laporan tentang lima orang sekeluarga yang berkunjung ke kota tua Haleiwa, Hawaii. Tiba-tiba ada beberapa mobil mendekati mereka. Pengendaranya menurunkan kaca jendela, batuk ke arah mereka, tertawa, dan kemudian pergi dengan cepat.
Ada pula seseorang yang menceritakan pengalamannya di sebuah supermarket. Tiba-tiba ada seorang anak meraih tangannya. Anak itu menyarankan dia kembali ke negaranya karena dialah yang menyebabkan ayahnya meninggal. “Ini pengalaman paling menakutkan dan paling menyedihkan yang pernah saya alami di Amerika sejak 1977,” tulis salah satu pengadu dalam laporan itu.
Choi menyatakan memang ada tren peningkatan kasus rasisme terhadap orang Asia meski ini bukan hal baru. “Dugaan saya, hal ini akan meningkat ketika retorika rasis menjadi lebih membakar menjelang pemilihan umum,” ujarnya. Pemilihan Presiden Amerika, jika tak ada penundaan, akan berlangsung pada 3 November mendatang.
ABDUL MANAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo