Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA bulan sudah pandemi Covid-19 memporak-porandakan dunia. Kini pertanyaan terpenting di pasar adalah di manakah kita? Apakah pagebluk ini sudah melewati puncaknya dan mulai menurun di Indonesia? Atau sebaliknya, grafik wabah justru sedang menanjak dan entah di mana nanti klimaksnya?
Itu pertanyaan sulit. Data yang andal, sejak awal Covid-19 muncul di negeri ini, memang langka. Karena itu, belum ada pegangan yang dapat menjadi patokan pasar untuk meraba: sedahsyat apa pagebluk ini akan menghantam ekonomi Indonesia.
Yang bisa kita lakukan adalah melihat beberapa proyeksi yang tersedia. Dana Moneter Internasional (IMF) muncul dengan estimasi yang amat pesimistis. Tahun ini, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 0,5 persen saja. Prediksi ini jauh lebih rendah ketimbang kalkulasi biro peringkat global Moody’s yang sebesar 3 persen, atau Bank Pembangunan Asia (ADB) yang menghitung 2,5 persen.
Sedangkan S&P Global Rating memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya 1,9 persen, seraya mengubah outlook peringkat Indonesia dari stabil menjadi negatif. Artinya, S&P melihat ada kemungkinan memburuknya posisi keuangan Indonesia dalam dua tahun mendatang. Jika itu benar terjadi, S&P akan menurunkan peringkat Indonesia yang saat ini BBB untuk jangka panjang dan A-2 untuk jangka pendek.
Penyebab utama perubahan outlook menjadi negatif adalah utang pemerintah yang menggelembung karena menangani wabah. S&P menilai upaya pemerintah mengubah anggaran secara agresif untuk mengatasi dampak pagebluk sudah benar. Tak ada pilihan lain untuk menyelamatkan ekonomi dari kerusakan yang lebih parah dalam jangka panjang, apalagi jika sampai dampak wabah meluas hingga ke sistem perbankan dan keuangan. Cuma, konsekuensinya, langkah itu akan memperburuk posisi utang luar negeri Indonesia.
Pada saat yang sama, Indonesia juga harus menghadapi risiko penurunan nilai rupiah secara tajam. Ancaman guncangan eksternal, yang membuat dana investasi terus mengalir keluar dari pasar finansial, memang belum akan hilang dalam setahun ke depan. Bahkan risiko itu mungkin malah datang lagi lantaran ekonomi sedunia juga sedang porak-poranda terkena wabah.
Dana-dana investasi berhamburan hengkang keluar dari negara-negara berkembang mencari aman. Ini berpotensi melemahkan kurs rupiah. Beban bunga dan cicilan utang luar negeri pun bisa menggelembung. Kewajiban pemerintah membayar bunga dan utang memang selalu terpapar oleh risiko kurs karena 40 persen utang pemerintah dalam mata uang asing.
Selain membebani anggaran, pembayaran utang pada tahun-tahun mendatang, termasuk pula utang luar negeri swasta, akan makin mendongkrak kebutuhan pembiayaan eksternal. Padahal, pada saat yang sama, penerimaan devisa hasil perdagangan sedang menurun karena harga berbagai komoditas ekspor Indonesia sedang rontok tergencet lesunya ekonomi dunia. Inilah pusaran maut yang bisa terus menyedot kurs rupiah ke dasar yang tak terduga.
Faktor positifnya, selama ini Indonesia masih punya reputasi bagus di pasar sehingga tidak kesulitan mendapat pasokan dolar, dalam keadaan mendesak sekalipun. Itulah yang membuat rupiah menguat pekan lalu. Dolar hasil penjualan obligasi pemerintah senilai US$ 4,3 miliar mulai mengalir masuk. Rupiah pun menguat menjadi sekitar 15.500 per dolar Amerika Serikat pada akhir pekan lalu setelah sempat ambles melampaui 16.600 per dolar.
Namun Indonesia tentu tak bisa seterusnya mengandalkan kiat menutup lubang dengan menggali lubang baru. Beban pembayaran bunga dapat meledak melewati batas maksimal yang dapat ditanggung. Ekonomi kita bisa tenggelam terseret pusaran kuat yang tak tertahan.
Satu-satunya hal yang dapat menghentikan sedotan pusaran maut itu adalah meredanya wabah dan ekonomi kembali bergerak normal. Maka semua petugas kesehatan di lapangan hingga pejabat di pucuk tertinggi kini tidak hanya tengah berjuang menyelamatkan nyawa warga negara. Berhasil-tidaknya usaha melawan Covid-19 ini juga akan sangat menentukan mati-hidupnya ekonomi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo