Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Perang nuklir

Jika diketahui perang akan menang, perang merupakan peralihan ke keadaan lebih baik. perang nuklir tidak dapat dimenangkan, kedua belah pihak hancur. ronald reagan mengatakan dapat memenangkan perang nuklir.

12 November 1983 | 00.00 WIB

Perang nuklir
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
APA pilihan yang lebih baik dari perang? Seorang penulis mengatakan, pilihan itu bukanlah damai. Memang aneh juga bahwa suara antiperang yang paling bergelora kini berada di Barat. Damai adalah pertama-tama hasrat mereka yang menikmati hidup dan enggan berubah. Eropa yang kenyang, Eropa yang bebas, Eropa yang layak dipelihara dalam suatu status quo, yang ingin tetap dengan kastil tuanya dan kerapian modernnya - itulah Eropa yang dengan bersemangat menginginkan damai. Damai, dalam arti tak berubah. Perang memang bukan permainan Dunia Ketiga. Beratus tahun para petani di pelosok tahu itu: tiap kali raja mereka berperang, merekalah - yang di bawah - yang harus menderita lebih atau mati terinjak. Tapi bila sampai sekarang perang berkecamuk di semak-semak Afrika atau Asia atau Amerika Latin, soalnya karena perang merupakan pilihan yang lebih baik ketimbang status quo. Perang adalah peralihan dari situasi yang macet. Damai hanya menyengsarakan lebih panjang. Pendapat seperti itu tentu saja perlu diberi catatan tambahan: perang adalah suatu peralihan, mungkin ke keadaan yang lebih baik jika kita tahu bahwa perang itu dapat dimenangkan. Bagaimana jika sebuah perang tak dapat dimenangkan? Misalnya sebuah perang nuklir, yang akan menghancurkan siapa - saja, hingga tak satu pihak pun akan memetik hasilnya? Dalam bayang-bayang yang mengerikan itulah perdamaian dipilih di Eropa: bukan saja karena kehendak menikmati terus sebuah peradaban yang telah berakar, tapi jua karena di sana perang tak mungkin lagi dimenangkan oleh siapa saja. Perang telah menjadi suatu omnicude. Karena itu, memang agak aneh ketika suatu kali, belum lama berselang, Presiden Reagan pernah dikutip mengatakan bahwa perang nuklir itu sesuatu yang dapat dimenangkan. Perang yang sedahsyat itu pun, dalam persepsi ini, tampaknya masih tak jauh dari "permainan", atau "pertandingan". Ada peran. Ada strategi. Ada gerak. Ada hasil. Ada yang menang dan yang kalah. Dan ada pilihan untuk berhenti. Tapi barangkali memang orang masih harus, seperti Presiden Reagan, menganggap ada sesuatu yang berharga dari sana. Toh Reagan tidak sendiri. Mendiang Mao ZeDong dan sejumlah tokoh lain, barangkali juga Andropov dan para jenderal di mana-mana, tahu bahwa dalam perang ada sesuatu yang luhur: cita-cita yang harus diberi korban, misalnya. Atau keberanian. Atau kepahlawanan. Dengan kata lain, hal-hal yang bukan benda-benda, tapi juga bukan omong kosong. Dibandingkan dengan itu, damai memang sesuatu yang tampak hambar, boyak, dan tak mengasyikkan. Karena itulah, seorang penggerak protes untuk perlucutan senjata, seorang penulis yang banyak terlibat dalam aksi anti-kelaparan dunia dan lain-lain, Robert Fuller, bertanya, "Adakah permainan yang lebih baik ketimbang perang?" Ia tak lagi bicara soal perlucutan senjata, sebagai sasaran langsung. Ia tak lagi bicara soal perdamaian. Ia tahu, mustahil sebuah negara dengan senang hati mencopoti sebagian besar atau semua senjata pentingnya --seperti seseoran mencopoti giginya sendiri. Dengan sikap baru, ia bicara tentang Mo Tzu. Mo Tzu, kata sahibul hikayat, adalah seorang tokoh sejarah Cina dalam abad ke-5 Sebelum Masehi. Orang ini, bersama para pengikutnya, beberapa kali berkelana di zaman ketika peperangan mengoyak-koyak antarprovinsi itu. Mo Tzu selalu datang kepada pihak-pihak yang berhadapan. Ia membujuk mereka berunding. Bila salah satu pihak menolak, dan perdamaian gagal, Mo Tzu pun membantu pihak yang lemah untuk menghadapi yang kuat. Tidak jelas benar adakah dengan itu perang selalu dapat dielakkan dan masa siap tempur diperpanjang sampai capek. Bagaimanapun Mo Tzu menyajikan suatu contoh yang berani - dan optimistis - untuk merentang saat-saat sebelum senjata digunakan. Di celah-celah itu yang diharapkan adalah suatu proses hilangnya saling ketakutan. Setelah itu, insya Allah sebuah dialog akan timbul, dan suatu proses akan terjadi untuk saling melengkapi diri dengan penghargaan atas pihak yang lain. Mo Tzu memang suatu percobaan yang agak nekat, tapi mungkm itu satu versi dari politik "bebas dan aktif".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus