Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PRESIDEN AS Donald Trump telah berkali-kali mengeluarkan ancaman untuk Hamas dan warga Gaza, sejak sebelum dilantik. Rabu, 5 Maret 2025, ia menyampaikan ancaman terbarunya setelah setelah pertemuan di Gedung Putih dengan sekelompok sandera yang telah dibebaskan pada tahap pertama kesepakatan gencatan senjata Gaza.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam sebuah unggahan di media sosial, Trump mengancam tak hanya Hamas tetapi juga rakyat Gaza yang sudah menderita karena serangan Israel selama 16 bulan. Ia menyatakan tak akan ada satu anggota Hamas pun yang aman jika mereka tidak melakukan perkataannya. "Juga, kepada Rakyat Gaza: Masa depan yang indah menanti, tapi tidak jika Anda menyandera. Jika Anda melakukannya, Anda MATI! Buatlah keputusan yang CERDAS. BEBASKAN PARA SANDERA SEKARANG, ATAU AKAN ADA NERAKA YANG HARUS DIBAYAR NANTI!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bagi banyak orang di Gaza, ancaman Trump ini tidak lebih dari sekadar pembenaran untuk melakukan kekerasan lebih lanjut dan hukuman kolektif terhadap mereka. Ketika Gaza terus bergulat dengan dampak perang yang menghancurkan – pengungsian massal, kehancuran yang meluas, dan kondisi kemanusiaan yang mengerikan – orang-orang kelelahan dan skeptis terhadap upaya internasional untuk menyelesaikan perang.
Al Jazeera berbicara dengan warga Palestina di Gaza utara tentang ancaman Trump.
'Tidak Ada yang Dipertaruhkan'
Yasser al-Sharafa, 59 tahun, mengatakan bahwa ia mengabaikan ancaman-ancaman ini karena, seperti banyak orang di Gaza, ia "tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan".
Al-Sharafa dulu adalah seorang pedagang terkenal di Tel al-Hawa, Kota Gaza. Ia memiliki sebuah toko besar, bangunan enam lantai, mobil dan gudang-gudang. Namun, seluruh hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun lenyap, dihancurkan peperangan.
Kini, ia mengelola sebuah kios darurat yang menjual permen dan makanan ringan untuk anak-anak. Setelah kehilangan, kehancuran dan kesengsaraan yang sedemikian rupa, ancaman Trump tidak akan membuatnya bersedih. "Trump atau siapa pun, tidak ada bedanya," katanya.
Mengungsi ke selatan selama perang, al-Sharafa dan keluarganya kembali ke utara setelah gencatan senjata dimulai, hanya untuk menemukan daerah yang hancur di mana kehidupan nyaris tidak mungkin terjadi. Ia skeptis seandainya Hamas menyerahkan para tawanan, dunia akan berubah. “Perang bisa saja kembali terjadi kapan saja dengan dalih baru yang mereka buat. Kita telah kehilangan kepercayaan di seluruh dunia," ujarnya.
‘Apakah Gaza Akar dari Masalah Dunia?’
Jamila Mahmoud, 62 tahun, tidak mendengar secara langsung perkataan Trump, namun beberapa anggota keluarganya membicarakannya pada Kamis pagi. Berita dunia tak segera sampai di Gaza karena warga setempat terputus dari dunia luar. “Tak ada internet, tak ada listrik dan tak ada alat komunikasi,” katanya.
Mahmoud meyakini ancaman Trump merupakan bagian dari perang psikologis yang bertujuan untuk memaksa orang keluar dari Gaza. Menurutnya, setiap hari ada skenario baru seputar pemindahan paksa dan pengambilalihan Gaza. "Apakah Gaza tiba-tiba menjadi akar dari semua masalah dunia?" tanyanya.
Mahmoud menegaskan bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan pernah melepaskan haknya untuk tinggal di Gaza, tanah kelahirannya. "Saya akan tetap tinggal di tanah saya, meski hanya tinggal puing-puing rumah, apa pun yang terjadi," ia menegaskan.
‘Tidak Ada yang Membela Kami’
Ayman Abu Dayyeh, yang berjalan pulang ke rumah dengan membawa beberapa bahan makanan untuk keluarganya, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ia hanya ingin "Hamas memprioritaskan kepentingan publik sekarang - untuk menerima kesepakatan, bernegosiasi, dan menyerahkan para tawanan agar mimpi buruk yang tak berkesudahan ini bisa berakhir."
Ia berpikir itu adalah jalan satu-satunya yang masuk akal. Meskipun, ia juga meragukan bahwa menyerahkan para tawanan tidak akan mengakhiri perang bagi Trump dan Israel. "Saya yakin rakyat Amerika akan menolak ancaman ini. Mereka tidak akan menerima negara mereka memimpin perang genosida lainnya," kata Abu Dayyeh yang berusia 60 tahun.
Abu Dayyeh telah kehilangan dua putranya dalam perang ini. Ia juga kehilangan rumah. Ia mengecam negara-negara Arab dan Eropa yang diam. “Bagaimana kami bisa terus berjuang tanpa ada yang mendukung? Kami akan menjadi satu-satunya korban," katanya.
'Jangan Ganggu Kami'
Wael Abu Ahmed, 75 tahun, dari Sheikh Radwan di utara Kota Gaza, mengatakan bahwa ia terkejut dengan ancaman Trump. "Apa yang tersisa di Gaza? Kami telah menyaksikan kengerian dalam perang ini - apakah mereka tidak berbuat cukup?" tanyanya sambil duduk di tepi jalan.
Menurutnya, pernyataan Trump tidak memiliki bobot atau nilai. Ia pikir Trump hanya membuat ancaman untuk menekan Hamas. “Satu-satunya hal yang tersisa untuk mereka lakukan adalah memusnahkan kami sepenuhnya," ia menambahkan.
Ahmed, seorang pensiunan birokrat dan ayah dari lima orang anak, kini tinggal bersama anak dan cucunya di sebuah apartemen setelah rumah mereka berulang kali menjadi sasaran perang Israel. Dia menolak untuk mengungsi ke selatan dan tetap tinggal di Gaza utara bersama keluarganya sampai gencatan senjata.
Ahmed mengatakan ia telah hidup lebih lama daripada yang ia inginkan dan ia ingin mati di rumahnya ketika itu harus terjadi. "Jangan ganggu kami. Biarkan kami menghadapi bencana yang telah menimpa kami – atau bunuh kami semua dan lepaskan kami dari kesengsaraan. Hanya itu yang bisa saya sampaikan," katanya sambil berlalu.