Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rujuk di balik asap bom

Tokoh-tokoh libanon yang berselisih mengadakan pertemuan rujuk nasional di jenewa. Iran tetap dituduh sebagai pelaku pemboman markas marinir Amerika Serikat dan Prancis di Beirut. (ln)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDERA setengah tiang masih berkibar di markas pasukan multinasional di Beirut, ketika tokoh-tokoh Libanon yang berselisih tiba di Jenewa, akhir pekan lalu. Walid Jumblatt, 36, pemimpin Druze itu, bertolak dari Damaskus dengan pesawat Yordania. Ia disertai Nabih Berri, pemimpin milisi Amal Syiah, dan bekas PM Rashid Karami pemuka Islam Sunni. Bekas presiden Suleiman Franjieh, tokoh Kristen Maronit, menumpang pesawat pribadi melalui Syria. Jumblatt, Franjieh, dan Karami merupakan pemimpin Front Penyelamatan Nasional yang baru dibentuk dan didukung Syria. Presiden Libanon Amin Gemayel, yan bertindak sebagai penyelenggara pertemuan rujuk nasional ini tiba di Jenewa Sabtu lampau. Pada hari yang sama, mendarat tiga peninjau: Menlu Syria Abdel-Halim Khaddam, Menteri Negara Muhammad Ibrahim Masud, dan Duta Besar Ahmed Al-Kouhimi - dua nama terakhir dari Arab Saudi. Tokoh lain yang bakal hadir adalah bekas presiden Chamnile Chamoun, pendiri Partai Falangis Pierre Gemayel, bekas PM Saeb Salam, bekas ketua parlemen Adel Osseirin, dan tokoh di pengasingan Raymond Edde. Menurut duta besar Libanon di Swiss Johnny Abdo, pertemuan yang dilangsungkan di Hotel Intercontinental itu diharapkan selesai dalam empat atau tujuh hari. Hasilnya sukar ditebak. Meski masing-masing pihak menyatakan niat baik menuju meja perundingan, toh kata-kata keras sudah mengawali pertemuan. Walid Jumblatt, misalnya, menekankan pentingnya pembaruan konstitusi dan pembagian kekuasaan di Libanon. "Sukses pertemuan," kata Jumblatt di depan televisi Swiss, "tergantung pada kemauan pihak Krlsten menjamin peluang mayoritas penduduk menuju sebuah Libanon yang modern." Ia berniat mengubah sistem yang berlaku sejak 1943 di Libanon. Menurut sistem itu, presiden jatah Kristen Maronit, perdana menteri Islam Sunni, dan ketua parlemen hak Islam Syiah. Kristen mendapat tujuh kursi untuk setiap lima kursi yang diduduki kelompok Islam di parlemen. Jika porsi kekuasaan ini tidak diperbarui, kata Jumblatt "perang baru akan pecah." Suleiman Franjieh belum mengucapkan sesuatu. Tapi Pierre Gemayel, ayah Amin Gemayel, menyatakan sikap. Ia mengungkapkan prioritas harus diberikan pada penarikan mundur Israel dan Syria dari Libanon. "Setelah itu," katanya, "barulah kita berbicara tentang kebutuhan selanjutnya." Tugas paling pelik akhirnya memang terpikul ke pundak Presiden Amin Gemayel. "Libann telah menjadi medan perang dan papan catur konflik Arab - Israel," katanya dalam koran The Washington Post, pekan lalu. "Libanon telah menjadi korban para ekstremis - radikal, revolusioner, dan teroris - karena kami adalah sasaran yang empuk." Karena itu, tak heran, bila Amin secara terang-terangan menggantungkan harapannya pada pasukan multinasional, terutama marinir AS. "Pemerintah Libanon tak bisa berfungsi tanpa bantuan pasukan ini," ujar Amin. Maka, penarikan pasukan asing bisa menjadi harapan sia-sia dalam pertemuan di Jenewa. Apalagi, belakangan ini, kelompok Syiah - pihak yang ikut berunding - makin dituding sebagai pelaku pemboman dahsyat di markas marinir AS dan pasukan Prancis, dua pekan lalu. Saat ini petugas keamanan Libanon sedang mencari Sheikh Mohammed Hussein Fadlallah, pemimpin kelompok ekstremis Syiah, Hizbullah, yang konon bekerja sama dengan kelompok fundamentalis Iran. Seharl menjelang pemboman jibaku yang menewaskan 229 marinir AS dan 56 serdadu Prancis itu, Hussein dikabarkan terlihat di permukiman Syiah yang berhampiran dengan markas marinir AS dan merestui kedua anak buahnya yang akan meledakkan truk berisi bom itu. Hussein membantah tuduhan itu. Dari tempat persembunyian di Beirut, ia malah mengatakan pemboman itu direncanakan milisi Falangis dan dinas rahasia Libanon. Tujuannya ialah mengguncangkan moril pasukan multinasional. Dari Washington, pemerintah AS makin keras menuduh Iran. "Semua penelitian intel mengarah kepada Iran," ujar seorang pejabat senior. "Tapi, kami harus yakin betul sebelum mulai bertindak." Mereka juga mencurigai Hussein Musawi, pemimpin kelompok Syiah pro-lslam, yang memuji pemboman itu. Tapi dia membantah terlibat. Di balik pelbagai tuduh-menuduh ini, memang tidak banyak yang diharapkan dari pertemuan rujuk nasional di Jenewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus