BENDERA setengah tiang masih berkibar di markas pasukan
multinasional di Beirut, ketika tokoh-tokoh Libanon yang
berselisih tiba di Jenewa, akhir pekan lalu. Walid Jumblatt, 36,
pemimpin Druze itu, bertolak dari Damaskus dengan pesawat
Yordania. Ia disertai Nabih Berri, pemimpin milisi Amal Syiah,
dan bekas PM Rashid Karami pemuka Islam Sunni.
Bekas presiden Suleiman Franjieh, tokoh Kristen Maronit,
menumpang pesawat pribadi melalui Syria. Jumblatt, Franjieh, dan
Karami merupakan pemimpin Front Penyelamatan Nasional yang baru
dibentuk dan didukung Syria.
Presiden Libanon Amin Gemayel, yan bertindak sebagai
penyelenggara pertemuan rujuk nasional ini tiba di Jenewa Sabtu
lampau. Pada hari yang sama, mendarat tiga peninjau: Menlu Syria
Abdel-Halim Khaddam, Menteri Negara Muhammad Ibrahim Masud, dan
Duta Besar Ahmed Al-Kouhimi - dua nama terakhir dari Arab Saudi.
Tokoh lain yang bakal hadir adalah bekas presiden Chamnile
Chamoun, pendiri Partai Falangis Pierre Gemayel, bekas PM Saeb
Salam, bekas ketua parlemen Adel Osseirin, dan tokoh di
pengasingan Raymond Edde.
Menurut duta besar Libanon di Swiss Johnny Abdo, pertemuan yang
dilangsungkan di Hotel Intercontinental itu diharapkan selesai
dalam empat atau tujuh hari. Hasilnya sukar ditebak. Meski
masing-masing pihak menyatakan niat baik menuju meja
perundingan, toh kata-kata keras sudah mengawali pertemuan.
Walid Jumblatt, misalnya, menekankan pentingnya pembaruan
konstitusi dan pembagian kekuasaan di Libanon. "Sukses
pertemuan," kata Jumblatt di depan televisi Swiss, "tergantung
pada kemauan pihak Krlsten menjamin peluang mayoritas penduduk
menuju sebuah Libanon yang modern." Ia berniat mengubah sistem
yang berlaku sejak 1943 di Libanon.
Menurut sistem itu, presiden jatah Kristen Maronit, perdana
menteri Islam Sunni, dan ketua parlemen hak Islam Syiah. Kristen
mendapat tujuh kursi untuk setiap lima kursi yang diduduki
kelompok Islam di parlemen. Jika porsi kekuasaan ini tidak
diperbarui, kata Jumblatt "perang baru akan pecah."
Suleiman Franjieh belum mengucapkan sesuatu. Tapi Pierre
Gemayel, ayah Amin Gemayel, menyatakan sikap. Ia mengungkapkan
prioritas harus diberikan pada penarikan mundur Israel dan Syria
dari Libanon. "Setelah itu," katanya, "barulah kita berbicara
tentang kebutuhan selanjutnya."
Tugas paling pelik akhirnya memang terpikul ke pundak Presiden
Amin Gemayel. "Libann telah menjadi medan perang dan papan
catur konflik Arab - Israel," katanya dalam koran The Washington
Post, pekan lalu. "Libanon telah menjadi korban para ekstremis -
radikal, revolusioner, dan teroris - karena kami adalah sasaran
yang empuk."
Karena itu, tak heran, bila Amin secara terang-terangan
menggantungkan harapannya pada pasukan multinasional, terutama
marinir AS. "Pemerintah Libanon tak bisa berfungsi tanpa bantuan
pasukan ini," ujar Amin. Maka, penarikan pasukan asing bisa
menjadi harapan sia-sia dalam pertemuan di Jenewa.
Apalagi, belakangan ini, kelompok Syiah - pihak yang ikut
berunding - makin dituding sebagai pelaku pemboman dahsyat di
markas marinir AS dan pasukan Prancis, dua pekan lalu. Saat ini
petugas keamanan Libanon sedang mencari Sheikh Mohammed Hussein
Fadlallah, pemimpin kelompok ekstremis Syiah, Hizbullah, yang
konon bekerja sama dengan kelompok fundamentalis Iran. Seharl
menjelang pemboman jibaku yang menewaskan 229 marinir AS dan 56
serdadu Prancis itu, Hussein dikabarkan terlihat di permukiman
Syiah yang berhampiran dengan markas marinir AS dan merestui
kedua anak buahnya yang akan meledakkan truk berisi bom itu.
Hussein membantah tuduhan itu. Dari tempat persembunyian di
Beirut, ia malah mengatakan pemboman itu direncanakan milisi
Falangis dan dinas rahasia Libanon. Tujuannya ialah
mengguncangkan moril pasukan multinasional.
Dari Washington, pemerintah AS makin keras menuduh Iran. "Semua
penelitian intel mengarah kepada Iran," ujar seorang pejabat
senior. "Tapi, kami harus yakin betul sebelum mulai bertindak."
Mereka juga mencurigai Hussein Musawi, pemimpin kelompok Syiah
pro-lslam, yang memuji pemboman itu. Tapi dia membantah
terlibat. Di balik pelbagai tuduh-menuduh ini, memang tidak
banyak yang diharapkan dari pertemuan rujuk nasional di Jenewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini