FAJAR belum menyingsing, tapi Pedukuhan Santan dan Gandekan di
Keluruhan Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul,
Yogyakarta, sudah bangun. Di rumah keluarga Peltu (purnawirawan)
Djono, seusai bersembahyang subuh, Pak Djono membersihkan kamar
dan tempat tidurnya, lalu ke kandang untuk memberi makan
ayam-ayamnya. Istrinya segera sibuk di dapur, sedang anak-anak
melakukan tugas masing-masing: menimba air, menyapu halaman,
atau mengeluarkan kendaraan.
Kedengarannya mirip cerita dalam buku bacaan SD. Tapi semua
memang bekerja menurut jadwal yang telah ditetapkan. Begitu juga
di keluarga lain. Di rumah keluarga Istihani, misalnya, jadwal
kegiatan kelima anak mereka ditempelkan di kamar. Misalnya: pagi
bersekolah sampai pukul 12.00, setelah itu bermain-main sampai
pukul 15.00. Lantas mereka harus pulang ke rumah dan mengerjakan
tugas, seperti mencuci piring atau menyapu halaman. Kemudian
mandi dan mengaji di langgar sampai pukul 19.00. Lalu belajar
hingga pukul 21.00, dan sesudah itu tibalah waktu tidur.
Adanya jadwal itu, menurut Istihani, tidak menimbulkan protes.
"Kami menyusun jadwal itu dengan melibatkan seluruh keluarga.
Jadi, secara musyawarah. Semua bekerja dan semua bertanggung
jawab," katanya. Dulu ia merasa kewalahan mengatur anak-anak.
Kini semua beres: semua orang tahu tugas masing-masing. "Kini
tugas seorang ibu di Santan dan Gandekan sedikit lebih enteng,"
kata Achmadi M.S., guru madrasah yang menjadi ketua II LKMD
(Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Santan.
Sistem jadwal itu muncul setelah Dukuh Santan dan Gandekan
dibina oleh BPKS (Balai Penelitian Kesejahteraan Sosial)
Departemen Sosial yang berkantor di Yogyakarta, bekerja sama
dengan pemerintah daerah Bantul. Sudah hampir setahun kedua
dukuh itu, yang termasuk satu dari sembilan desa paling rawan di
Yogyakarta, dijadikan prototipe "desa adil makmur" diIndonesia.
"Kalau daerah rawan seperti Santan dan Gandekan nanti sampai
berhasil, desa yang lain tentu juga bisa berhasil," kata Drs.
Nelam, direktur BPKS.
Dukuh Santan, 15 km selatan Yogyakarta, berpenduduk 92 keluarga
(432 jiwa), sedang Gandekan, 11 km selatan Yogyakarta,
berpenduduk 121 keluarga (560 jiwa). Dua dukuh ini hanya
memiliki 28,5 ha sawah. Di Santan sawah yang cuma O,5 ha
dimiliki 18 petani, sedang 28 ha di Gandekan kepunyaan 25 orang.
Kebanyakan penduduk kedua dukuh ini menjadi buruh. Di sana ada
50 keluarga yang langsung dibina BPKS.
Sebelumnya, BPKS melakukan studi lapangan. Sasarannya: manusia
dan lingkungannya. "Dari hasil studi itu ditemukan satu bentuk
masyarakat adil makmur yang dicitakan itu," kata Nelam.
Pengertian adil makmur diartikan tidak saja dalam menikmati
hasil pembangunan, tapi juga berpartisipasi dalam kegiatan
pembangunan. "Jadi, ukuran adil makmur bukan materiil, tapi
menurut keadaan dan kondisi yang ada," tutur Nelam.
Sasaran BPKS meliputi tiga unsur potensial dalam keluarga:
dewasa bapak, dewasa ibu, dan remaja. Para remaja dibina
langsung di BPKS Yogya dengan memberi latihan keterampilan
menjahit, memasak, elektronika, pertanian, atau perbengkelan.
Sedang, ibu bapak dibina langsung di flesa, sebulan sekali.
Dalam konsep masyarakat adil makmur a la BPKS itu tiap anggota
masyarakat punya fungsi sendiri-sendiri. Ayah sebagai kepala
rumah tangga yang bertanggung jawab mencari nafkah. Ibu wakil
kepala keluarga dengan tugas khusus mengelola semua biaya yang
diperlukan rumah tangga, sedang tugas pokok anak belajar dan
membantu orangtua. "Setiap pemanfaatan dan persoalan keluarga
diputuskan secara musyawarah," kata Nelam.
Menurut konsep BPKS ada sembilan kriteria masyarakat adil
makmur berdasarkan Pancasila. Antara lain: Tiap warga
masyarakat terjamin keamanan lahir batin dalam melaksanakan
ibadah sesuai dengan agamanya. Mereka juga terjamin
ketenangan hidupnya tanpa ada gangguan, baik jiwa maupun
hartanya, tidak ada ketelantaran di masyarakat, baik manusia
maupun lingkungannya, kerukunan dan gotong royong serta
terpenuhinya kebutuhan pokoh hidup bagi tiap anggota masyarakat
secara normal.
Untuk menunjang pembinaan, PIS mula-mula memberi bantuan 40
itik dan empat kambing pada tiap dukuh, dan Rp 300.000 untuk
modal simpan-pinjam. Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
Dinas Pertanian memberi 6.000 bibit jeruk scrta 40 bungkus biji
sayur. Kantor Wilayah Tenaga Kerja menyumbang empat mesin jahit,
sedang Kanwil Perindustrian memberi sebuah alat mencetak genting
seharga Rp 2,5 juta buat Dukuh Gandekan.
Gotong-royong di kedua pedukuhan ini cukup tinggi. "Untuk
mengumpulkan masyarakat, cukup melalui pengeras suara di menara
masjid," kata Akhmadi. Jika ada perhelatan, misalnya perkawinan
atau khitanan yang punya hajat tidak perlu membentuk panitia,
karena di desa itu sudah ada panitia tetap. "Kami di pedukuhan
ini seakan akan sudah satu badan. Jika salah satu anggoa badan
dicubit, anggota badan yang lain akan ikut merasa sakit," ujar
Akhmadi lebih lanjut.
Di Santan terdapat kelompok "dasawisma", artinya kelompok yang
terdiri dan sepuluh keluarga, yang punya kegiatan
sendiri-sendiri. Misalnya kelompok tani Lestari, yang hanya
memiliki tanah 0,5 ha, tapi digarap secara koperasi. Dari para
anggotanya, setiap 35 hari ditarik sumbangan wajib Rp 50 dengan
sumbangan pokok Rp 500 per orang, dan uang simpanan mereka kini
Rp 95.000. Pada tiap panen rendeng, setiap petani menyerahkan 2
kg gabah pada koperasi. Pinjaman 10 kg gabah dalam setahun harus
dikembalikan 12 kg.
Ada pula yang disebut kelompok ronda. Di Santan ada tujuh
kelompok, masing-masing beranggotakan 11 orang. Tiap kali ronda,
mereka mengadakan arisan lampu petromaks.
Meskipun kedua pedukuhan itu belum dijamah listrik, kegiatan
pada malam hari tak pernah mati. Misalnya pengajian atau
pertemuan kelompok. Mereka tampak rukun. "Selama setahun ini tak
pernah terjadi pencurian atau percekcokan antarwarga," kata
Akhmadi.
Sebelum dijadikan proyek BPKS, kedua desa itu tergolong daerah
di bawah garis kemsikinan. Sekitar 75% penduduk berpenghasilan
Rp 10.000 sampai Rp 50.000 sebulan. Berapa kenaikan penghasilan
setelah dijadikan proyek, belum diukur. "Yang jelas, sekarang di
sini tidak ada lagi yang makan tiul, semua makan beras," kata
Djono.
Djono juga punya ukuran lain. "Telur di Santan kini dianggap
bukan makanan mewah lagi. Tiap hari kami bisa makan telur," kata
peternak yang memiliki 500 ayam petelur ini. Menurut Djono,
berkat adanya "dana sehat": tiap keluarga per bulan ditarik Rp
50, setiap warga kini bisa berobat ke Puskesmas tanpa bayar.
Para ibu tiap bulan membayar dana kematian Rp 10 dan uangnya
untuk membeli kain mori. "Sekarang, kalau ada kematian, kain
kafan pasti sudah tersedia," katanya.
Banyak lagi contoh kemajuan. Misalnya, sekitar 75% rumah di
Santan kini memiliki jamban keluarga, sesuatu yang semula
dianggap sulit karena dukuh ini terletak dekat sungai.
Pendidikan di kedua dukuh itu terbilang cukup maju. Di Santan,
tercatat 36 anak yang menerima bantuan biaya sekolah dari PKAK
(Pembinaan Kesejahteraan Anak dan Keluarga) sebesar Rp 3.800 per
bulan selama enam tahun. Ada tiga sarjana dan tiga sarjana muda
di kedua dukuh ini, sedang lulusan SMTA cukup banyak.
Pembinaan masyarakat Santan dan Gandekan, menurut Nelam, akan
diakhiri akhir tahun ini. Mereka dianggap sudah bisa berdiri
sendiri.
Nelam mengakui, dari segi fisik kedua dukuh ini belum banyak
berubah. "Tapi penduduk sudah memanfaatkan potensi dan waktu
mereka secara baik. Kalau seluruh anggota keluarga sudah
berfungsi dengan baik, juga potensi yang ada dimanfaatkan serta
tidak menuntut yang macam-macam itulah masyarakat adil makmur
berdasar Pancasila," katanya. Disimpulkannya: masyarakat adil
makmur sebetulnya dapat segera terwujud, tidak perlu menunggu
lima atau enam Pelita lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini