Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Adil makmur model bantul

Desa santan dan dandekan di kab. bantul, yogyakarta dijadikan prototipe desa adil makmur, dibina oleh bpks. setiap keluarga mempunyai jadwal kegiatan yang melibatkan seluruh anggota keluarga. (nas)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FAJAR belum menyingsing, tapi Pedukuhan Santan dan Gandekan di Keluruhan Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, sudah bangun. Di rumah keluarga Peltu (purnawirawan) Djono, seusai bersembahyang subuh, Pak Djono membersihkan kamar dan tempat tidurnya, lalu ke kandang untuk memberi makan ayam-ayamnya. Istrinya segera sibuk di dapur, sedang anak-anak melakukan tugas masing-masing: menimba air, menyapu halaman, atau mengeluarkan kendaraan. Kedengarannya mirip cerita dalam buku bacaan SD. Tapi semua memang bekerja menurut jadwal yang telah ditetapkan. Begitu juga di keluarga lain. Di rumah keluarga Istihani, misalnya, jadwal kegiatan kelima anak mereka ditempelkan di kamar. Misalnya: pagi bersekolah sampai pukul 12.00, setelah itu bermain-main sampai pukul 15.00. Lantas mereka harus pulang ke rumah dan mengerjakan tugas, seperti mencuci piring atau menyapu halaman. Kemudian mandi dan mengaji di langgar sampai pukul 19.00. Lalu belajar hingga pukul 21.00, dan sesudah itu tibalah waktu tidur. Adanya jadwal itu, menurut Istihani, tidak menimbulkan protes. "Kami menyusun jadwal itu dengan melibatkan seluruh keluarga. Jadi, secara musyawarah. Semua bekerja dan semua bertanggung jawab," katanya. Dulu ia merasa kewalahan mengatur anak-anak. Kini semua beres: semua orang tahu tugas masing-masing. "Kini tugas seorang ibu di Santan dan Gandekan sedikit lebih enteng," kata Achmadi M.S., guru madrasah yang menjadi ketua II LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Santan. Sistem jadwal itu muncul setelah Dukuh Santan dan Gandekan dibina oleh BPKS (Balai Penelitian Kesejahteraan Sosial) Departemen Sosial yang berkantor di Yogyakarta, bekerja sama dengan pemerintah daerah Bantul. Sudah hampir setahun kedua dukuh itu, yang termasuk satu dari sembilan desa paling rawan di Yogyakarta, dijadikan prototipe "desa adil makmur" diIndonesia. "Kalau daerah rawan seperti Santan dan Gandekan nanti sampai berhasil, desa yang lain tentu juga bisa berhasil," kata Drs. Nelam, direktur BPKS. Dukuh Santan, 15 km selatan Yogyakarta, berpenduduk 92 keluarga (432 jiwa), sedang Gandekan, 11 km selatan Yogyakarta, berpenduduk 121 keluarga (560 jiwa). Dua dukuh ini hanya memiliki 28,5 ha sawah. Di Santan sawah yang cuma O,5 ha dimiliki 18 petani, sedang 28 ha di Gandekan kepunyaan 25 orang. Kebanyakan penduduk kedua dukuh ini menjadi buruh. Di sana ada 50 keluarga yang langsung dibina BPKS. Sebelumnya, BPKS melakukan studi lapangan. Sasarannya: manusia dan lingkungannya. "Dari hasil studi itu ditemukan satu bentuk masyarakat adil makmur yang dicitakan itu," kata Nelam. Pengertian adil makmur diartikan tidak saja dalam menikmati hasil pembangunan, tapi juga berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. "Jadi, ukuran adil makmur bukan materiil, tapi menurut keadaan dan kondisi yang ada," tutur Nelam. Sasaran BPKS meliputi tiga unsur potensial dalam keluarga: dewasa bapak, dewasa ibu, dan remaja. Para remaja dibina langsung di BPKS Yogya dengan memberi latihan keterampilan menjahit, memasak, elektronika, pertanian, atau perbengkelan. Sedang, ibu bapak dibina langsung di flesa, sebulan sekali. Dalam konsep masyarakat adil makmur a la BPKS itu tiap anggota masyarakat punya fungsi sendiri-sendiri. Ayah sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab mencari nafkah. Ibu wakil kepala keluarga dengan tugas khusus mengelola semua biaya yang diperlukan rumah tangga, sedang tugas pokok anak belajar dan membantu orangtua. "Setiap pemanfaatan dan persoalan keluarga diputuskan secara musyawarah," kata Nelam. Menurut konsep BPKS ada sembilan kriteria masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila. Antara lain: Tiap warga masyarakat terjamin keamanan lahir batin dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya. Mereka juga terjamin ketenangan hidupnya tanpa ada gangguan, baik jiwa maupun hartanya, tidak ada ketelantaran di masyarakat, baik manusia maupun lingkungannya, kerukunan dan gotong royong serta terpenuhinya kebutuhan pokoh hidup bagi tiap anggota masyarakat secara normal. Untuk menunjang pembinaan, PIS mula-mula memberi bantuan 40 itik dan empat kambing pada tiap dukuh, dan Rp 300.000 untuk modal simpan-pinjam. Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Dinas Pertanian memberi 6.000 bibit jeruk scrta 40 bungkus biji sayur. Kantor Wilayah Tenaga Kerja menyumbang empat mesin jahit, sedang Kanwil Perindustrian memberi sebuah alat mencetak genting seharga Rp 2,5 juta buat Dukuh Gandekan. Gotong-royong di kedua pedukuhan ini cukup tinggi. "Untuk mengumpulkan masyarakat, cukup melalui pengeras suara di menara masjid," kata Akhmadi. Jika ada perhelatan, misalnya perkawinan atau khitanan yang punya hajat tidak perlu membentuk panitia, karena di desa itu sudah ada panitia tetap. "Kami di pedukuhan ini seakan akan sudah satu badan. Jika salah satu anggoa badan dicubit, anggota badan yang lain akan ikut merasa sakit," ujar Akhmadi lebih lanjut. Di Santan terdapat kelompok "dasawisma", artinya kelompok yang terdiri dan sepuluh keluarga, yang punya kegiatan sendiri-sendiri. Misalnya kelompok tani Lestari, yang hanya memiliki tanah 0,5 ha, tapi digarap secara koperasi. Dari para anggotanya, setiap 35 hari ditarik sumbangan wajib Rp 50 dengan sumbangan pokok Rp 500 per orang, dan uang simpanan mereka kini Rp 95.000. Pada tiap panen rendeng, setiap petani menyerahkan 2 kg gabah pada koperasi. Pinjaman 10 kg gabah dalam setahun harus dikembalikan 12 kg. Ada pula yang disebut kelompok ronda. Di Santan ada tujuh kelompok, masing-masing beranggotakan 11 orang. Tiap kali ronda, mereka mengadakan arisan lampu petromaks. Meskipun kedua pedukuhan itu belum dijamah listrik, kegiatan pada malam hari tak pernah mati. Misalnya pengajian atau pertemuan kelompok. Mereka tampak rukun. "Selama setahun ini tak pernah terjadi pencurian atau percekcokan antarwarga," kata Akhmadi. Sebelum dijadikan proyek BPKS, kedua desa itu tergolong daerah di bawah garis kemsikinan. Sekitar 75% penduduk berpenghasilan Rp 10.000 sampai Rp 50.000 sebulan. Berapa kenaikan penghasilan setelah dijadikan proyek, belum diukur. "Yang jelas, sekarang di sini tidak ada lagi yang makan tiul, semua makan beras," kata Djono. Djono juga punya ukuran lain. "Telur di Santan kini dianggap bukan makanan mewah lagi. Tiap hari kami bisa makan telur," kata peternak yang memiliki 500 ayam petelur ini. Menurut Djono, berkat adanya "dana sehat": tiap keluarga per bulan ditarik Rp 50, setiap warga kini bisa berobat ke Puskesmas tanpa bayar. Para ibu tiap bulan membayar dana kematian Rp 10 dan uangnya untuk membeli kain mori. "Sekarang, kalau ada kematian, kain kafan pasti sudah tersedia," katanya. Banyak lagi contoh kemajuan. Misalnya, sekitar 75% rumah di Santan kini memiliki jamban keluarga, sesuatu yang semula dianggap sulit karena dukuh ini terletak dekat sungai. Pendidikan di kedua dukuh itu terbilang cukup maju. Di Santan, tercatat 36 anak yang menerima bantuan biaya sekolah dari PKAK (Pembinaan Kesejahteraan Anak dan Keluarga) sebesar Rp 3.800 per bulan selama enam tahun. Ada tiga sarjana dan tiga sarjana muda di kedua dukuh ini, sedang lulusan SMTA cukup banyak. Pembinaan masyarakat Santan dan Gandekan, menurut Nelam, akan diakhiri akhir tahun ini. Mereka dianggap sudah bisa berdiri sendiri. Nelam mengakui, dari segi fisik kedua dukuh ini belum banyak berubah. "Tapi penduduk sudah memanfaatkan potensi dan waktu mereka secara baik. Kalau seluruh anggota keluarga sudah berfungsi dengan baik, juga potensi yang ada dimanfaatkan serta tidak menuntut yang macam-macam itulah masyarakat adil makmur berdasar Pancasila," katanya. Disimpulkannya: masyarakat adil makmur sebetulnya dapat segera terwujud, tidak perlu menunggu lima atau enam Pelita lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus