Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONVOI lima ambulans dihajar rudal Israel tepat di gerbang Rumah Sakit Al-Shifa yang ramai pengungsi Palestina di Kota Gaza pada Jumat sore, 3 November lalu. Ambulans itu sedang mengangkut sejumlah pasien dari rumah sakit terbesar di Jalur Gaza tersebut ke Rafah, perbatasan Gaza-Mesir, untuk mendapat perawatan lanjutan di rumah sakit Mesir. Serangan terhadap empat ambulans Kementerian Kesehatan Palestina dan satu ambulans Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) itu mengakibatkan sedikitnya 15 orang tewas dan 50 lainnya luka-luka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kesehatan Palestina menegaskan bahwa yang diserang Israel itu konvoi medis. “Kami memberi tahu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, kami memberi tahu seluruh dunia, para korban berada di ambulans tersebut. Ini adalah konvoi medis,” ucap Ashraf al-Qudra, juru bicara Kementerian, kepada Al Jazeera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRCS menyatakan serangan Israel ini menambah jumlah korban di organisasi itu. Sejak pecah perang Hamas-Israel pada 7 Oktober lalu, total 8 kendaraan PRCS rusak, 4 tenaga medis meninggal, serta 21 tenaga kesehatan dan relawan cedera. “Penargetan yang disengaja terhadap tim medis adalah pelanggaran Konvensi Jenewa, sebuah kejahatan perang, dan para pihak Konvensi Jenewa terikat secara hukum untuk memastikan perlindungan tim medis dan kaum sipil dalam segala keadaan,” kata PRCS dalam pernyataannya.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengaku sengaja menembak ambulans tersebut dengan alasan digunakan oleh Hamas. “Sel teroris Hamas diidentifikasi menggunakan ambulans. Sebagai tanggapan, sebuah pesawat IDF menyerang dan menetralkan teroris Hamas, yang beroperasi di dalam ambulans,” ujar IDF dalam pernyataannya.
Bukan sekali ini Israel menuding Hamas bersembunyi di fasilitas medis. “Hamas adalah wabah yang bersembunyi di rumah sakit,” tulis IDF di X pada Jumat, 27 Oktober lalu. Tulisan itu disertai video yang menunjukkan skema markas Hamas yang tersembunyi di bawah gedung sekolah, universitas, dan rumah sakit, termasuk Rumah Sakit Al-Shifa.
Pemerintah Palestina membantah klaim Israel. Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, Medhat Abbas, mengatakan kepada CNN bahwa rumah sakit di Gaza “digunakan hanya untuk merawat pasien” dan tidak digunakan “untuk menyembunyikan siapa pun.” Hamas juga menolak klaim tersebut dan berseru agar “Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara-negara Arab dan Islam, segera mengintervensi guna menghentikan kegilaan pengeboman dan penghancuran sistem medis”.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengaku ngeri atas peristiwa ini. “Sekarang, selama hampir satu bulan, warga sipil di Gaza, termasuk anak-anak dan perempuan, telah dikepung, tidak diberi bantuan, dibunuh, dan rumah mereka dibom. Ini harus dihentikan,” kata Guterres dalam pernyataannya.
Warga Palestina berkumpul mengambil air, di tengah kekurangan air, di Khan Younis, Jalur Gaza, Palestina, 2 November 2023. Reuters/Mohammed Salem
Menurut Guterres, situasi kemanusiaan di Gaza sangat buruk. Makanan, air, dan obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat hampir tidak mencukupi. Bahan bakar untuk menyalakan rumah sakit dan pemurnian air hampir habis. “Semua penduduk mengalami trauma. Tidak ada tempat yang aman,” ujar Guterres, yang mengulangi seruannya agar dilakukan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza, yang telah ditolak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Badan Pekerjaan dan Pemulihan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) melaporkan, sejak perang bermula hingga Kamis, 2 November lalu, 14 dari 36 rumah sakit di Gaza sudah tak berfungsi, 44 fasilitas organisasi itu rusak, dan 72 stafnya tewas. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, total 8.720 penduduk Gaza terbunuh, yang sebagian besar adalah perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia.
Tamara Alrifai, Direktur Hubungan Eksternal dan Komunikasi UNRWA, memaparkan, dalam tiga minggu terakhir, lebih dari satu juta penduduk Gaza terpaksa mengungsi dari utara Jalur Gaza. “Sekarang sebagian besar penduduk benar-benar terjepit di separuh wilayah itu. Di tempat penampungan milik UNRWA, kami menampung sekitar 700 ribu pengungsi, termasuk perempuan hamil, penyandang disabilitas, dan anak-anak,” ucapnya pada Jumat, 3 November lalu.
Kamp pengungsi itu, kata Alrifai, sudah terlalu penuh. Pengungsi kini juga berlindung di sekolah-sekolah. “Setiap kali terjadi perang di Gaza, orang-orang mencari keselamatan dan mereka merasa bahwa, jika mereka berada di gedung PBB dengan bendera PBB yang berwarna biru atau gedung yang ditandai dengan jelas sebagai gedung PBB sehingga dapat dilihat dari pesawat terbang dan daratan, orang mengira hal itu akan melindungi mereka,” tuturnya. “Sayangnya, hampir 50 gedung dan mobil kami dirusak dalam tiga bulan terakhir.”
Menurut Alrifai, serangan dan blokade Israel membuat Gaza mengalami krisis pangan, air, dan kesehatan. Makanan sudah sangat minim dan warga sudah kelaparan. “Jika Anda bertanya kepada siapa pun di tempat penampungan kapan mereka terakhir kali makan, kemungkinan mereka akan bilang, ‘Kemarin. Sepotong roti’,” ujarnya. “Kami sangat khawatir, terutama terhadap anak-anak, yang bisa mengalami dehidrasi dengan sangat cepat jika tidak mendapat air dan amat membutuhkan asupan kalori yang tetap untuk terus hidup. Kami juga sangat khawatir terhadap perempuan hamil.”
Sebelum konflik kali ini, Alrifai menambahkan, makanan, obat-obatan, dan barang kebutuhan lain dibawa masuk ke Gaza oleh sekitar 500 truk setiap hari. Dalam sebulan ini, hanya 51 truk bantuan kemanusiaan PBB, termasuk 20 truk UNRWA, yang bisa masuk ke Gaza. “Itu sangat, sangat sedikit. Itu seperti setetes air di lautan,” tuturnya.
Kurangnya air menjadi masalah besar karena 90 persen air di Gaza tak layak dikonsumsi. Penduduk Gaza sangat bergantung pada pasokan air dari Israel dan truk air. Kini Israel menyetop pasokan air utama dan hanya mengalirkan air melalui satu pipa untuk satu wilayah kecil di selatan Gaza.
PBB punya beberapa pompa air dan alat penjernih air, yang kini digerakkan dengan generator listrik. Masalahnya, generator ini membutuhkan bahan bakar, tapi Israel tak mengizinkan truk PBB membawa bahan bakar. Menurut Alrifai, PBB kemudian terpaksa mengurangi pemrosesan air itu.
Minimnya bahan bakar juga mengancam situasi kesehatan. Rumah sakit membutuhkan listrik untuk penerangan dan peralatan medis, seperti inkubator bayi prematur, mesin pernapasan, dan alat penunjang kehidupan. Listrik itu kini hanya dipasok generator listrik, yang membutuhkan bahan bakar. “Sekarang para dokter harus membuat pilihan yang sangat sulit. Apakah memasukkan bayi ke dalam inkubator atau menyalakan mesin penyelamat untuk pria dewasa. Ini pilihan yang sulit, mengerikan,” kata Alrifai.
“Kurangnya bahan bakar dan listrik merupakan hukuman mati langsung terhadap ribuan pasien yang kelangsungan hidupnya bergantung pada ketersediaan listrik seperti bayi di inkubator,” kata Paul McPhun, Direktur Regional Asia Pasifik Dokter Lintas Batas, pada Jumat, 4 November lalu.
Stok obat dan kebutuhan medis lain juga sudah langka. “Mereka bahkan tidak punya alkohol lagi dan akhirnya memakai cuka untuk membersihkan orang dan mesin,” ujar Alrifai. “Kita semua harus bersatu untuk mendapatkan lebih banyak pasokan medis, perlengkapan kebersihan, sehingga para ahli bedah tidak perlu menggunakan cuka dan tentu saja kita harus memperoleh bahan bakar.”
Kondisi buruk ini mendorong UNRWA menyerukan pengiriman bantuan dana darurat sebesar US$ 104 juta untuk aksi tanggap kemanusiaan selama 90 hari ke depan. Dana itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan, non-makanan, kesehatan, tempat tinggal, dan perlindungan bagi 250 ribu pengungsi di Gaza dan 250 ribu pengungsi Palestina lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Putus Merundung Gaza"